Opini
Suriah Baru Sharaa: Inklusif di Podium, Berdarah di Jalanan

Angin asin dari Laut Mediterania berhembus pelan, melewati kebun zaitun yang kini lebih sering dihantui keheningan daripada suara anak-anak bermain. Desa Harf B-Nimra, di pedesaan Baniyas, Tartous, pernah menjadi tempat yang damai—sebelum malam itu datang. Pria-pria bersenjata, berseragam militer, bergerak dalam bayang-bayang, menyelinap ke rumah Mukhtar desa. Tanpa peringatan, mereka mengeksekusinya di hadapan keluarganya. Putranya menyusul, lalu lima pria lain. Darah merembes ke tanah, seperti tinta yang mencatat sejarah baru Suriah: sejarah yang lebih berlumuran darah daripada sebelumnya.
Syrian Observatory for Human Rights, yang selalu punya laporan siap pakai, menyebut bahwa para penyerang berasal dari pangkalan Al-Desaynah—markas pasukan kementerian pertahanan dan dalam negeri. Bukan tentara bayaran, bukan pemberontak liar, tapi aparat resmi pemerintahan baru. Mereka datang sambil meneriakkan slogan sektarian yang membuat warga gemetar. Oh, betapa ironisnya! Dua hari sebelumnya, Ahmad al-Sharaa, presiden interim, baru saja berpidato di hadapan dunia, mengumumkan bahwa pemerintahannya adalah “deklarasi kehendak bersama untuk membangun negara baru.”
Negara baru? Tentu, dengan definisi baru pula. Definisi yang terlihat jelas pada 29 Maret, di tepi Sungai Jobar dekat kilang Baniyas. Di sana, sebelas jasad mengambang, kepala mereka berlubang akibat tembakan. “Deklarasi kehendak bersama,” katanya. Barangkali yang dimaksud adalah kehendak bersama untuk membantai siapa saja yang tak sejalan. Bukan hanya sebelas mayat itu yang menjadi saksi bisu. Ratusan warga Al-Qosour hilang, lenyap begitu saja, tanpa satu pun yang tahu ke mana mereka pergi. Atau, lebih tepatnya, tanpa satu pun yang berani bertanya.
Dan inilah wajah pemerintahan baru Sharaa. Seorang mantan pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS)—cabang Al-Qaeda yang katanya telah “bubar”—sekarang berdiri sebagai simbol perubahan. Kabinetnya, dipoles sedemikian rupa agar terlihat inklusif. Lihatlah, katanya kepada dunia: ada Hind Qabawat, seorang Kristen, di Kementerian Urusan Sosial; Yarub Badr, seorang Alawit, di Transportasi; Amgad Badr, seorang Druze, di Pertanian. Seolah-olah dengan menyebar beberapa nama dari minoritas, kebrutalan yang terjadi di Tartous, Latakia, Homs, dan Hama bisa dihapus begitu saja.
Tapi darah tidak bisa dihapus dengan propaganda. Pada 25 Maret, pasukan “tentara baru” Sharaa membantai 31 warga sipil. Beberapa hari sebelumnya, jumlah korban bahkan lebih mengerikan: 72 orang. Semua ini atas nama revolusi, atas nama pembersihan sisa-sisa Assad. Atas nama keadilan? Tidak. Ini hanya dendam yang berulang, dipoles dengan jargon yang lebih modern.
Di pedesaan Latakia, seorang penyintas bernama Abu Mahmoud bercerita dengan suara parau. “Aku terbangun oleh suara tembakan dan jeritan. Tetanggaku dibunuh di depan rumah mereka, dan aku hanya bisa bersembunyi.” Jeritan anak-anak terdengar semakin lama semakin lirih, hingga akhirnya hilang sama sekali, digantikan oleh kesunyian yang lebih menakutkan daripada suara peluru. Saat fajar datang, desanya sudah jadi puing. Bukan karena serangan Assad, bukan karena bom Rusia, tapi oleh pasukan yang mengaku membawa pembebasan.
Lalu, betapa lucunya—jika tragedi ini bisa disebut lucu—bahwa Sharaa dan HTS-nya bersikeras bahwa semua ini demi “menumpas loyalis Assad.” Kata “loyalis” kini menjadi mantra ajaib, yang bisa dilemparkan kepada siapa saja yang tidak berlutut di hadapan mereka. Tak peduli apakah seseorang pernah mendukung Assad atau tidak. Jika darahmu mengalir dalam garis yang salah, jika namamu terdengar terlalu Alawit, terlalu Syiah, terlalu minoritas, maka hukumanmu adalah kematian.
