Connect with us

Opini

Sudan Tuding UEA: Drama Diplomasi di Tengah Darah Darfur

Published

on

Di bawah langit Khartoum yang kelabu asap dan debu perang, Dewan Keamanan dan Pertahanan Sudan menjatuhkan vonis diplomatik yang mengguncang: Uni Emirat Arab (UEA), negeri gemerlap pencakar langit dan minyak, dicap sebagai “negara agresor.” Hubungan diputus, staf kedutaan ditarik dari Abu Dhabi, dan UEA dituding sebagai dalang di balik Rapid Support Forces (RSF), kelompok bersenjata yang mengobrak-abrik Sudan. Pernyataan resmi, dikutip Sudan News Agency, bergetar penuh murka: UEA disebut mengancam kedaulatan Sudan, nyawa warga sipil, bahkan keamanan Laut Merah. Di tengah perang saudara yang telah merenggut 150.000 jiwa dan mengusir 11 juta orang, langkah ini terasa seperti teriakan putus asa—atau mungkin hanya drama politik di panggung dunia yang semakin absurd.

Sudan, sebuah negeri yang terkoyak perang, di mana drone RSF mendengung seperti lalat raksasa, menyerang Port Sudan hingga listrik padam, tiba-tiba memutus tali dengan UEA, negara yang konon menawarkan damai sambil disinyalir mengirim senjata. Ironi ini begitu kental, seperti kopi tubruk yang terlalu lama diseduh—pahit, tapi bikin mata melek. Sudan, yang sudah dua tahun berkubang dalam konflik antara SAF dan RSF, kini menuding UEA sebagai biang kerok, mengklaim dukungan Abu Dhabi untuk RSF adalah “penggerak utama genosida” terhadap etnis Masalit di Darfur Barat. Tapi, sehari sebelumnya, Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag, dengan dinginnya hakim berjubah, menolak gugatan Sudan terhadap UEA. Alasan? UEA, dengan cerdik, telah mencoret klausul Konvensi Genosida yang memungkinkan sengketa dibawa ke ICJ. Hukum internasional, ternyata, bisa jadi tameng bagi yang kaya dan licik.

Keputusan ICJ itu, yang jatuh pada 5 Mei 2025, seperti tamparan di wajah Sudan. Khartoum, sejak Maret tahun ini, berupaya membuktikan bahwa UEA, dengan logistik dan dana, memicu kekejaman RSF—pembunuhan, pemerkosaan, pengusiran paksa, dan penjarahan terhadap Masalit. Menteri Kehakiman sementara Sudan, Muawia Osman, dengan penuh semangat di sidang ICJ, menyebut UEA sebagai “penggerak utama” genosida. Namun, dunia hukum punya aturan sendiri. ICJ, dengan nada yang seolah berkata “kami tak punya kuasa,” membuang gugatan itu. Dan, seolah menertawakan nasib Sudan, beberapa jam setelah putusan, drone RSF menghantam Port Sudan, kota pelabuhan strategis SAF, memadamkan listrik dan memperdalam keputusasaan. Kerenyahan waktu ini—kegagalan di pengadilan, diikuti serangan drone—hampir terasa seperti skrip film distopia yang ditulis buruk.

Tuduhan Sudan bukan isapan jempol. Laporan PBB pada Januari 2024 menyebut bukti “kredibel” bahwa UEA mengirim senjata ke RSF via Chad—dari drone hingga peluru. Konvoi senjata dicegat, penerbangan mencurigakan dilacak ke wilayah RSF. Bahkan anggota Kongres AS dan kelompok HAM ikut menuding UEA. Tapi, Abu Dhabi, dengan elegan seperti penutur pidato di forum Davos, membantah. “Kami untuk perdamaian,” kata mereka, sembari menyebut tuduhan Sudan “publisitas murahan.” Ini teater geopolitik kelas dunia: satu pihak menuding genosida, pihak lain menawarkan narasi kemanusiaan, sementara rakyat Sudan mati kelaparan di kamp pengungsian. Di Indonesia, kita mungkin akan bilang, “Beginilah kalau duit dan kuasa bicara—kebenaran cuma tamu undangan.”

Perang saudara Sudan, yang meletus April 2023, adalah tragedi yang tak kunjung usai. SAF, dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dan RSF, di bawah Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti, saling jegal di Khartoum hingga Darfur. Hasilnya? 150.000 jiwa melayang, 11 juta orang kehilangan rumah, dan kelaparan merajalela. Etnis Masalit, khususnya, jadi korban kebrutalan RSF, yang oleh AS pada Januari 2025 dinyatakan melakukan genosida. Tapi, jangan buru-buru menyalahkan RSF saja. SAF pun tak suci; kedua pihak berenang di lumpur kekejaman. Sudan menuding UEA untuk mengalihkan perhatian dari dosa-dosanya sendiri, mungkin. Politik, kan, seperti pasar malam—penuh trik dan cermin yang membingungkan.

Langkah Sudan memutus hubungan dengan UEA, sehari setelah ICJ menolak gugatannya, terasa seperti gerakan catur yang nekat. Ini bukan sekadar kemarahan; ini strategi. Dengan menjadikan UEA sebagai musuh publik, SAF mungkin ingin menggalang dukungan domestik, menyatukan rakyat di bawah bendera “melawan agresor asing.” Tapi, ini juga seperti menampar harimau tidur. UEA bukan sembarang negara; duitnya mengalir ke mana-mana, pengaruhnya menembus istana-istana Timur Tengah. Sudan, yang sudah babak belur, berisiko makin terisolasi. Bayangkan, di tengah kelaparan dan pengungsian, pemerintah memilih bertaruh pada diplomasi yang bombastis. Miris, tapi juga sedikit lucu, seperti orang miskin yang menantang bankir di pasar.

Konteks regional menambah lapisan pada drama ini. Laut Merah, yang disebut Sudan dalam pernyataannya, adalah urat nadi perdagangan dunia. Sudan, dengan letaknya yang strategis, jadi rebutan. UEA, yang konon anti-Islam politik seperti Ikhwanul Muslimin, mungkin melihat RSF sebagai alat untuk menjaga pengaruh di Tanduk Afrika. Mesir, Arab Saudi, bahkan Rusia dan AS, semua punya jari di papan catur ini. Tapi, yang rugi tetap rakyat Sudan—mereka yang mati di bawah bom, yang antre roti di kamp pengungsian, yang bermimpi damai tapi bangun di neraka.

Lalu, apa artinya semua ini? Hukum internasional, seperti ICJ, terbukti tak berdaya di depan trik hukum dan kekuatan ekonomi. UEA, dengan klausul pengecualiannya, lolos dari pengadilan dunia, tapi tuduhan terhadapnya tetap menggantung, seperti asap yang tak kunjung hilang. Sudan, dengan langkah diplomatiknya, mungkin merasa gagah, tapi apa gunanya keberanian kalau rakyatnya kelaparan? Dan RSF, dengan dronenya, terus menari di atas penderitaan. Ini dunia di mana kebenaran jadi komoditas, di mana genosida bisa jadi bahan debat akademik, dan damai cuma jargon di konferensi mewah.

Di Indonesia, kita mungkin melihat ini dan menggeleng. Kita tahu betul bagaimana konflik dan campur tangan asing bisa meracuni sebuah bangsa—pikirkan Timor Leste, Aceh, atau intrik asing di masa Soekarno. Tapi, kita juga tahu hidup harus jalan. Rakyat Sudan, seperti kita di pasar atau warung, cuma ingin makan, bekerja, dan tidur tanpa takut bom. Tapi, dunia ini, dengan segala ironinya, seolah berkata: “Mau damai? Antre dulu di belakang kepentingan geopolitik.”

Jadi, ke mana arahnya? Sudan butuh lebih dari sekadar tudingan dan putusan pengadilan. Dunia butuh lebih dari sekadar laporan PBB dan sidang ICJ. Kalau UEA benar mendanai RSF, akuntabilitas harus ditegakkan, tapi tanpa menyeret rakyat Sudan lebih dalam ke jurang. Kalau SAF hanya main politik, mereka harus ingat: rakyat bukan pion. Dan kita, yang membaca ini sambil menyeruput kopi, mungkin bisa tersenyum miris—betapa absurdnya dunia, betapa mahalnya harga kebenaran.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *