Connect with us

Opini

Suriah Berlumur Darah, Al-Sharaa Sibuk Plesiran

Published

on

Di desa Ain al-Sharqiyah, dekat Jableh, Latakia, darah menggenang di tanah yang dulu damai. Pada 10 Mei, sembilan nyawa direnggut—termasuk seorang bocah 13 tahun—dalam pembantaian yang begitu brutal hingga dua korban ditemukan tanpa kepala. Warga menyebutnya pembunuhan bermotif sektarian, tudingan yang mengguncang nurani. Pelakunya? Diduga faksi bersenjata asing, konon terkait Brigade 107 Kementerian Pertahanan, yang bersekutu dengan Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Gambar-gambar mengerikan beredar di media sosial, menjeritkan kengerian yang tak terucap. Sementara itu, di istana megah Bahrain, Ahmad al-Sharaa, presiden interim Suriah, disambut karpet merah oleh Raja Hamad. Ironi ini begitu nyata, seperti drama absurd yang ditulis oleh tangan takdir yang sinis.

Langit Suriah masih kelabu, meski rezim Assad telah runtuh. HTS, di bawah Sharaa—mantan komandan Al-Qaeda yang kini mengenakan mantel diplomasi—mengklaim membawa fajar baru. Tapi, fajar macam apa yang membiarkan 1.600 warga Alawit dibantai pada Maret lalu, hanya karena identitas agama mereka? Rumah-rumah dibakar, harta dirampas, dan perempuan Alawit diculik ke Idlib, konon untuk jadi budak seks. Syria TV, corong pemerintah, menyebut pelaku pembantaian Ain al-Sharqiyah sebagai “penyerang tak dikenal,” seolah-olah kejahatan itu jatuh dari langit. Investigasi? Katanya sudah dimulai. Tapi, di negeri yang penuh luka ini, kata “investigasi” sering kali hanya gema kosong, seperti janji politikus di musim kemarau.

Sementara warga Latakia dan Tartous meratap, Sharaa justru melancong ke Bahrain, Riyadh, Doha, hingga kota-kota Eropa. Di Manama, ia duduk di ruang berhias emas, membicarakan “kerja sama perdagangan, penerbangan, energi, kesehatan, dan pendidikan,” kata Bahrain News Agency. Sungguh, betapa eloknya kata-kata itu—seperti puisi yang ditulis untuk menutupi noda darah. Bahrain, yang dulu memutus hubungan dengan Assad, kini buru-buru merangkul Sharaa, seolah lupa bahwa di Suriah, rumah-rumah Alawit di Ash al-Warwar, Damaskus, dirampas paksa. Warga diusir, dicap “shabiha” atau kolaborator rezim, hanya karena mereka lahir Alawit. Jika ini adalah “stabilitas” yang dijanjikan Sharaa, maka stabilitas itu terasa seperti lelucon yang tak lucu.

Bayangkan, di Jableh, seorang syekh Alawit terhormat, Saleh Mansour, diculik dari rumahnya. Keluarganya dianiaya, hartanya dijarah oleh pasukan tambahan yang seharusnya melindungi. Warga setempat harus turun tangan untuk mencegah lebih banyak penculikan—bukan pemerintah, bukan tentara, tapi warga biasa yang sudah muak. Di Al-Waer, Homs, wali kota Adham Mukhtar Rajoub ditembak mati oleh kelompok ekstremis yang diduga terkait HTS. Ini Suriah hari ini: seorang pemimpin berkeliling dunia, menggenggam tangan raja dan menteri, sementara rakyatnya bergulat dengan kematian, ketakutan, dan keputusasaan. Bukankah ini puncak absurditas, ketika seorang presiden lebih sibuk mengumpulkan stempel paspor daripada menghentikan darah yang tumpah di tanah airnya?

