Opini
Suara Terakhir Anas Sharif: Keberanian di Tengah Derita Gaza

Di tengah gemuruh ledakan dan jeritan yang memecah langit Gaza, suara seorang wartawan bernama Anas Sharif tetap tegar, menembus debu dan darah yang mengaburkan kebenaran. Ia adalah saksi hidup penderitaan yang tak terperi, yang berani menuliskan kisah kelam di balik reruntuhan, di tengah realitas brutal yang kerap dibungkam oleh kekuatan besar. Namun, keberanian itu berujung tragis. Anas, bersama sejumlah wartawan dan fotojurnalis lain seperti Mohammad Qraiqea, Mohammad Nawfal, dan Ibrahim Daher, gugur dalam serangan udara Israel yang menargetkan tenda tempat mereka bekerja di utara Jalur Gaza. Serangan itu bukan hanya merenggut nyawa mereka, tapi juga berusaha membungkam suara-suara kebenaran yang selama ini menjadi saksi penderitaan rakyat Palestina.
Laporan yang menjadi pijakan utama ini mengisahkan bukan sekadar kematian tragis seorang jurnalis, tapi juga kegagalan dunia internasional dalam melindungi hak asasi manusia dan kebebasan pers di wilayah konflik. Menurut data Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), sejak awal tahun 2025 hingga kini, ratusan wartawan di Gaza menjadi korban serangan yang disengaja maupun tidak disengaja. Anas Sharif hanyalah salah satu dari sekian nama yang hilang—suara-suara yang lenyap ditelan perang, yang seharusnya menjadi pengingat kolektif atas tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung.
Realitas di Gaza bukanlah sekadar angka atau headline berita yang singkat lalu berlalu. Di sana, lebih dari dua juta penduduk hidup dalam blokade yang sudah memasuki tahun ke-18. Blokade yang menghambat akses pangan, obat-obatan, dan kebutuhan dasar lainnya, memicu krisis kemanusiaan yang mendalam. UNICEF mencatat bahwa lebih dari separuh penduduk Gaza adalah anak-anak, yang hampir tidak pernah mengenal masa damai. Mereka lahir dan tumbuh di bawah bayang-bayang perang dan kehancuran, tanpa jaminan keamanan, tanpa ruang untuk bermimpi.
Kita di Indonesia, yang jauh secara geografis, pun tak bisa lepas dari keterkaitan kemanusiaan ini. Solidaritas rakyat Indonesia terhadap Palestina tercermin dari berbagai gerakan sosial, aksi penggalangan dana, hingga sikap politik pemerintah yang secara resmi mendukung kemerdekaan Palestina. Namun, di balik dukungan itu, muncul pertanyaan yang lebih dalam: sejauh mana kita benar-benar memahami penderitaan mereka? Apakah simpati kita hanya berhenti pada tanda tangan petisi dan unggahan media sosial, ataukah bisa berlanjut pada upaya nyata, baik di tingkat masyarakat maupun kebijakan?
This is my will and my final message. If these words reach you, know that Israel has succeeded in killing me and silencing my voice. First, peace be upon you and Allah’s mercy and blessings.
Allah knows I gave every effort and all my strength to be a support and a voice for my…
— أنس الشريف Anas Al-Sharif (@AnasAlSharif0) August 10, 2025
Anas Sharif dalam pesannya menegaskan bahwa kebenaran harus disuarakan tanpa distorsi, meski harus membayar nyawa. Di era informasi ini, dunia dipenuhi berita dan gambar—tapi kerap terjadi manipulasi, pengalihan isu, dan penyembunyian fakta. Media-media independen seperti Al-Jazeera berusaha menembus tirai kebisuan itu, menghadirkan gambaran utuh yang selama ini ditutup rapat. Namun, nyawa para jurnalis yang menjadi harga atas kebenaran ini mengingatkan kita bahwa kebebasan pers bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh atau dijadikan barang dagangan politik.