Sebelum 2011, Suriah bukanlah negara yang sempurna, tetapi juga bukan negara yang dihantui perang sektarian. Konflik dimulai sebagai pemberontakan melawan tirani, bukan pertempuran agama. Tapi lihatlah sekarang: Sharaa, yang mengaku membawa revolusi, justru menjadi arsitek perang sektarian yang paling mematikan. Ia tak membangun negara baru—ia hanya menggali kuburan baru.
Dan seperti sebuah teater absurd, ia tetap memainkan perannya dengan penuh percaya diri. Pada 13 Maret, ia menandatangani konstitusi sementara, berjanji bahwa Suriah akan menuju pemilu dan perdamaian. Beberapa hari sebelumnya, lebih dari 1.500 Alawit di pesisir dibantai dalam “operasi keamanan.” Jika ini perdamaian, maka mungkin definisi baru dari perdamaian adalah ketika tidak ada satu pun yang tersisa untuk berperang.
Maka inilah pemerintah baru itu: di bawah Murhaf Abu Qasra (Menteri Pertahanan) dan Anas Hassan Khattab (Menteri Dalam Negeri), dua mantan petinggi HTS, pasukan pembantai kini berganti seragam resmi. Mazhar al-Wais, Menteri Kehakiman, menggantikan Shadi Mohammad al-Waisi—seseorang yang dulu membimbing eksekusi wanita dalam video viral 2015. Ya, inilah reformasi hukum versi mereka. Sementara itu, Raed Saleh, bos White Helmets yang dulu memuji serangan udara AS, kini diangkat menjadi Menteri Situasi Darurat. Mungkin darurat yang dimaksud adalah darurat mayat yang perlu dikubur lebih cepat.
Di bawah rezim Assad, Suriah penuh dengan propaganda dan represi. Tapi setidaknya Assad tak pernah berusaha menyembunyikan kediktatorannya di balik jargon revolusi dan inklusivitas. Sharaa, di sisi lain, mengira bahwa dengan menaruh beberapa nama minoritas dalam kabinetnya, dunia akan percaya bahwa ini adalah pemerintahan yang adil. Tapi dunia tidak sebodoh itu. Barat yang dulu memelihara HTS demi menggulingkan Assad kini mulai mempertanyakan pilihan mereka. Rusia dan Iran, yang masih memiliki kepentingan di pesisir, mungkin tak akan duduk diam melihat pembantaian terhadap Alawit berlangsung tanpa batas. Bahkan Turki, sekutu lama HTS, bisa jadi mulai muak dengan kekacauan ini.
Jadi, apa yang tersisa dari semua ini? Pemerintahan yang katanya lahir dari revolusi, tetapi bertingkah persis seperti tiran yang mereka gulingkan. Assad dulu menyebut dirinya pejuang melawan “teroris” sambil membom rakyatnya sendiri. Sharaa menyebut dirinya pejuang melawan “loyalis” sambil membantai desa-desa. Bedanya hanya di kata-kata dan siapa yang memegang senjata.
Dan yang paling ironis? Sharaa sendiri mungkin tak benar-benar berkuasa. Jika pasukannya—bekas HTS yang membenci Alawit—bertingkah sendiri, maka ia hanyalah boneka dengan gelar presiden. Jika ia yang mengendalikan semua ini, maka ia hanya Assad dengan janggut lebih panjang. Either way, negara baru ini tidak lebih dari ilusi, dibangun di atas pasir yang basah oleh darah, tanpa fondasi yang kokoh.
Seorang pria tua di Latakia pernah berkata, “Dulu kami takut pada bom, sekarang kami takut pada sunyi.” Negara yang pernah menjadi mozaik budaya kini berubah menjadi kuburan massal. Sementara Sharaa dan pemerintahannya sibuk menulis pidato dan berbicara tentang masa depan, warganya sibuk menggali kuburan. Jika ini awal dari Suriah yang baru, bayangkan bagaimana akhirnya: akankah Suriah bangkit dari abu, atau hanya menjadi abu yang lebih banyak lagi?