Connect with us

Opini

Suriah: Dari Perjuangan Revolusi ke Perang Fraksional

Published

on

Suriah pernah menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap tirani, sebuah revolusi yang digerakkan oleh harapan akan perubahan. Namun, setelah lebih dari satu dekade konflik, gambaran yang muncul justru lebih rumit. Dulu musuh mereka jelas: rezim Bashar al-Assad. Kini, setelah kejatuhan Assad, justru kelompok-kelompok yang dulunya bersatu kini saling menghunus pedang.

Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa mereka tetap berperang? Apakah perjuangan mereka selama ini hanya untuk menggulingkan Assad atau ada ambisi lain yang kini terkuak? Revolusi Suriah tidak berakhir dengan runtuhnya rezim, justru memasuki babak baru yang lebih kacau. SDF dan SNA, dua kekuatan besar dalam konflik ini, kini bertempur sengit memperebutkan kendali wilayah.

SDF yang didominasi oleh milisi Kurdi sejak awal memperjuangkan otonomi di Suriah utara. Mereka didukung oleh Amerika Serikat, bukan karena kesamaan ideologi, tetapi lebih kepada kepentingan geopolitik untuk menekan pengaruh Rusia dan Iran. Sebaliknya, SNA yang mendapat dukungan penuh dari Turki menolak keras eksistensi SDF karena afiliasinya dengan kelompok PKK yang dianggap sebagai ancaman.

Konflik ini pada dasarnya bukan sekadar perang antar faksi, melainkan kelanjutan dari perang proksi yang sudah berlangsung lama. Turki ingin memastikan bahwa perbatasannya tetap aman dari kelompok yang dianggap separatis, sementara AS masih mempertahankan kepentingannya di kawasan untuk memastikan keseimbangan kekuatan. Suriah tetap menjadi arena pertarungan bagi kekuatan-kekuatan asing.

Di lapangan, pertempuran semakin sengit. SDF dan SNA yang dulu bertempur bersama dalam menggulingkan Assad kini saling membunuh di medan perang yang sama. Mereka bukan lagi sekutu dalam revolusi, melainkan pesaing dalam menentukan masa depan Suriah. Masing-masing kelompok merasa berhak atas kemenangan yang dulu mereka perjuangkan bersama.

Ironinya, konflik ini tidak hanya memakan korban dari kalangan kombatan, tetapi juga rakyat sipil yang sudah lelah dengan perang berkepanjangan. Jika dulu mereka berharap revolusi membawa perubahan, kini mereka terjebak dalam kekacauan baru yang tak kunjung usai. Harapan akan kebebasan berubah menjadi ketakutan akan ketidakpastian yang terus menghantui kehidupan mereka.

Lebih dari enam ratus orang telah tewas dalam bentrokan terbaru antara SDF dan SNA. Korban terus berjatuhan di tengah eskalasi konflik yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Perundingan damai selalu menemui jalan buntu, karena tidak ada pihak yang rela mengalah. Setiap kelompok percaya bahwa mereka adalah pihak yang paling berhak menguasai Suriah pasca-Assad.

Dalam situasi seperti ini, pertanyaan besar muncul: apakah revolusi Suriah benar-benar membawa perubahan atau justru menciptakan lingkaran konflik baru? Jika dulu rakyat berjuang untuk menggulingkan seorang diktator, kini mereka harus berhadapan dengan perang tanpa akhir yang dilakukan oleh faksi-faksi yang mengklaim sebagai penerus revolusi. Realitas ini mencerminkan betapa rapuhnya persatuan dalam revolusi.

Suriah kini bukan hanya panggung bagi kepentingan lokal, tetapi juga internasional. Pemain besar seperti AS, Turki, Rusia, dan Iran masih memainkan peran mereka dalam bayang-bayang konflik. Mereka mungkin tidak terlibat secara langsung, tetapi dukungan yang mereka berikan kepada kelompok-kelompok lokal justru memperpanjang pertumpahan darah. Perang ini tidak lagi tentang Assad, tetapi tentang siapa yang akan mengendalikan Suriah di masa depan.

Perang fraksional yang terjadi saat ini menegaskan bahwa revolusi bukan sekadar menggulingkan pemimpin, tetapi juga menentukan arah baru bagi sebuah negara. Ketika visi yang dibangun sejak awal tidak jelas, maka setelah kemenangan diraih, yang tersisa hanyalah kekacauan. Suriah telah memasuki fase ini, di mana perang bukan lagi alat perubahan, tetapi tujuan itu sendiri.

Tak ada yang bisa memastikan kapan konflik ini akan berakhir. Mungkin suatu saat ada titik temu di antara faksi-faksi yang bertikai, atau mungkin Suriah akan tetap terpecah-belah seperti yang terjadi di banyak negara pasca-revolusi. Yang jelas, perang ini telah menunjukkan bahwa menggulingkan diktator jauh lebih mudah daripada membangun masa depan yang lebih baik.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *