Opini
Suriah Berdarah: Sektarianisme, Politik, dan Pengkhianatan

Presiden transisi Suriah, Ahmad al-Sharaa berbicara di sebuah masjid di Mazzeh, Damaskus. Wajahnya tenang, suaranya teduh, seakan hendak menenangkan bangsa yang berkubang dalam darah. “Kita harus menjaga persatuan nasional dan perdamaian,” katanya, sementara di pesisir barat Suriah, ratusan tubuh terbujur kaku, eksekusi massal dilakukan oleh pasukan pro-pemerintah. Kedamaian macam apa yang ia maksud?
Tak ada seruan untuk menghentikan pembantaian. Tak ada kecaman bagi para jagal yang menjadikan desa-desa sebagai ladang jagal. Sebaliknya, al-Sharaa menyerukan agar mereka yang masih hidup segera menyerah sebelum terlambat. Sebelum terlambat? Untuk siapa? Untuk mereka yang tengah digiring ke lubang eksekusi, atau untuk para pembantai yang perlu menyelesaikan pekerjaannya?
Sebuah komite dibentuk untuk menyelidiki tragedi di pesisir. “Independent,” kata mereka, seakan rakyat Suriah masih terlalu bodoh untuk memahami sandiwara ini. Komite ini akan “mengidentifikasi pelaku,” lalu menyeret mereka ke pengadilan. Pelaku? Apakah itu berarti tentara pemerintah yang sedang berpesta darah di desa-desa Alawite? Ataukah yang akan ditangkap adalah mereka yang menolak dibantai?
Di Tartous, di Latakia, di Homs, di Hama, rumah-rumah terbakar, mayat-mayat membusuk di jalanan. Sementara itu, laporan-laporan dari “pengamat independen” di Barat dengan nyaman menyebut para korban sebagai bagian dari rezim lama. Seolah-olah menjadi Alawite hari ini adalah dosa politik, kejahatan yang pantas dihukum mati tanpa pengadilan.
Sektarianisme adalah bisnis yang menguntungkan. Tak ada perang yang lebih panjang dan lebih bermanfaat bagi mereka yang berada di puncak selain perang identitas. Sunni dan Syiah, Arab dan Kurdi, Alawite dan oposisi. Tembok-tembok perpecahan itu dibangun dengan hati-hati, dicat dengan darah, dibiarkan membusuk agar dendam selalu tumbuh. Agar kematian bukan hanya angka, tetapi siklus tanpa akhir.
Di satu sisi, ada yang berpura-pura buta, seolah pembantaian ini hanyalah konsekuensi dari “perubahan politik.” Di sisi lain, ada yang melihat ini sebagai kemenangan, sebagai babak baru dari perang suci yang akhirnya menempatkan “mayoritas” di atas “minoritas” yang terlalu lama berkuasa. Suriah, negeri yang dahulu bangga dengan keberagamannya, kini berubah menjadi tanah yang menuntut keseragaman.
Saat rumah-rumah Alawite dijarah, saat anak-anak mereka dipenggal, saat wanita-wanita mereka diperkosa sebelum ditembak di kepala, dunia menoleh ke arah lain. “Itu hanya balasan,” kata mereka. “Itu adalah harga yang harus dibayar setelah bertahun-tahun penindasan.” Bukankah ini menarik? Pembantaian yang salah tetap salah, kecuali ketika korbannya adalah musuh politik.
Al-Sharaa tahu persis apa yang sedang terjadi. Ia bukan orang bodoh. Ia bukan boneka yang tidak sadar sedang memainkan peran dalam skenario yang lebih besar. Dengan wajah datar, ia berbicara tentang persatuan, tentang hidup berdampingan. Sementara itu, mereka yang memiliki nama belakang yang salah, yang kebetulan terlahir dari keluarga yang salah, diseret ke jalanan dan ditembak seperti anjing liar.
Ketika seorang diktator membunuh, dunia berteriak “kejahatan perang.” Ketika massa yang marah melakukan hal yang sama, itu disebut “pembebasan.” Ketika tentara menembak, itu “opresi.” Ketika pemberontak memenggal kepala orang, itu “perjuangan.” Betapa menariknya cara dunia mengatur moralitasnya. Betapa fleksibelnya keadilan dalam tangan mereka yang mengendalikan narasi.
Tapi ini bukan pertama kalinya Suriah terbakar oleh sektarianisme. Kita telah melihat ini sebelumnya. Kita telah melihat bagaimana perang ini dipelihara, disiram dengan kebencian, dengan propaganda, dengan kebohongan yang begitu sering diulang hingga menjadi kebenaran. Kita tahu siapa yang menjual senjata, siapa yang mendanai kelompok-kelompok yang membantai warga sipil, siapa yang diuntungkan dari kekacauan ini.
Al-Sharaa berbicara tentang kesempatan untuk hidup bersama. Seakan-akan yang mati di pesisir barat memilih untuk tidak hidup. Seakan-akan mereka yang tubuhnya tertumpuk di jalanan memutuskan untuk berhenti bernapas. Seakan-akan ini semua adalah kesalahan mereka sendiri. Ia berbicara tentang persatuan, tapi yang ia maksud adalah tunduk. Bersatulah dengan pemerintah, atau mati. Hidup berdampingan, tapi hanya jika kau berada di sisi yang benar dari moncong senapan.
Dan dunia? Dunia akan terus menonton. Media akan memilih kata-katanya dengan hati-hati, menghindari istilah yang bisa membuat publik mempertanyakan narasi yang sudah ditanamkan bertahun-tahun. Para analis akan mengoceh di televisi, menjelaskan bagaimana ini adalah bagian dari transisi yang diperlukan. Para diplomat akan menggelar konferensi, berbicara tentang harapan untuk masa depan yang lebih baik, sementara genangan darah semakin melebar.
Tak ada yang peduli dengan para janda yang kehilangan suami. Tak ada yang peduli dengan anak-anak yang harus tumbuh dalam bayang-bayang pembantaian. Yang penting adalah siapa yang memegang kendali, siapa yang berkuasa, siapa yang menulis sejarah. Karena pada akhirnya, tidak ada yang benar atau salah, hanya ada pemenang dan yang mati terlupakan.
Maka inilah Suriah hari ini. Sebuah negara yang dimutilasi oleh ambisi, oleh kebencian yang dikemas sebagai keadilan, oleh pemimpin yang berbicara tentang perdamaian dengan tangan yang masih basah oleh darah rakyatnya sendiri. Ahmad al-Sharaa mungkin percaya bahwa sejarah akan mengingatnya sebagai pemersatu. Tapi bagi mereka yang masih bernapas di antara reruntuhan, ia hanyalah pengantar kematian yang mengenakan jas dan dasi, berbicara tentang persatuan di atas kuburan massal.