Statistik dari UNESCO menunjukkan bahwa wilayah konflik seperti Gaza adalah salah satu tempat paling berbahaya bagi jurnalis. Penyerangan terhadap media dan wartawan menjadi strategi untuk membungkam informasi. Ini bukan hanya pelanggaran HAM, tapi juga serangan terhadap hak masyarakat untuk mengetahui fakta dan mencari keadilan. Di Indonesia sendiri, meskipun kondisi relatif lebih aman, tantangan kebebasan pers tidak kalah berat, dari intimidasi terhadap wartawan hingga pembredelan media yang kritis. Ini mengajarkan kita betapa pentingnya solidaritas lintas negara dan perlindungan hak-hak fundamental.
Di Gaza, dampak blokade dan perang terus melahirkan trauma yang mendalam. Menurut laporan WHO, layanan kesehatan di Gaza sangat terganggu, dengan kekurangan obat-obatan dan peralatan medis. Rumah sakit penuh sesak dengan korban luka perang, sementara tenaga medis berjuang tanpa henti. Anak-anak menjadi korban yang paling rentan, yang tidak hanya kehilangan nyawa, tapi juga masa depan. Dalam konteks ini, pesan Anas mengingatkan kita bahwa pembebasan dan keadilan bukan sekadar tujuan politik, tapi kebutuhan kemanusiaan yang mendesak.
Kita juga harus merenungkan bagaimana dunia merespons tragedi ini. Dewan Keamanan PBB sering kali terjebak dalam deadlock politik, di mana veto negara-negara besar menghambat resolusi yang bisa menghentikan kekerasan. Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan punya peluang untuk memperjuangkan keadilan bagi Palestina, tetapi tekanan diplomatik dan realpolitik kadang membatasi langkah tersebut. Apakah ada cara agar diplomasi kita bisa lebih efektif tanpa kehilangan prinsip solidaritas?
Pesan Anas juga menyentuh tentang nilai keluarga dan cinta yang tak lekang oleh waktu, meski di tengah perang yang memisahkan. Ia menitipkan keluarganya dengan penuh harap agar tetap mendapat dukungan, sekaligus mewakili jutaan keluarga yang hancur oleh konflik berkepanjangan. Ini mengajak kita untuk lebih peka dan humanis dalam melihat perang—bukan sekadar pertempuran geopolitik, tapi kisah nyata manusia yang kehilangan rumah, orang yang dicintai, dan masa depan.
Dalam konteks Indonesia, tragedi Palestina seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua tentang arti kemerdekaan dan perdamaian sejati. Setelah melewati sejarah panjang perjuangan kemerdekaan, bangsa ini pernah merasakan harga kebebasan yang mahal. Maka, tidaklah berlebihan jika solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina dipandang sebagai lanjutan dari komitmen kita pada nilai keadilan dan kemanusiaan universal. Solidaritas bukan hanya slogan, tapi panggilan moral yang harus diwujudkan dalam tindakan.
Akhirnya, pesan Anas adalah cermin bagi kita untuk menilai kembali posisi kita sebagai warga dunia. Apakah kita hanya menjadi penonton pasif, ataukah mau bergerak sebagai bagian dari perubahan? Dalam dunia yang semakin terhubung, suara satu orang di Gaza bisa terdengar sampai ke Jakarta, dan sebaliknya, ketidakpedulian di Jakarta bisa berkontribusi pada penderitaan di Gaza. Pertanyaan yang tersisa adalah: Bagaimana kita akan menjawab panggilan kemanusiaan ini? Apakah kita mampu melampaui batas geografis dan politik demi hak asasi yang tak bisa ditawar?
Anas Sharif telah pergi, meninggalkan pesan abadi tentang keberanian, kejujuran, dan pengorbanan. Darahnya yang tumpah bukan hanya korban perang, tapi cahaya yang menuntun kita untuk terus memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Biarlah suaranya tak pernah hilang, dan kisahnya menjadi pelajaran bahwa di balik konflik dan politik, yang paling penting adalah kemanusiaan—yang harus kita jaga bersama, tanpa kenal lelah.
Pingback: Israel Membunuh Fakta, Merakit Legitimasi Palsu - vichara.id