Opini
Suriah Baru, Suriah dalam Novel 1984

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Pada 1 Januari 2025, Suriah merayakan pembaharuan besar. Bukan dengan pembangunan infrastruktur atau kebijakan sosial yang progresif, melainkan dengan perubahan yang jauh lebih monumental: penghapusan sejarah. Bukan sekadar kurikulum yang diubah, tapi sejarah itu sendiri yang ditulis ulang. Pemerintah Suriah, dalam kebijakannya yang baru, menghapuskan tokoh-tokoh penting, peristiwa-peristiwa yang tak sejalan dengan narasi yang mereka inginkan. Sejarah yang membicarakan kezaliman Ottoman, pemberontakan yang digerakkan oleh rakyat, hingga perjuangan melawan penjajahan, semua menjadi hitam putih yang dipaksakan, serupa dengan halaman kosong yang diisi dengan cerita yang “lebih nyaman” untuk penguasa.
Tentu saja, ini bukan kebetulan. Seperti yang diungkapkan oleh George Orwell dalam novel “1984”, “Siapa yang menguasai masa lalu, menguasai masa depan. Siapa yang menguasai masa depan, menguasai masa lalu.” Dengan tangan yang terampil, pemerintah de facto Suriah menciptakan masa depan yang mereka inginkan dengan cara yang lebih jahat: menghapuskan masa lalu yang tak sesuai dengan tujuan mereka. Dalam dunia “1984”, Big Brother mengontrol kenyataan dengan merancang ulang sejarah agar sesuai dengan kebutuhan rezim. Di Suriah, Big Brother itu kini berwujud dalam bentuk kurikulum yang dirancang untuk menciptakan “realitas” yang nyaman bagi penguasa. Sebagai contoh, “Pahlawan Nasional” yang dibangun hanya mereka yang mengabdi pada kekuasaan, sementara mereka yang melawan justru dihapuskan dari memori publik.
Mari kita lihat perubahan-perubahan yang dilakukan. Sebut saja perubahan kata-kata yang tampaknya sepele, namun sebenarnya sangat berbahaya. “Otoritas Ottoman yang brutal” kini hanya akan dikenang sebagai “penjajahan yang wajar.” “Martir May 6,” yang merujuk pada eksekusi terhadap nasionalis Arab oleh penguasa Ottoman, kini dihapuskan, karena tak sesuai dengan agenda naratif yang diinginkan. Dan lebih jauh lagi, seluruh periode sejarah Suriah, dari kejatuhan Kekaisaran Ottoman hingga pemilihan Shukri Quwaitli pada 1943, dihapus begitu saja. Kenapa? Karena, seperti dalam dunia “1984”, masa lalu yang tidak dapat dikendalikan hanya akan mengganggu pembentukan kenyataan baru yang lebih mudah dipahami—kenyataan yang penuh dengan kekuasaan yang tak tergoyahkan.
Bahkan tokoh-tokoh sejarah yang memiliki kedudukan penting dalam budaya dan peradaban Suriah, seperti Ratu Zenobia, yang pernah memimpin kerajaan Palmyra dengan kebijakan yang mencerminkan kebanggaan dan martabat, kini dilupakan. Ia tak lagi menjadi pahlawan besar dalam sejarah, tapi sekadar karakter fiksi, seperti “Khawla bint al-Azwar,” yang dimasukkan dalam kategori “fiksi” alih-alih dihormati sebagai pejuang wanita sejati. Sebuah sindiran, tentu saja, bagi mereka yang percaya pada kebenaran sejarah yang dibentuk oleh fakta, bukan yang dipaksakan oleh penguasa.
Jadi, apa yang sedang terjadi di Suriah? Bukankah ini adalah contoh klasik dari dunia Orwellian yang kita khawatirkan selama ini? Di dunia “1984”, Winston Smith bekerja untuk Kementerian Kebenaran, yang tugas utamanya adalah mengubah dokumen sejarah dan memastikan bahwa seluruh ingatan publik tetap berputar searah dengan kebijakan pemerintah. Di Suriah, kita tak perlu lagi khawatir tentang pekerjaan Winston; pekerjaan itu sudah dilakukan oleh pemimpin de facto melalui kementerian pendidikan. Mereka menghapus semua yang tidak sesuai dengan narasi mereka, dan menciptakan sejarah yang hanya menguntungkan penguasa—sejarah yang hanya memiliki satu versi, satu suara, satu kebenaran.
Dan apa yang lebih menakutkan dari itu semua? Semua ini dilakukan dengan penuh kesadaran. Pemerintah de facto Suriah tidak malu untuk mengakui bahwa mereka “memperbaiki” informasi yang tidak sesuai dengan tafsiran mereka, sama seperti Big Brother yang terus-menerus mengingatkan rakyatnya bahwa “warisan lama” yang tak terkontrol harus dihancurkan untuk mencapai “kemajuan.”
Lantas, apa dampaknya bagi masa depan Suriah? Jika kita terus membiarkan sejarah ditulis ulang dengan tangan penguasa, generasi mendatang tak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka akan hidup dalam kenyataan yang semu, di dunia yang tak lebih dari ilusi yang diciptakan oleh pemerintah. Sebuah generasi yang dibentuk bukan berdasarkan kebenaran, tetapi berdasarkan kenyataan yang dipaksakan. Di Suriah, seperti dalam “1984”, kenyataan itu tidak akan berubah sampai seseorang berani membuka mata dan berkata, “Ini bukanlah kebenaran yang sebenarnya. Ini adalah kebenaran yang dibuat-buat.”
Jika kita tidak hentikan sekarang, maka kita akan melihat Suriah bukan hanya kehilangan identitas sejarahnya, tetapi juga masa depannya—terperangkap dalam lingkaran pemikiran yang sesat, di mana sejarah hanya ada untuk membenarkan kekuasaan yang ada. Begitulah cara Orwell menulis tentang dunia yang kita khawatirkan. Dan, tampaknya, Suriah sedang berjalan ke arah itu dengan cepat, tanpa ada yang menghalangi.