Opini
Suriah Baru: Terserah Israel, Yang Penting Iran Salah

Setelah jatuhnya Bashar al-Assad pada Desember lalu, Suriah memasuki babak baru yang penuh dengan ironi. Pemimpin baru Suriah, Ahmad al-Sharaa, yang dahulu berjuang melawan pemerintahan Bashar al-Assad, tampaknya lebih sibuk mencari kambing hitam daripada mengatasi masalah nyata yang dihadapi negaranya. Iran, yang dianggap sebagai salah satu penyebab kerusakan Suriah di masa lalu, terus dijadikan sasaran kritik, sementara Israel bebas menghancurkan tanah Suriah tanpa mendapat perlawanan berarti.
Dalam sebuah wawancara dengan media Suriah, al-Sharaa menyebutkan bahwa pasukan milisi Iran yang hadir di Suriah selama rezim Assad hanya memperburuk keadaan dan memberi dampak negatif pada stabilitas negara dan kawasan. Iran memang tak bisa dipungkiri memiliki pengaruh besar dalam perang di Suriah, namun menjadikannya satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas kehancuran Suriah adalah pendekatan yang simplistis dan tidak bijaksana.
Namun, di sisi lain, al-Sharaa tampak mengabaikan kenyataan yang lebih mendesak—Israel yang terus menggempur Suriah. Dalam beberapa pekan terakhir, serangan udara Israel menghancurkan fasilitas militer Suriah di Tartous dan Damaskus, termasuk sistem pertahanan udara dan depot amunisi. Serangan ini menjadi yang terbesar dalam satu dekade terakhir, dan ini hanyalah bagian dari kampanye militer Israel untuk melemahkan Suriah.
Sikap al-Sharaa yang terlihat tak acuh terhadap agresi Israel di masa kepemimpinannya jelas menimbulkan pertanyaan besar. Kenapa dia lebih menyoroti Iran, sementara Israel dengan terang-terangan merusak kedaulatan Suriah? Jika memang Suriah baru mengedepankan kedaulatan dan kemerdekaan, maka mengabaikan serangan Israel jelas bertentangan dengan narasi yang dia bangun. Dalam hal ini, Suriah seperti memberi izin kepada Israel untuk bebas beraksi, asalkan Iran tetap menjadi kambing hitam.
Ironisnya, al-Sharaa yang sering berbicara tentang kebutuhan untuk membangun hubungan baru dengan dunia internasional, termasuk negara-negara besar, malah terlihat lebih suka “menjaga jarak” dengan Iran, yang justru telah menjadi kekuatan yang mendukung perjuangan Suriah. Sementara itu, Israel yang jelas-jelas menghancurkan Suriah, seolah-olah dibiarkan bebas. Bahkan, al-Sharaa justru memilih untuk tidak menanggapi serangan-serangan Israel dengan cara yang tegas.
Jika al-Sharaa berdalih bahwa Suriah dalam keadaan terlalu lemah untuk melawan Israel, maka kita bisa melihat kontradiksi besar. Hamas, yang jauh lebih kecil dari Suriah dan menghadapi serangan lebih besar dari Israel, tetap berjuang tanpa henti untuk mempertahankan tanahnya. Sementara Suriah yang jauh lebih besar dan memiliki potensi militer yang lebih kuat, seolah pasrah ketika Israel menyerang tanpa ampun.
Bagi al-Sharaa, sepertinya ada prioritas yang lebih besar daripada mempertahankan tanah airnya dari agresi langsung. Sebagai contoh, dalam wawancaranya dia menyebutkan bahwa Suriah kini dalam kondisi “keletihan umum” dan tak memiliki kekuatan untuk bertempur. Tentu saja, ini adalah alasan yang bisa dipahami, tetapi pada saat yang sama, apakah Suriah akan terus-menerus menyembunyikan dirinya di balik alasan ini, sementara Israel terus memperlakukan negara ini seperti daerah uji coba senjata?
Sebagai pemimpin Suriah yang baru, al-Sharaa seharusnya mengerti bahwa Suriah tidak hanya harus menanggapi ancaman dari dalam negeri, tetapi juga dari luar. Kecaman terhadap Iran adalah hal yang sah, mengingat peran Iran dalam sejarah Suriah modern. Namun, di saat yang bersamaan, negara ini tidak boleh membiarkan Israel bebas merusak segala sesuatu yang ada di tanahnya tanpa melakukan tindakan nyata.
Kebijakan al-Sharaa yang selektif dalam mengecam pihak-pihak tertentu, seperti Iran, dan diam saat Israel beraksi, seharusnya menjadi bahan perenungan bagi rakyat Suriah. Apakah Suriah benar-benar akan terus memilih kebijakan yang hanya menguntungkan pihak tertentu di luar negeri, sementara mengabaikan perlindungan terhadap tanah airnya sendiri? Jika jawabannya “ya”, maka Suriah baru ini mungkin hanya akan menjadi negara yang dilihat sebagai alat oleh negara-negara besar, bukan sebagai bangsa yang berdiri dengan tegas atas kedaulatannya.