Connect with us

Opini

Suriah Baru: Menjual Diri ke Israel, Mengkhianati Palestina

Published

on

Serigala akhirnya melepas bulu dombanya. Suriah, yang dulu dielu-elukan sebagai benteng terakhir melawan zionis, kini justru membuka pintu bagi musuh yang selama ini menggerogoti dunia Arab. Apa yang lebih menggelikan daripada melihat negeri yang selama ini bersumpah setia pada perlawanan, kini merunduk, merapatkan barisan dengan mereka yang merampas tanah Palestina?

Pada 18 Maret, pasukan zionis menerobos perbatasan Suriah, mengerahkan puluhan kendaraan lapis baja ke pedalaman Quneitra. Desa Al-Adnaniyah digulung dalam kepulan debu, sementara kendaraan tempur merangsek tanpa hambatan. Tak ada perlawanan, tak ada satu pun tembakan peringatan dari pasukan Suriah. Mereka, yang konon mewarisi semangat nasionalisme Arab, hanya berdiri membisu.

Said al-Mohammad, seorang aktivis lokal, menegaskan bahwa invasi ini bukan tindakan acak, melainkan bagian dari strategi panjang pembersihan demografi. Zionis ingin wilayah itu steril dari perlawanan, dan ironisnya, Suriah yang baru ini tampaknya tidak punya keberanian untuk menantang penguasa baru kawasan. Mengapa? Karena para penguasa Damaskus sekarang lebih tertarik untuk duduk bersama musuh lama mereka, berbicara tentang ‘stabilitas’ dan ‘keamanan.’

Tapi lihatlah bagaimana Suriah bereaksi terhadap Lebanon. Perbatasan mereka dengan negeri cedars itu mendadak jadi medan tempur. Dengan cepat, Suriah dan Lebanon menarik pasukan dari Hosh al-Sayyid Ali, sebuah desa kecil yang sebelumnya menyaksikan bentrokan antara tentara Suriah dan pejuang Hizbullah. Pemerintah Suriah berjanji akan merespons dengan “tegas dan langsung” jika Hizbullah melanggar perbatasan. Tegas terhadap sesama Arab, tapi lunak terhadap penjajah?

Di mana suara lantang yang dulu mengutuk penjajahan? Di mana sumpah setia untuk melindungi Palestina dari cengkeraman zionis? Jawabannya sederhana: Suriah kini sedang bermain di lapangan baru, menggunakan aturan yang ditulis oleh tangan-tangan kotor kekuatan dunia. Dengan strategi realpolitik, mereka membuang idealisme demi kelangsungan hidup kekuasaan mereka sendiri. Tidak ada tempat bagi solidaritas dalam percaturan politik yang dikendalikan oleh kepentingan.

Realpolitik adalah seni bertahan hidup bagi mereka yang tahu betapa murahnya harga kesetiaan. Pemerintah baru Suriah, yang dipimpin oleh Ahmad al-Sharaa, tampaknya memahami betul pelajaran dari sejarah. Mengikuti jejak Mesir di era Anwar Sadat, mereka mulai menggali parit antara mereka dan perjuangan Palestina, memilih pragmatisme daripada pertumpahan darah. Dengan mengadopsi strategi bandwagoning, Suriah kini melompat ke dalam gerbong kekuatan yang lebih besar.

Bandwagoning, konsep sederhana dalam politik internasional, menuntut satu hal: berpihak kepada yang lebih kuat. Suriah sadar bahwa tanpa sekutu yang kuat, mereka akan ditelan oleh kekacauan internal dan tekanan eksternal. Maka, mereka memilih jalur yang lebih ‘aman’: merapat ke blok Arab-Teluk, membangun hubungan dengan zionis, dan meninggalkan idealisme usang yang dulu mereka perjuangkan.

Zionis paham betul bagaimana permainan ini berjalan. Mereka tak perlu menghabiskan banyak peluru jika bisa menaklukkan musuh dengan diplomasi dan penawaran yang menggiurkan. Para pemimpin Suriah kini lebih peduli pada investasi, bantuan ekonomi, dan janji stabilitas yang dijanjikan oleh Tel Aviv dan sekutu-sekutunya. Tidak ada lagi perbincangan soal jihad, intifada, atau perlawanan. Yang ada hanyalah proposal pembangunan, normalisasi hubungan, dan janji-janji palsu tentang perdamaian.

Dalam beberapa bulan terakhir, Suriah semakin menunjukkan kecenderungannya untuk bersekutu dengan blok Arab-Teluk. Hubungan dengan Riyadh semakin erat, komunikasi dengan Abu Dhabi semakin lancar, dan pendekatan dengan Kairo pun semakin jelas arahnya. Dalam strategi realpolitik, ini bukan hal yang mengejutkan. Berteman dengan Israel kini dianggap sebagai kunci stabilitas dan keamanan, bukan sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina.

Dulu, Bashar al-Assad dan ayahnya, Hafez al-Assad, mungkin tak pernah membayangkan Suriah akan berdiri di barisan yang sama dengan mereka yang pernah mereka kutuk. Tapi inilah kenyataan politik. Pemerintahan baru Suriah melihat bahwa perlawanan hanyalah jalan menuju kehancuran. Mereka ingin bertahan, dan bertahan berarti berkompromi, bahkan jika itu artinya menjabat tangan yang berlumuran darah rakyat Palestina.

Di sisi lain, Palestina semakin terisolasi. Satu per satu, negara-negara Arab yang dulu mengutuk zionis kini mulai merangkul mereka. UEA, Bahrain, Sudan, Maroko, dan kini Suriah. Setiap pengkhianatan yang terjadi semakin mengukuhkan hegemoni Tel Aviv di kawasan. Palestina, yang dulu menjadi pusat perjuangan dunia Islam, kini hanya menjadi beban bagi mereka yang ingin mendekati kekuatan global.

Pemerintahan Ahmad al-Sharaa mungkin berpikir bahwa mereka sedang bermain catur geopolitik yang cerdas, tetapi mereka lupa satu hal: sejarah tidak pernah melupakan pengkhianatan. Seperti Camp David yang mengukuhkan keterasingan Mesir dari Palestina, langkah Suriah ini akan tercatat sebagai momen di mana Damaskus memilih keuntungan jangka pendek daripada kehormatan dan prinsip perjuangan.

Zionis tidak perlu lagi mengandalkan tank dan pesawat tempur untuk menaklukkan wilayah Arab. Cukup dengan membiarkan para penguasa baru terjerat dalam jebakan pragmatisme politik, menciptakan ilusi stabilitas yang hanya akan bertahan hingga kepentingan mereka berubah. Suriah, dalam kebutaan geopolitiknya, kini berjalan di jalur yang sama dengan para penguasa Arab lainnya yang lebih peduli pada kekuasaan daripada keadilan.

Mungkin, di tahun-tahun mendatang, kita akan melihat Suriah dan zionis berdiri di podium yang sama, berbicara tentang ‘perdamaian’ sambil mengabaikan jeritan rakyat Palestina. Mungkin, suatu hari nanti, Damaskus akan menjadi tuan rumah bagi konferensi ‘stabilitas kawasan’ yang dihadiri oleh mereka yang telah mencabik-cabik tanah Arab selama puluhan tahun. Dan mungkin, pada saat itu, tidak ada lagi yang terkejut.

Inilah realpolitik. Inilah bandwagoning. Inilah saat di mana idealisme mati dan pragmatisme menjadi hukum tertinggi. Suriah telah membuat pilihannya. Sejarah akan mencatat, dan rakyat Palestina akan mengingat, siapa yang tetap setia, dan siapa yang menjual diri mereka demi kenyamanan sesaat.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *