Connect with us

Opini

Suriah Baru: Turki Masuk, Kurdi Keluar?

Published

on

Setelah 8 Desember tahun lalu, Suriah memasuki babak baru yang penuh paradoks. Ahmad al-Sharaa, pemimpin baru yang sebelumnya dikenal dengan nama Abu Muhammad al-Jolani, kini memimpin negara yang mengarah pada pemulihan ketertiban. Namun, di balik teriakan damai, terselip janji-jani politik yang menggiring Suriah menuju gejolak baru. Begitulah Suriah sekarang—selalu ada dua wajah dalam setiap langkahnya.

Di satu sisi, al-Sharaa menjanjikan dialog dengan Kurdi, mereka yang telah lama berjuang di tanah yang mereka anggap sebagai rumah. Pemerintahannya berkomitmen memberi waktu untuk penyelesaian tanpa darah, tanpa kekerasan. Namun, di sisi lain, langkah al-Sharaa ini terasa seperti sandiwara politik. Turki, sekutu yang selalu mencurigai Kurdi sebagai ancaman, merasa bahwa waktu yang dimaksud bukanlah waktu yang tepat untuk damai.

Sebagai pemimpin kelompok Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) yang kini menjadi pilar pemerintahan Suriah, al-Sharaa mencoba merangkul semua pihak. Namun, ia juga membuka pintu lebar-lebar bagi Turki untuk melancarkan operasi militer di utara Suriah. Rencana ini jelas menguntungkan Turki, yang selalu memandang SDF dan YPG—dua kekuatan utama yang dikelola oleh Kurdi—sebagai ancaman besar bagi keamanan nasionalnya. Apakah dialog ini hanya tipu daya?

Di dalam negosiasi ini, Suriah tidak hanya berhadapan dengan Kurdi di dalam negeri, tetapi juga dengan kepentingan luar. Pemerintah al-Sharaa berusaha menghindari konflik dengan Kurdi sambil menyisakan ruang bagi Turki untuk bertindak. Hasilnya? Sebuah kenyataan yang lebih pahit: kurban terbesar dalam politik ini adalah keadilan bagi Kurdi. Sementara al-Sharaa berbicara tentang “solusi damai”, Turki terus memperingatkan bahwa kegagalan Kurdi menerima tawaran mereka dapat berujung pada serangan besar-besaran.

Kurdi di Suriah, yang selama ini berada di garis depan perlawanan terhadap ISIS, kini berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, mereka dihadapkan pada pemerintah yang berjanji memberi mereka hak yang setara di masa depan. Namun, pada saat yang sama, mereka juga harus berhadapan dengan kemungkinan operasi militer Turki yang ingin menggusur mereka dari wilayah utara Suriah. Tentu saja, ini bukan hanya soal politik, tetapi tentang eksistensi mereka sebagai komunitas.

Turki, dengan pendekatan “militer atau damai”, telah lama berusaha mendikte permainan di wilayah ini. Bagi Ankara, masalah Kurdi tidak hanya soal politik dalam negeri, tetapi juga soal integritas negara. Jadi, jika al-Sharaa memberikan lampu hijau untuk operasi militer Turki, maka tidak ada ruang bagi dialog nyata dengan Kurdi. Di sini, Suriah tampaknya lebih memilih memberi Turki kebebasan daripada berfokus pada kesejahteraan rakyatnya sendiri, termasuk kaum Kurdi.

Sementara itu, di permukaan, al-Sharaa menyampaikan klaim bahwa pemerintahannya akan memberi kesempatan bagi semua warga Kurdi untuk kembali ke tanah kelahiran mereka dan hidup sebagai warga negara yang setara. Namun, ini semua hanya rhetoric tanpa substansi. Mengingat sejarah panjang ketidakadilan yang mereka alami, apakah janji itu bisa dipercaya? Kurdi yang selama ini dihimpit diskriminasi oleh rezim sebelumnya mungkin merasa bahwa kebijakan ini hanyalah upaya untuk menenangkan dunia luar, bukan untuk menciptakan perubahan nyata di lapangan.

Pada akhirnya, Suriah baru yang dibangun oleh al-Sharaa tampaknya lebih menyerupai negara dengan dua hukum yang berbeda—satu untuk rakyat Suriah yang dianggap loyal, dan satu lagi untuk mereka yang berani melawan. Kurdi, dengan segala perjuangannya, kini berada di antara dua pilihan pahit: menerima dominasi Turki atau bertahan dalam ketidakpastian. Sementara al-Sharaa sibuk memainkan kartu diplomasi dan operasi militer, rakyat Suriah yang terperangkap dalam kebingungan ini harus menunggu ke mana arah negara mereka akan dibawa.

Dunia mengamati Suriah dengan penuh kekhawatiran. Apakah al-Sharaa akan menjadi pemimpin yang mampu mengakhiri pertumpahan darah, atau justru menambah ketegangan dengan membuka peluang bagi Turki untuk lebih dalam memasuki wilayah yang seharusnya menjadi milik rakyat Suriah? Yang pasti, Suriah baru adalah tempat di mana dialog dan invasi berjalan berdampingan, dan rakyatnya terjebak di antara dua kebijakan yang saling bertentangan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *