Connect with us

Opini

Suriah Baru: Revolusi, Reformasi, atau Rekayasa?

Published

on

Suriah akhirnya merdeka. Setelah bertahun-tahun di bawah pemerintahan Bashar al-Assad, negeri para nabi ini kini memasuki era baru di bawah kepemimpinan visioner Hayat Tahrir al-Sham (HTS), Ahmad al-Sharaa. Sebuah transisi demokratis? Tentu saja. Hanya saja, transisi ini lebih mirip penggusuran massal, di mana 12.000 pegawai negeri tiba-tiba didepak dari pekerjaan mereka. Revolusi memang membutuhkan pengorbanan, terutama bagi mereka yang tidak cukup cepat mengganti loyalitasnya.

Seorang pengusaha di Aleppo, Ahmed Anqa, mengeluhkan bahwa 420 pabrik, workshop, dan usaha kecil gulung tikar dalam tiga bulan terakhir. Bukan karena kekurangan pelanggan, melainkan karena faktor yang lebih esoteris: listrik yang mendadak berkurang, solar yang harganya melambung, dan keamanan yang hanya berlaku bagi mereka yang membayar upeti pada pemilik baru Suriah. Di luar itu? Silakan bertarung dengan perampok.

HTS, dalam semangat reformasi ekonominya, menawarkan solusi brilian: privatisasi total. Aset negara yang dulu dinikmati rakyat kini bisa dinikmati oleh segelintir orang yang lebih layak—tentu saja mereka yang cukup pintar untuk memahami filosofi ekonomi baru ala HTS. Tidak semua orang bisa memiliki pabrik, tetapi dengan koneksi yang tepat, Anda bisa memiliki apa saja.

Bagi mereka yang bertanya-tanya bagaimana reformasi ini bekerja, jawabannya sederhana: buat negara tampak begitu kacau sehingga solusi terbaik adalah menjualnya ke individu yang lebih kompeten. Dalam hal ini, kompetensi diukur dari kesetiaan, bukan kecakapan bisnis. Bagaimanapun, siapa pun bisa belajar berbisnis, tetapi tidak semua orang bisa setia pada HTS.

Sementara itu, masyarakat disuguhi gelombang produk murah dari luar negeri, terutama dari Turki. Tidak ada lagi yang perlu pusing dengan industri dalam negeri, karena barang-barang asing kini membanjiri pasar tanpa bea masuk. Dengan harga yang lebih murah dan kualitas yang lebih rendah, rakyat Suriah bisa menikmati kemajuan peradaban dengan standar baru: membeli lebih banyak, membuang lebih sering.

Bagi yang kehilangan pekerjaan? Jangan khawatir, ada banyak cara untuk beradaptasi. Bisa bergabung dengan angkatan bersenjata HTS, menjadi pegawai baru dalam birokrasi yang lebih ramping dan efisien, atau sekadar mengandalkan sumbangan dari organisasi kemanusiaan yang semakin banyak. Alternatif lain? Silakan cari pekerjaan di luar negeri, jika masih ada negara yang mau menerima eksodus tenaga kerja dari Suriah baru.

Namun, kebijakan HTS tidak berhenti di situ. Mereka juga mengumumkan langkah brilian lainnya: reformasi sektor publik dengan memangkas sepertiga pegawai negeri. Pegawai-pegawai yang sudah mengabdi selama puluhan tahun kini harus memberi ruang bagi wajah-wajah baru yang lebih sejalan dengan kebijakan reformasi. Masalah pengalaman dan kualifikasi? Itu sekadar detail teknis yang bisa diurus belakangan.

Yang lebih menarik, reformasi ini didukung oleh visi besar: beralih dari ekonomi terpusat ke pasar bebas yang lebih kompetitif. Namun, dalam praktiknya, kompetisi ini lebih mirip seleksi alam, di mana hanya mereka yang memiliki jaringan dengan HTS yang bisa bertahan. Tentu, ini bukan nepotisme, melainkan upaya membangun ekosistem ekonomi yang lebih solid dan berbasis loyalitas.

Di balik semua ini, IMF pun tak mau ketinggalan. Lembaga keuangan global ini mulai menjalin komunikasi dengan Suriah untuk memahami kebutuhan ekonomi baru mereka. Tidak lama lagi, utang luar negeri akan menjadi bagian integral dari kebangkitan ekonomi HTS. Lagi pula, apa artinya kemerdekaan tanpa sedikit ketergantungan pada modal asing?

Namun, ada satu hal yang masih menjadi misteri: bagaimana HTS akan memastikan bahwa semua pegawai baru yang direkrut benar-benar mampu menjalankan tugas mereka? Dalam dunia ideal, mereka seharusnya mendapat pelatihan. Sayangnya, transisi ini tampaknya lebih didasarkan pada kecepatan daripada ketelitian. Efisiensi didefinisikan sebagai seberapa cepat seseorang bisa menggantikan yang lain.

Jika ada yang meragukan kesuksesan model ini, mereka hanya perlu melihat negara-negara lain yang sudah menerapkan pendekatan serupa. Dari Amerika Latin hingga Asia Tengah, banyak contoh negara yang mencoba reformasi instan dan berakhir dengan ekonomi yang dikendalikan segelintir oligarki. Kini, Suriah siap bergabung dengan daftar eksklusif ini.

Bagi rakyat jelata, pilihan semakin sedikit: bergabung dengan sistem atau tersingkir darinya. Dalam era baru Suriah, tidak ada tempat bagi mereka yang netral atau ragu-ragu. Keputusan harus cepat, karena roda revolusi terus berputar, menggiling siapa pun yang tidak cukup gesit untuk menyesuaikan diri.

Dengan semua perubahan ini, satu hal yang pasti: sejarah sedang ditulis ulang dengan kecepatan luar biasa. Dalam narasi resmi, HTS adalah penyelamat, bukan penguasa baru. Mereka bukan sekadar menggantikan Assad, melainkan membawa Suriah ke era baru yang lebih ‘terbuka’. Hanya saja, keterbukaan ini tampaknya lebih mirip pintu yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang memiliki kunci yang tepat.

Jadi, bagi yang masih berharap akan demokrasi yang sejati dan ekonomi yang inklusif, mungkin ada baiknya menunggu beberapa dekade lagi. Atau, lebih realistisnya, cari jalan keluar sebelum roda reformasi menggiling lebih banyak korban. Sebab, dalam dunia yang dikuasai HTS, hanya mereka yang memahami permainan yang bisa bertahan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *