Connect with us

Opini

Suriah Berdarah: Harapan dan Luka di Tengah Transisi

Published

on

Tiga petugas kepolisian Suriah tewas pada hari Minggu, tubuh mereka terkoyak oleh ledakan bom mobil yang menghantam kantor polisi di Al-Mayadin, sebuah kota di Deir Ezzor yang dulu ramai namun kini terluka oleh perang. Ledakan itu bukan sekadar angka dalam laporan, melainkan jeritan nyata dari tanah yang tak kunjung damai. Bayangkan: pagi yang seharusnya biasa, tiba-tiba direnggut oleh kobaran api dan debu. Apa yang dirasakan keluarga mereka saat mendengar kabar?

Kegelisahan menyelimuti kita, seolah Suriah—negeri yang telah menanggung penderitaan selama lebih dari satu dekade—mengingatkan kita bahwa perdamaian sering kali hanya ilusi di tengah kekacauan. Menurut Al Mayadeen, pasca-serangan, pihak keamanan memberlakukan jam malam ketat mulai pukul 20.00 hingga pemberitahuan lebih lanjut, sementara Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung AS berjaga di tepi timur Sungai Efrat, bersiaga terhadap ancaman yang tak pernah reda. Ini bukan sekadar berita; ini adalah lukisan tragis dari sebuah bangsa yang berjuang untuk bernapas.

Di Aleppo, keadaan tak kalah mencekam. Bentrokan sengit antara Pasukan Keamanan Umum dan tersangka anggota ISIS di Haydariya dan Jisr al-Jazmati merenggut nyawa. Seorang militan meledakkan dirinya, seolah menegaskan bahwa kematian adalah bahasa terakhir kekerasan. “Satu militan dinetralkan, satu ditangkap, dengan senjata dan bahan peledak disita,” ungkap juru bicara Kementerian Dalam Negeri Suriah, seperti dikutip Al Mayadeen. Tapi di balik angka itu, ada kepanikan di jalanan: anak-anak berlari, ibu-ibu memeluk anak mereka. Aleppo, kota yang pernah jadi pusat budaya, kini berdarah lagi. Tiga anggota keamanan ditawan, satu tewas, lainnya luka—nama dan mimpi yang kini sirna. Pos pemeriksaan sementara didirikan, tapi apakah ini kemenangan? Atau hanya jeda sebelum ledakan berikutnya? Kita bertanya: sampai kapan Suriah harus membayar harga untuk dosa-dosa yang tak sepenuhnya miliknya?

Jauh di selatan, di Sayidah Zeinab, Damaskus, laporan dari Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) mengungkap penggerebekan brutal. Kelompok bersenjata yang terkait Kementerian Pertahanan dan Dalam Negeri menyerbu rumah warga, memukuli dua bersaudara dari komunitas Syiah, dan membawa mereka ke lokasi tak diketahui. Rumah dirusak, barang dicuri. “Tindakan ini melibatkan kekerasan fisik dan verbal,” kata SOHR, menyoroti kekosongan hukum di tengah transisi. Tak ada kabar tentang nasib mereka, hanya keheningan yang menyakitkan. Ini bukan sekadar penggerebekan; ini pengkhianatan terhadap harapan bahwa pasca-Assad akan ada keadilan. Kita teringat razia di kampung-kampung Indonesia zaman dulu, yang meninggalkan trauma. Tapi di Suriah, kekerasan ini adalah roti sehari-hari. Bagaimana hati bisa utuh di tengah luka yang terus bertambah?

