Connect with us

Opini

Suriah dalam Cengkeraman Rezim Boneka

Published

on

Ahmad al-Sharaa, tokoh yang kini duduk di kursi kepresidenan sementara Suriah, mengumumkan pembentukan pemerintahan transisi pada 29 Maret lalu. Sebuah langkah yang diklaim sebagai awal dari babak baru bagi negeri yang telah lama dirundung konflik. Namun, bagi mereka yang melihat lebih dalam, ini tak lebih dari wajah lama dengan topeng baru. Kekuasaan tetap berada di tangan kelompok yang sama, dengan perubahan kosmetik semata untuk memberikan ilusi kebhinekaan dan demokrasi.F

Kehadiran beberapa perwakilan dari minoritas seperti Alawi dan Druze dalam kabinet baru ini dijadikan alat propaganda untuk meyakinkan dunia bahwa pemerintahan ini adalah inklusif. Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Kelompok-kelompok ini tidak memiliki kuasa nyata, mereka hanyalah pion yang ditempatkan demi menciptakan kesan keberagaman, sementara represi terhadap kelompok minoritas terus berlangsung. Bahkan Kurdi, yang memiliki satu kursi dalam pemerintahan, dengan tegas menolak legitimasi rezim ini dan menyatakan tidak akan tunduk pada kebijakan yang ditetapkan.

Dominasi kelompok ekstremis dalam pemerintahan ini juga tidak bisa diabaikan. Menteri-menteri kunci berasal dari Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok yang sebelumnya berafiliasi dengan Al-Qaeda. Sebut saja Asaad al-Shaibani sebagai Menteri Luar Negeri, Murhaf Abu Qasra sebagai Menteri Pertahanan, dan Anas Hassan Khattab sebagai Menteri Dalam Negeri. Dengan latar belakang mereka, sulit untuk percaya bahwa pemerintahan ini benar-benar mengusung semangat rekonsiliasi dan membangun negara yang stabil. Justru, Suriah tampaknya telah jatuh dari tangan satu kelompok otoriter ke kelompok ekstremis lainnya.

Pemerintahan ini semakin menunjukkan wajah aslinya ketika dihadapkan pada insiden pembantaian lebih dari 1.500 warga sipil Alawi di awal Maret. Bukannya bertanggung jawab atau menyatakan belasungkawa, rezim Sharaa justru mengabaikan tragedi ini seolah-olah tak pernah terjadi. Ini adalah sinyal jelas bahwa pemerintahan ini hanya melayani kepentingan satu kelompok, dan minoritas lainnya hanyalah korban yang terus dipinggirkan atau diberangus dengan kekerasan.

Dampak dari kondisi ini tidak hanya dirasakan di dalam negeri. Dunia internasional kini dihadapkan pada dilema besar. Apakah mereka akan mengakui pemerintahan yang didominasi oleh kelompok ekstremis ini? Apakah mereka akan mendukung transisi politik yang nyata, atau sekadar menutup mata terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlangsung? Negara-negara Barat, yang selama ini menyuarakan demokrasi dan hak asasi manusia, tampaknya lebih memilih pragmatisme politik dibandingkan prinsip. Mereka memberikan tekanan terhadap Sharaa untuk menciptakan pemerintahan inklusif, tetapi tetap menutup mata terhadap aktor-aktor berbahaya yang kini mengisi kabinetnya.

Salah satu tokoh yang mencerminkan kebijakan ambigu ini adalah Raed Saleh, yang diangkat sebagai Menteri Keadaan Darurat dan Bencana. Sebagai pemimpin White Helmets, organisasi yang memiliki sejarah kelam dalam bekerja sama dengan kelompok-kelompok teroris, penunjukannya menjadi simbol dari bagaimana kepentingan geopolitik telah mengaburkan batas antara kemanusiaan dan propaganda.

Kurdi, yang selama ini menjadi kekuatan utama dalam melawan kelompok ekstremis di Suriah, dengan tegas menolak pemerintahan ini. Dalam pernyataan resminya, mereka menyebut rezim ini sebagai bentuk kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya, yang tetap mengesampingkan keberagaman dan hanya melayani kepentingan satu kelompok. Sikap ini semakin memperjelas bahwa Suriah tidak sedang menuju rekonsiliasi nasional, tetapi justru semakin dalam terjebak dalam siklus kekerasan dan perpecahan.

Pemerintahan Sharaa juga tidak memiliki struktur yang jelas. Tidak ada jabatan perdana menteri, melainkan posisi sekretaris jenderal yang kini menjadi pemimpin eksekutif. Ini bukan hanya langkah administratif, tetapi menunjukkan bahwa kekuasaan terpusat pada satu figur tanpa mekanisme kontrol yang jelas. Ini adalah skenario klasik dari pemerintahan boneka, di mana keputusan diambil oleh aktor-aktor di belakang layar, sementara rakyat hanya menjadi penonton dalam drama politik yang dimainkan di depan mereka.

Dampak dari situasi ini terhadap Suriah tidak bisa diremehkan. Negara ini terus terjerumus dalam ketidakstabilan tanpa prospek nyata untuk keluar dari krisis. Rekonstruksi ekonomi yang dijanjikan tidak lebih dari sekadar ilusi, karena tidak ada investor yang bersedia menanamkan modal dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian dan dipimpin oleh figur-figur yang memiliki rekam jejak panjang dalam konflik dan terorisme. Rakyat Suriah, yang telah bertahun-tahun hidup dalam penderitaan, kini dihadapkan pada pilihan yang lebih buruk: tunduk pada rezim baru yang tidak lebih baik dari pendahulunya, atau melanjutkan perjuangan yang tampaknya tidak memiliki akhir.

Lebih luas lagi, krisis di Suriah menciptakan ketegangan geopolitik yang semakin kompleks. Negara-negara besar seperti Rusia, Iran, Turki, dan Amerika Serikat memiliki kepentingan yang berbeda dalam konflik ini. Rusia dan Iran terus mendukung pemerintah yang lebih pro terhadap mereka, sementara Turki mencoba menjaga zona pengaruhnya di utara dengan dalih melawan ancaman Kurdi. Di sisi lain, AS dan sekutunya masih terjebak dalam kebijakan yang tidak jelas, antara mendukung oposisi yang moderat atau menghindari keterlibatan yang lebih dalam.

Konflik ini juga semakin memperumit krisis pengungsi di kawasan. Jutaan warga Suriah telah mengungsi ke negara-negara tetangga seperti Turki, Lebanon, dan Yordania, menciptakan beban ekonomi dan sosial yang besar. Dengan situasi yang tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan, gelombang pengungsi baru berpotensi meningkat, memicu ketegangan lebih lanjut di kawasan dan meningkatkan risiko radikalisasi di kamp-kamp pengungsi yang penuh dengan ketidakpastian dan penderitaan.

Selain itu, kelompok ekstremis di Suriah kini memiliki peluang lebih besar untuk memperkuat posisi mereka. Dengan pemerintahan transisi yang lemah dan tidak memiliki legitimasi, kelompok-kelompok ini dapat lebih mudah merekrut anggota baru, memanfaatkan ketidakpuasan rakyat terhadap kepemimpinan yang korup dan tidak berpihak pada mereka. Ini bukan hanya ancaman bagi Suriah, tetapi juga bagi keamanan global, karena kelompok-kelompok ini dapat memperluas jangkauan mereka ke luar negeri.

Dunia internasional, khususnya negara-negara yang memiliki kepentingan di Suriah, juga harus segera menentukan sikap mereka. Apakah mereka akan terus mengakui pemerintahan ini demi stabilitas semu, atau akan menekan rezim Sharaa untuk benar-benar melakukan reformasi yang nyata? Saat ini, tampaknya pilihan pertama lebih mungkin terjadi. Stabilitas, meskipun dengan harga kebebasan dan hak asasi manusia, tampaknya lebih menarik bagi kekuatan global dibandingkan dengan perjuangan panjang menuju demokrasi yang sesungguhnya.

Dengan kondisi ini, Suriah tidak lebih dari sebuah panggung sandiwara politik di mana pemeran utamanya mungkin berubah, tetapi naskah yang dimainkan tetap sama. Rezim baru ini tidak lain hanyalah boneka yang dikendalikan oleh kepentingan kelompok tertentu, sementara rakyat Suriah tetap menjadi korban dalam permainan kekuasaan yang tidak pernah benar-benar berpihak pada mereka. Dan selama dunia tetap memilih untuk berdiam diri, siklus ini akan terus berlanjut tanpa akhir yang jelas.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *