Opini
Suriah Bergulat: ISIS, Luka, dan Harapan di Tengah Bara

Di pinggiran Aleppo, di bawah langit yang kelabu dan berat, tembakan dan ledakan mengguncang Haydariya dan Jisr al-Jazmati. Menurut sumber lokal yang dikutip Al Mayadeen, media berbasis Beirut yang kerap memberi perspektif pro-pora tertentu, bentrokan sengit meletus antara Pasukan Keamanan Umum Suriah dan terduga anggota ISIS. Tiga prajurit ditawan, satu gugur, lainnya terluka. Seorang militan, dalam keputusasaan atau kemarahan, meledakkan rompi bom di tengah baku tembak. Realitas ini menusuk. Suriah, negeri yang sudah terkoyak perang, masih dihantui kekerasan. Bagaimana sebuah tanah yang penuh luka tak kunjung menemukan damai?
Aleppo, kota yang dulu hidup dengan aroma rempah dan nyanyian pedagang, kini bergulat dengan bayang-bayang konflik. Bentrokan itu bukan sekadar angka. Ada jiwa di baliknya—prajurit yang mungkin punya anak menanti di rumah, keluarga yang berdoa dengan napas tertahan. Al Mayadeen melaporkan Aleppo segera diperkuat dengan pasukan dan pos pemeriksaan sementara. Tapi, aku bertanya, cukupkah ini? ISIS, meski kehilangan wilayah, masih bersemayam di celah-celah ketidakstabilan, menyerang di pinggiran tempat harapan sering kali memudar.
Kementerian Dalam Negeri Suriah, melalui operasi khusus di Aleppo timur, berupaya keras. Mereka menewaskan satu militan, menangkap satu lagi, dan menyita senjata, alat peledak, serta pakaian berlambang Pasukan Keamanan Umum. Temuan ini mengerikan. ISIS, tampaknya, mencoba menyusup, menyamar sebagai pasukan resmi. Bayangkan ketidakpastian itu: seorang “prajurit” di pos pemeriksaan bisa jadi musuh. Ini bukan sekadar ancaman fisik, tapi juga racun yang merusak kepercayaan—hal yang sudah begitu rapuh di Suriah.
Jauh di Damaskus selatan, luka lain terbuka. Dua hari lalu, kelompok bersenjata yang terkait Kementerian Pertahanan dan Dalam Negeri menyerbu rumah di Sayidah Zeinab. Menurut Syrian Observatory for Human Rights, organisasi berbasis Inggris yang memantau konflik namun kadang dikritik karena sumbernya sulit diverifikasi, mereka memukuli penghuni, menghina, merusak barang, dan menculik dua bersaudara Syiah—salah satunya remaja. Hingga kini, tak ada kabar tentang mereka. Tanpa tuduhan resmi, keluarga hanya bisa menanti dalam sunyi. Ini bukan sekadar kekerasan; ini pengkhianatan terhadap harapan akan pemerintahan yang adil.
Aku teringat seorang perempuan Suriah di kamp pengungsi Yordania. Matanya penuh cerita saat ia berkata, “Perang merampas rumahku, tapi yang paling sakit adalah kehilangan kepercayaan.” Insiden seperti di Sayidah Zeinab, atau serangan di pedesaan Idlib, memperdalam luka itu. Ketidakadilan ini, jika dibiarkan, adalah tanah subur bagi ISIS. Mereka tak hanya menawarkan senjata, tapi juga makna palsu bagi jiwa-jiwa yang putus asa. Bagaimana Suriah bisa sembuh jika rakyatnya terus dikhianati oleh mereka yang seharusnya melindungi?
Di tengah kekacauan, ada secercah usaha. Menteri Pertahanan Suriah, Murhaf Abu Qasra, mengumumkan langkah berani: semua unit militer harus bergabung di bawah Kementerian Pertahanan dalam 10 hari. “Tak ada toleransi untuk faksi di luar kendali,” tegasnya, seperti dikutip Al Mayadeen. Ini taruhan besar untuk menyatukan Suriah yang tercerai-berai. Aku membayangkan seorang komandan faksi, duduk di tenda sederhana, menimbang masa depan. Anak buahnya telah bertahun-tahun bertarung, kehilangan kawan. Menyerahkan senjata berarti melepas sebagian identitas mereka. Akankah mereka patuh, atau justru melawan?
Langkah ini bukan hal baru. Sejak Januari, pemerintah transisi bernegosiasi dengan faksi bersenjata. Desember lalu, Ahmad al-Sharaa, pemimpin baru, membujuk mereka untuk bubar dan bergabung, seperti dilaporkan Syrian Arab News Agency, media resmi negara. Tapi, 10 hari adalah waktu singkat. Jika ada yang membangkang, apa yang terjadi? Abu Qasra menyebut “tindakan hukum,” tapi apakah itu berarti penahanan atau pertempuran? Setiap kesalahan bisa memicu bara baru di negeri yang sudah penuh abu.
Suriah bukan hanya melawan ISIS, tapi juga luka dalam dirinya sendiri. Sanksi ekonomi, yang masih mencekik meski ditujukan untuk rezim lama, memperparah penderitaan. Data PBB menyebut 90% warga Suriah hidup di bawah garis kemiskinan. Bayangkan seorang ibu yang tak bisa beli obat untuk anaknya, atau petani yang tak bisa jual hasil panen. Di tengah keputusasaan ini, ISIS menemukan celah untuk merekrut. Al-Sharaa memohon dunia mencabut sanksi, tapi kepercayaan internasional sulit diraih jika pemerintah tak bisa menjamin keadilan.
Aku teringat Aleppo yang kini penuh pos pemeriksaan. Di sana, anak-anak mungkin masih bermain di sela reruntuhan, mencuri tawa di tengah ketakutan. Mereka adalah alasan Suriah harus bangkit. Tapi bagaimana caranya? Menghancurkan ISIS butuh lebih dari senjata; butuh kepercayaan rakyat. Kasus Sayidah Zeinab harus diselidiki, pelaku dihukum, keluarga korban diberi jawaban. Polisi harus melindungi, bukan menakuti; tentara harus bersatu, bukan terpecah. Pemerintah perlu mendengar, bukan mendikte.
Kita, yang membaca ini dari jauh, mungkin merasa tak berdaya. Tapi benarkah kita tak bisa berbuat apa-apa? Kita bisa mendukung LSM kemanusiaan seperti Syria Relief atau White Helmets, yang membawa bantuan langsung ke warga. Kita bisa mengedukasi orang-orang di sekitar tentang dampak sanksi—bagaimana mereka menyengsarakan rakyat biasa, bukan elit. Kita bisa mendesak pemerintah kita untuk membuka kanal diplomasi sipil, mendukung solusi damai, atau mengirim bantuan pendidikan untuk anak-anak Suriah. Bahkan berbagi cerita mereka di media sosial bisa menyalakan perhatian dunia.
Aku teringat kata-kata perempuan di kamp pengungsi itu: “Aku ingin putraku tahu dunia ini bisa lebih baik.” Suriah, seperti tubuh yang penuh luka, butuh waktu untuk sembuh. Tapi waktu tak cukup. Dibutuhkan keberanian untuk menjahit luka itu—dengan benang keadilan, kebersamaan, dan harapan. Di Haydariya, di Damaskus, di setiap sudut negeri itu, ada orang-orang yang masih bermimpi tentang esok yang damai. Pertanyaannya, akankah kita membantu mereka? Atau kita hanya akan menonton, berharap luka itu sembuh sendiri?