Namun, di tengah gelapnya kabar, ada secercah usaha untuk menyembuhkan. Pada 17 Mei 2025, pemerintah transisi Suriah mengumumkan pembentukan Komisi Nasional untuk Keadilan Transisi, seperti dilaporkan Al Mayadeen. Dipimpin Abdel Baset Abdel Latif, komisi ini bertugas mengungkap pelanggaran rezim lama, memastikan akuntabilitas, dan memberikan reparasi kepada korban. “Komisi ini akan bekerja secara independen di seluruh Suriah,” bunyi dekret Ahmad al-Shara. Ini langkah besar, tapi rapuh. Mencari kebenaran di negeri yang terkoyak oleh kebohongan dan dendam bukanlah hal mudah. Komisi ini harus berjalan di tali tipis antara keadilan dan rekonsiliasi, di tengah ancaman seperti bom di Al-Mayadin. Kita ingin percaya ini awal penyembuhan, tapi hati bertanya: dapatkah keadilan lahir dari tanah yang masih berdarah?

Sementara itu, Menteri Pertahanan Murhaf Abu Qasra berupaya menyatukan faksi bersenjata. Pada 16 Mei 2025, ia memberikan tenggat 10 hari bagi kelompok-kelompok kecil untuk bergabung dengan Kementerian Pertahanan. “Kami mulai mengintegrasikan unit militer dalam kerangka terpadu,” katanya, seperti dikutip Al Mayadeen. Tapi ini bukan tugas sederhana. Bayangkan seorang ayah yang mendamaikan anak-anak bersenjata dengan agenda sendiri. Pembubaran faksi seperti Hay’at Tahrir al-Sham adalah langkah berani, tapi resistensi masih ada. Di Deir Ezzor, ketegangan antara SDF dan kelompok yang didukung Turki terus membara. Di Aleppo, ISIS masih menghantui. Ini bukan sekadar masalah militer; ini cerminan bangsa yang terpecah, di mana kepercayaan adalah barang langka.

Konteksnya lebih luas dari sekadar Suriah. Negeri ini adalah panggung bagi aktor asing—AS, Turki, Rusia, Iran—yang sering memperburuk luka. SDF didukung AS, tapi dianggap ancaman oleh Turki. Kelompok di utara mendapat restu Ankara, tapi memicu ketegangan dengan pemerintah transisi. Ini seperti permainan catur, tapi bidaknya nyawa manusia. Menurut laporan PBB pada April 2025, lebih dari 13 juta warga Suriah masih terlantar akibat konflik berkepanjangan. Apa yang tersisa bagi rakyat yang hanya ingin hidup tanpa takut? Kita teringat cerita leluhur kita tentang perjuangan melawan penjajah—tapi di Suriah, penjajahnya kadang dari dalam, kadang dari luar, sering kali keduanya.

Laporan ini tak cukup menangkap rasa sakit di pasar Al-Mayadin, gang Aleppo, atau rumah-rumah Sayidah Zeinab. Kita membaca tentang ledakan dan penggerebekan, tapi di baliknya ada ibu yang menangis, anak yang kehilangan ayah, pemuda yang tak percaya pada masa depan. Di Indonesia, kita mungkin kenal cerita tentang kehilangan akibat konflik—di Aceh, Poso, atau Ambon. Tapi di Suriah, skala penderitaannya sulit dibayangkan. Kita yang membaca dari jauh merasa tak berdaya, tapi memahami adalah langkah awal. Suriah bukan sekadar berita; ini cermin dari apa yang terjadi ketika kemanusiaan dibiarkan terkoyak. Apa yang menjaga dunia lain dari nasib serupa?

Ada harapan kecil, bukan yang naif, tapi yang lahir dari keteguhan. Pemerintah transisi, meski rapuh, berusaha membangun kembali. Komisi Keadilan Transisi menawarkan janji kebenaran. Rakyat Suriah, meski lelah, terus bertahan. Seperti pohon zaitun yang tumbuh di tanah kering, Suriah mungkin menemukan cara untuk bangkit. Tapi dunia harus mendengar, bukan hanya membaca. Dunia harus peduli, bukan hanya bersimpati. Kita, di mana pun, harus bertanya: apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga cahaya kecil itu tak padam? Mungkin dengan berbagi cerita mereka, atau mendesak pemimpin kita untuk mendukung perdamaian, kita bisa membantu. Karena di akhir hari, kemanusiaan adalah milik kita bersama.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *