Opini
Suriah: Dari Assad ke Jihad Baru

Suriah, negara di Timur Tengah yang berbatasan dengan Laut Mediterania, Turki, Irak, Yordania, Lebanon, dan zionis, telah menjadi pusat perhatian dunia selama lebih dari satu dekade akibat konflik bersenjata yang berkepanjangan. Konflik ini tidak hanya berdampak pada rakyat Suriah, tetapi juga melibatkan berbagai aktor regional dan internasional. Artikel ini akan membahas penyebab konflik, status kenegaraan, sejarah nama Suriah, serta perubahan identitas politik dan keagamaannya.
Konflik di Suriah: Dari Arab Spring hingga Pergantian Kekuasaan
Konflik di Suriah berawal dari gelombang protes Arab Spring pada Maret 2011 yang menentang pemerintahan Presiden Bashar al-Assad. Demonstrasi pertama kali pecah di Daraa dan direspons dengan tindakan represif oleh pemerintah. Ketegangan meningkat hingga kelompok oposisi mengangkat senjata.
Dalam perjalanannya, oposisi terpecah menjadi berbagai fraksi bersenjata, termasuk Free Syrian Army (FSA), Jabhat al-Nusra (afiliasi al-Qaeda), ISIS, dan kelompok lainnya yang mendapat dukungan dari negara-negara Barat serta beberapa negara Arab yang tergabung dalam Friends of Syria (FoS). Beberapa kelompok oposisi juga menggunakan propaganda sektarian untuk menarik pejuang asing bergabung dalam konflik ini.
Setelah bertahun-tahun perang, pada 8 Desember 2024, pemerintahan Bashar al-Assad akhirnya jatuh. Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), yang sebelumnya berafiliasi dengan al-Qaeda, berhasil menguasai Damaskus dan menetapkan Ahmad al-Sharaa sebagai pemimpin transisi Suriah.
Status Suriah sebagai Negara
Suriah tetap diakui sebagai negara berdaulat oleh komunitas internasional dan merupakan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak memperoleh kemerdekaan dari Prancis pada 1946. Namun, konflik berkepanjangan menyebabkan fragmentasi wilayah, dengan berbagai kelompok yang sempat mendeklarasikan kekuasaan, seperti Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di Rojava dan HTS di Idlib.
Setelah jatuhnya Assad, HTS kini menjadi kekuatan dominan di Suriah. Ahmad al-Sharaa sebagai pemimpin transisi berusaha memperkuat posisi HTS dengan menampilkan citra lebih moderat guna menghilangkan status mereka sebagai organisasi teroris di mata dunia.
Sejarah Nama Suriah
Nama “Suriah” berasal dari istilah Yunani kuno Syria, yang mengacu pada wilayah Levant yang lebih luas dan dalam bahasa Arab dikenal sebagai al-Sham. Sebelum menjadi negara modern, wilayah ini pernah menjadi bagian dari berbagai kerajaan dan kekaisaran besar, seperti:
– Peradaban Ebla (3000 SM),
– Kekhalifahan Umayyah (abad ke-7),
– Kesultanan Mamluk,
– Hingga menjadi bagian dari Mandat Prancis setelah jatuhnya Kekaisaran Ottoman pasca-Perang Dunia I.
Pada 1945, Suriah merdeka sebagai Republik Suriah, lalu pada 1961 berganti nama menjadi Republik Arab Suriah.
Apakah Suriah Kini Negara Islam?
Suriah secara historis adalah negara sekuler di bawah pemerintahan Partai Ba’ath, meskipun penduduknya beragam, mayoritas penduduknya beragama Islam, khususnya Sunni.
Setelah jatuhnya rezim Assad, HTS mengendalikan sebagian besar wilayah Suriah. Ahmad al-Sharaa berupaya membentuk pemerintahan transisi yang inklusif, tetapi tetap berlandaskan nilai-nilai Islam. Meski HTS berasal dari jaringan jihad global, mereka kini menampilkan diri sebagai kelompok yang lebih moderat. Sejumlah kebijakan menunjukkan bahwa Suriah sedang mengarah pada negara berbasis syariah, meskipun bentuk finalnya masih berkembang.
Kesimpulan
Konflik di Suriah bermula dari ketidakpuasan domestik dan diperburuk oleh intervensi asing serta perpecahan internal. Kini, dengan beralihnya kekuasaan ke tangan HTS, Suriah memasuki babak baru. Ahmad al-Sharaa dan HTS berupaya melepaskan citra teroris serta membangun pemerintahan yang stabil. Namun, tantangan besar masih menghadang, terutama dalam mewujudkan rekonstruksi dan stabilitas pascaperang.