Opini
Suriah Baru: Syariah HTS dan Tirani Berkedok Agama

Kementerian Agama Suriah baru saja mengeluarkan surat edaran yang menghidupkan kembali hukum lama: dilarang makan di tempat umum saat Ramadan, demi menghormati perasaan mereka yang berpuasa. Jika aturan ini disahkan, siapapun yang berani menggigit roti di depan umum bisa masuk penjara. Tidak peduli dia Muslim, non-Muslim, atau sekadar lapar di siang hari.
Suriah kini melangkah menuju era baru: era Syariah Islam ala Hay’at Tahrir al-Sham (HTS). Sejak kelompok ini mengambil alih Damaskus pada Desember tahun lalu, mereka semakin percaya diri membentuk masyarakat impian mereka. Masyarakat yang tunduk total pada aturan yang mereka buat. Masyarakat yang tidak boleh berpikir berbeda, apalagi makan berbeda. Syariah versi mereka adalah mutlak.
Tak hanya soal puasa, HTS juga membawa tren busana baru. Mereka ingin perempuan Suriah mengenakan niqab, bukan sekadar hijab. Plakat-plakat tersebar di masjid, mendorong wanita agar menutupi diri seutuhnya. Sebuah revolusi fashion? Tidak juga. Ini lebih mirip operasi militer terhadap kebebasan individu. Karena bagi HTS, kehormatan perempuan terletak pada seberapa banyak tubuhnya yang tertutup.
Seorang ulama Salafi kelahiran Gaza, Al-Zubayr Abu Abd al-Rahman al-Ghazzi, dengan bangga mengunggah foto perempuan berbondong-bondong mengenakan niqab. Ia menyebutnya kemenangan syariah. Di hadapan kamera, wanita-wanita itu tersenyum, atau mungkin dipaksa tersenyum. Tidak ada yang berani bertanya apakah mereka mengenakan niqab karena pilihan, atau karena takut hukuman.
Seiring dengan itu, HTS mengokohkan kekuasaan dengan gaya khas mereka: darah dan intimidasi. Sejak Desember, mereka telah mengeksekusi orang-orang Alawit secara sistematis. Lima belas nyawa melayang di desa Arzeh, Hama, hanya dalam satu bulan. Minoritas mulai bertanya-tanya, siapa giliran berikutnya? Ataukah ini hanya permulaan dari daftar panjang yang belum selesai?
Maurice Amsih, seorang uskup Ortodoks Suriah dari Hasakah, berkata dengan getir bahwa ia hanya ingin diperlakukan sebagai manusia. Tetapi harapan itu semakin jauh. Syariah ala HTS tidak punya ruang untuk perbedaan. Mereka tidak bertanya siapa Anda. Mereka hanya peduli apakah Anda cukup patuh. Jika tidak, konsekuensinya bisa mematikan.
Maria Hanna, seorang aktivis sipil, dulu merayakan kejatuhan Assad. Tapi kegembiraan itu berubah menjadi ketakutan. Ia kini tidak yakin apakah Suriah yang baru lebih baik dari yang lama. Sebab yang datang setelah kediktatoran sekuler adalah kediktatoran agama. Dan keduanya, seperti dua sisi koin yang sama, tidak memberi ruang bagi kebebasan sejati.
Sementara itu, umat Kristen Suriah bersiap memperingati tragedi sepuluh tahun lalu, ketika ISIS menyerbu desa-desa mereka di sepanjang Sungai Khabur. Saat itu, gereja-gereja dibakar, ratusan orang diculik, dan yang menolak tunduk dibantai. Kini, sepuluh tahun kemudian, mimpi buruk yang sama muncul kembali. Hanya saja, kali ini datang dengan nama berbeda dan metode yang lebih halus.
HTS mungkin tidak mendeklarasikan Khilafah seperti ISIS, tetapi mereka berjalan ke arah yang sama. Mereka ingin Suriah menjadi negara syariah Islam, tetapi hanya menurut tafsir mereka sendiri. Dan seperti sejarah telah mengajarkan, syariah yang dipaksakan selalu lebih dekat dengan tirani daripada ketakwaan. Yang tidak sejalan, harus siap menerima konsekuensi.
Mereka yang membela HTS mungkin akan berkata, “Tapi ini demi menegakkan Islam!” Pertanyaannya, Islam yang mana? Islam yang penuh kasih atau Islam yang menggunakan cambuk? Islam yang menghargai keberagaman atau Islam yang memaksa semua orang masuk dalam satu pola yang seragam? Atau, jangan-jangan, ini hanya soal kekuasaan yang dibungkus dengan dalil-dalil suci?
Suriah yang baru bukanlah Suriah yang bebas. Ia bukan negara Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Ia adalah negara yang semakin tenggelam dalam aturan keras yang dibuat oleh segelintir orang yang mengklaim mewakili Tuhan. Suriah baru bukanlah negeri yang berpegang pada ajaran Islam yang luas dan inklusif, tetapi Islam yang telah diperkosa dan dijadikan alat untuk mengontrol manusia.
Dan jika dunia diam saja, maka tak lama lagi, Suriah bukan hanya Suriah yang baru. Ia akan menjadi prototipe bagi banyak negeri lain. Negeri-negeri di mana Tuhan dijadikan dalih untuk menindas, dan agama dijadikan alat untuk memperbudak. Suriah baru, surga bagi para tiran berkedok ulama.