Tapi, tunggu dulu. Mungkin kita terlalu keras menilai Sharaa. Ia, bagaimanapun, mewarisi negeri yang sudah compang-camping. Suriah bukan sekadar negara; ia adalah mozaik luka, di mana setiap kelompok bersenjata punya agenda sendiri. HTS, yang dulu identik dengan jihad, kini berusaha tampil sebagai pemerintah yang sah. Kunjungan Sharaa ke Bahrain dan negara-negara Teluk adalah bagian dari tarian politik yang rumit. Ia butuh uang, pengakuan, dan sekutu untuk membangun kembali Suriah yang hancur. Tanpa dukungan regional, bagaimana ia bisa membayar gaji pegawai, memperbaiki jalan, atau menyalakan lampu di Damaskus? Diplomasi, meski pahit, adalah kebutuhan—bukan sekadar hobi seorang pemimpin yang haus sorotan.

Namun, di sinilah letak ironinya: diplomasi yang begitu gencar justru membuat Sharaa tampak terputus dari rakyatnya. Ketika ia berbincang tentang “stabilitas” dengan Raja Hamad, warga Ain al-Sharqiyah menghitung mayat. Ketika ia meneken nota kerja sama di Doha, perempuan Alawit di Idlib hidup dalam teror. Laporan Amnesty International pada awal 2025 menyebut pembunuhan massal Alawit sebagai kejahatan perang, sementara Syrian Observatory for Human Rights mencatat eksekusi warga sipil oleh pasukan keamanan. Sharaa pernah membentuk komite investigasi, tapi hasilnya? Seperti menanti hujan di padang pasir—banyak harap, minim hasil. Jika ia serius, mengapa faksi-faksi seperti Brigade 107, yang diduga terkait HTS, masih bebas berbuat onar?

Ada bisik-bisik bahwa Sharaa sengaja membiarkan faksi ekstremis ini. HTS, meski kini mengenakan jas pemerintahan, masih bergantung pada kelompok-kelompok bersenjata yang tak selalu patuh. Menindak mereka berarti mempertaruhkan perpecahan di dalam koalisinya sendiri—risiko yang mungkin terlalu besar bagi seorang pemimpin yang baru berkuasa. Jadi, ia memilih jalan aman: tersenyum di foto bersama raja-raja Teluk, sambil berharap dunia tak terlalu memperhatikan kekacauan di Latakia. Ini bukan ketidakpedulian, tapi perhitungan politik yang dingin. Tapi, bagi warga Suriah yang kehilangan keluarga, perhitungan macam ini terasa seperti pengkhianatan.

Lalu, apa yang bisa kita harapkan dari Sharaa? Seorang mesias yang akan menyatukan Suriah? Atau sekadar politikus oportunis yang pandai berpindah topeng? Mungkin jawabannya ada di tengah-tengah. Ia tahu bahwa tanpa dukungan Turki, Qatar, atau Bahrain, pemerintahannya bisa runtuh seperti rumah kartu. Tapi, ia juga tahu bahwa rakyat Suriah bukan sekadar pion dalam permainan geopolitik. Mereka adalah ibu yang kehilangan anak, ayah yang rumahnya dibakar, anak yang tak tahu apa itu aman. Jika Sharaa ingin lebih dari sekadar catatan kaki dalam sejarah, ia harus turun dari pesawat jetnya dan menghadapi kenyataan di tanah Suriah.

Mari kita jujur: dunia tak terlalu peduli dengan Ain al-Sharqiyah. Media internasional lebih sibuk membahas perang di tempat lain atau drama selebritas. Bahrain, dengan kilau istananya, mungkin melihat Sharaa sebagai sekutu baru untuk menandingi pengaruh Iran atau Rusia di kawasan. Tapi, bagi warga Suriah, setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup.

Jadi, apa yang tersisa? Sebuah negeri yang patah hati, dipimpin oleh seorang pria yang sibuk menjahit aliansi di luar negeri sementara jahitannya di dalam negeri terus terlepas. Sharaa bisa saja menulis babak baru untuk Suriah, tapi ia harus mulai dengan menghentikan darah yang mengalir. Investigasi yang transparan, hukuman bagi pelaku, dan perlindungan bagi Alawit bukan sekadar keharusan—itu adalah tes kemanusiaannya. Sampai itu terjadi, setiap jabat tangan di istana asing akan terasa seperti tamparan bagi rakyatnya. Dan kita, sebagai penonton drama tragis ini, hanya bisa menggeleng, tersenyum miris, dan bertanya: kapan Suriah akan menemukan kedamaian?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *