Connect with us

Opini

Suriah: Dari Resistensi ke Laboratorium Takfirisme

Published

on

Ilustrasi editorial yang menampilkan Suriah sebagai negeri yang berubah dari pusat resistensi menjadi arena konflik sektarian dan serangan zionis.

Damaskus, kota yang dulu digambarkan sebagai pusat peradaban tua, hari ini menawarkan pemandangan yang nyaris mustahil kita cerna dengan kepala dingin. Bayangkan: di saat langit ibu kota masih bergetar oleh dentuman serangan zionis, senjata tentara Suriah justru diarahkan bukan ke barat, bukan ke perbatasan yang membara, melainkan ke dada rakyatnya sendiri. Ironi yang terlalu telanjang untuk diabaikan. Negara yang selama ini mengklaim diri sebagai benteng perlawanan, kini menjelma laboratorium baru bagi ideologi takfirisme yang haus darah.

Kita membaca laporan dari Al-Sumaria, sebuah lingkungan Alawit di Damaskus, yang menggambarkan adegan mirip film distopia—rumah-rumah ditandai dengan huruf “X” untuk Alawit, dan “O” untuk yang lain. Tiba-tiba sejarah mengulang dirinya sendiri, kali ini bukan di Eropa tahun 40-an, tapi di jantung Suriah 2025. Bedanya, pelaku bukanlah kekuatan asing penjajah, melainkan pemerintah baru yang katanya hendak menyelamatkan bangsa. Saya rasa, di titik ini, kata “penyelamatan” terdengar seperti lelucon yang terlalu pahit.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Lebih getir lagi, tindakan itu disertai pelecehan verbal: “Alawite pigs”, “whores”, teriakan-teriakan sektarian yang seharusnya hanya muncul di forum-forum ekstremis, kini diteriakkan oleh aparat negara. Ada 600 pria bertopeng bersenjata yang masuk, memukuli anak-anak dan perempuan, mengunci ratusan laki-laki dan anak-anak dalam sebuah bangunan. Seorang anak sepuluh tahun pun ikut digiring. Ini bukan sekadar penegakan hukum. Ini praktik penghapusan identitas, disulut oleh ideologi yang sejak awal mendefinisikan “yang lain” sebagai sah untuk dibinasakan.

Dan di sinilah absurditas mencapai puncaknya: pemerintah Suriah hari ini dipimpin oleh Ahmad al-Sharaa, mantan komandan Al-Qaeda, pendiri Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Ya, rezim yang konon menggantikan Assad atas nama demokrasi justru dikuasai oleh mereka yang menjadikan takfirisme sebagai ideologi resmi. Suriah berubah dari negara sekuler-otoriter yang dituduh menekan warganya, menjadi negara takfiri yang terang-terangan menindas minoritas dengan dalih agama. Bila Assad dituduh diktator, maka rezim baru ini adalah diktator dengan jubah agama, lengkap dengan pedang ideologi Ibn Taymiyyah yang menghalalkan darah siapa pun yang berbeda.

Tak cukup dengan intimidasi fisik dan cacian sektarian, pemerintah memberi ultimatum dingin: 72 jam. Itulah waktu yang disodorkan kepada keluarga-keluarga Alawit di Al-Sumaria untuk meninggalkan rumah mereka, atau menyaksikan buldoser meratakan atap di atas kepala sendiri. Sekitar seratus keluarga sudah lebih dulu angkat kaki, menyeret anak-anak dan barang seadanya, demi menghindari maut yang dikirim bukan oleh musuh asing, melainkan oleh negaranya sendiri.

Saya tidak bisa tidak mengingatkan kita semua pada kisah ISIS beberapa tahun lalu. Bagaimana mereka menguasai Mosul, memaksa orang-orang Yazidi masuk Islam atau mati, menandai rumah-rumah Kristen dengan simbol tertentu, memperbudak perempuan. Bedanya, ISIS saat itu adalah aktor non-negara. Mereka hidup dalam celah, menolak pengakuan dunia. Hari ini, model yang sama justru dipraktikkan oleh pemerintah resmi Suriah. Dan ini membuatnya jauh lebih berbahaya, karena kekerasan tak lagi sekadar tindakan milisi, tapi dilembagakan sebagai hukum negara.

Ironi semakin menajam bila kita ingat reputasi Suriah sebelum ini: negara yang selama puluhan tahun dikenal sebagai bagian dari poros resistensi melawan zionis. Damaskus menjadi simbol perlawanan, tempat bertemunya kelompok-kelompok yang menolak dominasi asing. Kini, kota itu justru mempertontonkan tragedi, di mana senjata resmi lebih sibuk menargetkan minoritas Alawit ketimbang merespons rudal zionis yang menghantam. Saya kira, ini bukan sekadar pengkhianatan, tetapi degradasi moral yang paling telanjang: dari resistensi menjadi represi, dari benteng melawan penjajah menjadi bengkel ideologi kebencian.

Sebagian orang mungkin akan berkata: “Tunggu dulu, bukankah laporan ini bisa saja dilebih-lebihkan? Bukankah kita harus hati-hati dengan propaganda?” Saya paham argumen itu. Namun, mari jujur: pola-pola yang dilaporkan—penandaan rumah, pemukulan massal, ancaman penghancuran rumah dengan buldoser—terlalu konsisten dengan sejarah perilaku kelompok takfiri. Bahkan bila separuh laporan itu benar, maka separuh lainnya saja sudah cukup untuk menandai tragedi kemanusiaan. Dan kita semua tahu, dalam situasi kacau seperti Suriah, seringkali yang terdengar di luar hanyalah potongan yang paling bisa lolos dari sensor dan ketakutan.

Saya jadi teringat bagaimana di negeri kita, Indonesia, isu sektarian juga sering dipelintir oleh segelintir kelompok untuk merebut ruang kuasa. Perbedaannya, di sini kita masih punya ruang kompromi, masih ada pagar hukum, meski rapuh. Di Suriah, pagar itu sudah runtuh. Bayangkan bila kelompok garis keras di Indonesia tiba-tiba mengambil alih negara, lalu mereka menandai rumah kita berdasarkan keyakinan, mengusir kita karena dianggap sesat. Mustahil? Tidak. Al-Sumaria adalah cermin bahwa itu bukan sekadar kemungkinan, tetapi kenyataan di depan mata.

Lalu apa yang terjadi bila Suriah benar-benar menjadi laboratorium takfirisme? Pertama, minoritas akan dieksodus massal. Kristiani, Druze, bahkan Sunni yang tak sejalan, semua akan lari mencari perlindungan. Kedua, Suriah akan jadi magnet baru bagi jihadis global, lebih berbahaya dari ISIS, karena mereka kini bisa mengklaim legitimasi negara. Ketiga, resistensi terhadap zionis akan runtuh, karena rezim takfiri lebih sibuk memburu “musuh dalam negeri” ketimbang menghadapi agresor eksternal. Dan inilah ironi paling pahit: dengan dalih menegakkan agama, mereka justru membuka jalan lebar bagi musuh sejati untuk menancapkan cengkeraman lebih dalam.

Saya rasa, kita tidak bisa lagi berpura-pura bahwa pergantian rezim otomatis membawa demokrasi atau keadilan. Suriah hari ini membuktikan, jatuhnya seorang diktator sekuler bisa saja melahirkan diktator baru yang lebih bengis, karena ia mengklaim legitimasi bukan hanya dari senjata, tapi juga dari langit. Itu yang membuatnya berbahaya: mereka percaya bahwa kekerasan adalah ibadah, dan pembunuhan minoritas adalah perintah Tuhan. Bagaimana cara menawar dengan keyakinan semacam itu? Mustahil.

Pada akhirnya, kita semua dipaksa belajar satu pelajaran getir: bila kekuasaan jatuh ke tangan ideologi takfiri, maka yang terjadi bukanlah rekonsiliasi, bukan pembangunan, melainkan genosida. Dan Suriah adalah bukti hidupnya. Dari negara resistensi yang dulu berdiri melawan tekanan eksternal, kini berubah menjadi laboratorium kebencian sektarian. Dunia boleh berpura-pura tidak melihat, tetapi sejarah tidak akan lupa: Damaskus pernah menjadi kota yang menembakkan pelurunya ke rakyatnya sendiri, sementara langit di atasnya tetap dihantam musuh yang sesungguhnya. Sebuah tragedi yang tak hanya menghapus nyawa, tapi juga meruntuhkan makna perlawanan itu sendiri.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Suriah di Ambang Revolusi 2.0? Analisis Konflik dan Krisis

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer