Connect with us

Opini

Suriah Baru Beri Sinyal Normalisasi dengan Israel: Diplomasi atau Sandiwara?

Published

on

Damaskus yang berdebu, dengan aroma perang yang masih tersisa di udara, kini menjadi panggung drama geopolitik baru. Ahmad al-Sharaa, mantan komandan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang kini menjelma sebagai presiden sementara Suriah, mengguncang dunia dengan pernyataan mengejutkan: ia terbuka untuk bergabung dengan Perjanjian Abraham, kerangka normalisasi dengan Israel yang digagas AS. Dalam pertemuan dengan anggota DPR AS, Cory Mills dan Marlin Stutzman, Sharaa menyatakan kesiapannya, meski dengan “syarat tertentu.” Tapi, benarkah Suriah di ambang babak baru hubungan dengan Israel, atau ini sekadar sandiwara untuk menarik perhatian Barat?

Sharaa, yang dulu dikenal sebagai pemimpin garis keras dengan akar di al-Qaeda, tampaknya sedang bermain catur di papan geopolitik yang licin. Laporan dari Al Mayadeen dan The Cradle menunjukkan bahwa ia tidak hanya berbicara soal normalisasi, tetapi juga mengambil langkah konkret. Penahanan dua pejabat senior Jihad Islam Palestina (PIJ) oleh otoritas Suriah adalah isyarat nyata kepada AS, yang menuntut kerja sama kontraterorisme sebagai syarat keringanan sanksi. Tindakan ini, meski memicu kemarahan kelompok perlawanan Palestina, menunjukkan bahwa Sharaa bersedia membayar harga politik demi keuntungan strategis. Dengan 75% penduduk Suriah bergantung pada bantuan kemanusiaan, menurut PBB, tekanan untuk menghidupkan kembali ekonomi yang hancur menjadi pendorong utama. Normalisasi, atau setidaknya sinyalnya, bisa menjadi tiket emas untuk membuka pintu bantuan Barat.

Namun, jalan menuju normalisasi tidak semudah mengucap kata “terbuka.” Sharaa sendiri mengkritik Israel atas serangan udara yang terus-menerus dan pendudukan wilayah Suriah selatan, bahkan menuduh Tel Aviv berupaya memecah negara dengan mendukung wilayah otonom Druze. Israel, yang tetap skeptis terhadap Sharaa karena masa lalunya di HTS, tidak menunjukkan tanda-tanda meredakan agresinya. Sejak penggulingan Bashar al-Assad, Israel telah melancarkan ratusan serangan udara dan memperluas pendudukannya, menuntut demiliterisasi selatan Suriah. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahkan menegaskan kehadiran militernya akan berlangsung “tanpa batas waktu.” Dalam konteks ini, pernyataan Sharaa tentang keterbukaan terasa seperti tarian di tepi jurang, menyeimbangkan antara diplomasi dan risiko eskalasi.

Laporan mengutip Charles Lister dari Middle East Institute, yang menyebut syarat-syarat normalisasi Sharaa “belum ada saat ini.” Ini menimbulkan pertanyaan: apakah Sharaa serius, atau sekadar memainkan kartu retorika untuk menyenangkan AS? Pemerintahan Trump, yang menggagas Perjanjian Abraham dan kini berambisi memperluasnya, melihat Suriah sebagai kandidat potensial bersama Lebanon. Trump sendiri dengan antusias menyatakan akan “mengisi penuh” perjanjian tersebut, dengan Arab Saudi sebagai “hadiah utama.” Namun, di Suriah, realitasnya jauh lebih rumit. Sharaa harus menghadapi publik domestik yang dibesarkan dengan narasi anti-Israel, diwarnai oleh pendudukan Dataran Tinggi Golan sejak 1967 dan perang tanpa akhir. Normalisasi, bagi banyak warga Suriah, adalah pengkhianatan terhadap sejarah perjuangan mereka.

Tindakan Sharaa, seperti menahan pejabat PIJ, mungkin merupakan bagian dari strategi untuk memenuhi daftar keinginan AS. Menurut Reuters, Washington menuntut Suriah menghancurkan sisa senjata kimia, bekerja sama dalam kontraterorisme, dan menindak faksi perlawanan Palestina. Penahanan pejabat PIJ bisa dilihat sebagai langkah awal, tetapi juga memicu reaksi keras dari kelompok tersebut, yang menuntut pembebasan anggotanya. Ini menunjukkan betapa rapuhnya posisi Sharaa. Di satu sisi, ia perlu menarik hati Barat untuk mendapatkan keringanan sanksi; di sisi lain, ia harus menjaga kredibilitas di antara kelompok-kelompok regional yang masih memandang Israel sebagai musuh utama.

Konteks geopolitik menambah lapisan ironi pada drama ini. Sharaa, yang kini menjauh dari Iran dan mendekat ke Turki, tampaknya sedang mencoba menempatkan Suriah sebagai pemain yang lebih fleksibel di panggung internasional. Turki, meski memiliki hubungan naik-turun dengan Israel, bisa menjadi jembatan komunikasi tidak langsung. Namun, sinyal normalisasi Sharaa terasa seperti permainan tali yang berbahaya. Ia berulang kali menegaskan komitmen pada gencatan senjata 1974 dan menyatakan keinginan untuk mencegah transfer senjata ke Lebanon, yang secara tidak langsung menguntungkan Israel. Tapi, tanpa kejelasan tentang “syarat tertentu” yang ia maksud, semua ini bisa jadi sekadar asap diplomatik untuk menutupi kebutuhan mendesak: ekonomi.

Tom Warrick dari Atlantic Council menyebut keterbukaan Sharaa sebagai langkah strategis untuk “mendapatkan perhatian Trump.” Dengan ekonomi Suriah yang compang-camping, Sharaa tidak punya banyak waktu untuk membuktikan bahwa ia adalah pemimpin yang bisa mengeluarkan rakyatnya dari jurang. Jika ia gagal menghadirkan manfaat ekonomi dalam beberapa bulan, Warrick memperingatkan, warga Suriah mungkin mulai mempertanyakan kepemimpinannya. Inilah mengapa sinyal normalisasi ini terasa seperti taruhan besar. Sharaa bukan hanya berbicara soal Israel; ia berbicara soal kelangsungan politiknya sendiri.

Namun, mari kita lihat sisi lain dari koin ini. Israel, dengan segala keangkuhannya, tidak menunjukkan tanda-tanda ingin bermitra dengan Sharaa. Serangan udara terus berlanjut, dan pendudukan di selatan Suriah diperluas dengan dalih keamanan. Netanyahu, yang pernah menyebut Suriah sebagai ancaman karena hubungannya dengan Iran, kini menghadapi pemimpin baru yang latar belakangnya sama-sama bermasalah: HTS, yang masih dianggap kelompok teroris oleh banyak negara. Ketidakpercayaan ini membuat normalisasi terasa seperti mimpi yang jauh. Sharaa mungkin bisa menggoyang lidahnya di depan anggota DPR AS, tetapi tanpa kepercayaan dari Tel Aviv, semua itu hanyalah kata-kata kosong.

Lalu, ada publik Suriah sendiri, yang telah lama hidup di bawah bayang-bayang perang dan sanksi. Bagi mereka, Israel bukan sekadar musuh geopolitik, tetapi simbol penindasan yang nyata, dari Golan hingga serangan udara yang menghancurkan infrastruktur. Sharaa, yang baru saja naik ke tampuk kekuasaan, tahu betul bahwa langkah terlalu jauh menuju normalisasi bisa memicu kemarahan massa. Penahanan pejabat PIJ sudah cukup untuk membuatnya dipandang curiga oleh beberapa kelompok. Jika ia benar-benar mengejar normalisasi, ia harus siap menghadapi risiko perpecahan sosial yang lebih besar.

Jadi, apa sebenarnya yang dimainkan Sharaa? Mungkin ia sedang menari di atas tali tipis, mencoba menyenangkan AS tanpa benar-benar mengikatkan dirinya pada Israel. Lister menyebutnya “bermain aman,” mengatakan yang cukup untuk memuaskan audiens Barat tanpa mendorong perahu terlalu jauh. Ini adalah strategi yang cerdik, tapi juga penuh risiko. Jika Trump tergoda oleh sinyal ini dan menawarkan keringanan sanksi, Sharaa bisa mendapatkan nafas baru. Tapi jika Israel terus menyerang dan publik Suriah memberontak, ia bisa jatuh ke dalam jurang yang ia coba hindari.

Pada akhirnya, sinyal normalisasi Sharaa lebih mirip dengan drama panggung daripada langkah menuju perdamaian sejati. Ia berbicara soal Perjanjian Abraham, tetapi syarat-syaratnya tetap kabur. Ia menahan pejabat PIJ, tetapi mengkritik Israel dalam nafas yang sama. Ia mendekati Barat, tetapi harus menjaga wajahnya di depan rakyatnya. Suriah baru mungkin sedang menggoda dunia dengan janji perubahan, tetapi di bawah permukaan, ini adalah permainan bertahan hidup. Sharaa bukan pahlawan damai, juga bukan pengkhianat; ia hanyalah aktor di panggang geopolitik, mencoba mencuri perhatian sambil menjaga kepalanya tetap di atas air. Dan sementara dunia menonton, pertanyaan tetap menggantung: apakah ini awal dari babak baru, atau sekadar tirai yang akan segera turun?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *