Connect with us

Opini

Suara Sandera: Tragedi Kemanusiaan di Tengah Perang Politik

Published

on

Pada malam 24 Mei 2025, ribuan warga Israel membanjiri jalan-jalan Tel Aviv. Di Habima Square, suara mereka menggema, menuntut pembebasan para sandera yang masih terperangkap di Gaza, menyerukan gencatan senjata, dan mengutuk pemerintahan Benjamin Netanyahu yang kian kehilangan legitimasi di mata rakyatnya. Di tengah kerumunan itu, keluarga para sandera mengangkat foto orang-orang tercinta—wajah-wajah yang kini menggantung antara kenangan dan harapan yang kian memudar. Kegelisahan mereka, seperti dilaporkan Al Mayadeen, adalah cerminan luka kolektif yang belum sembuh sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1.200 orang dan menyebabkan 251 lainnya disandera.

Namun, di antara lautan suara itu, satu kesaksian terdengar lebih menusuk—pengakuan Naama Levy, seorang tentara Israel yang dibebaskan dalam pertukaran sandera pada Januari 2025. Ia menggambarkan kengerian yang dialaminya selama ditawan di Gaza. “Ledakan itu datang tanpa peringatan,” ucapnya dengan suara gemetar, mengenang serangan udara Israel yang nyaris merenggut nyawanya. “Yang bisa kamu lakukan hanyalah berdoa, bersandar ke dinding, dan berharap dinding itu tak runtuh.”

Naama bertahan hidup dengan mengandalkan air hujan yang ditampung di panci dan sedikit nasi yang bisa ia masak. Kesaksiannya bukan sekadar narasi pribadi, melainkan gambaran suram tentang situasi 58 sandera lain yang masih terjebak di Gaza—hidup dalam bayang-bayang ledakan, kelaparan, dan ketidakpastian. “Mereka mendengar ledakan yang sama. Mereka juga ketakutan,” katanya. Serangan udara yang diluncurkan Israel atas nama perang melawan Hamas, menurut Naama, justru memperbesar risiko bagi nyawa warganya sendiri.

Data dari The Times of Israel menyebutkan, dari 58 sandera yang tersisa, 35 telah dikonfirmasi tewas, 20 diyakini masih hidup, dan tiga lainnya dalam kondisi kritis. Di balik angka-angka itu, ada nama-nama seperti Matan Angrest, tentara IDF yang diculik sejak Oktober 2023. Ibunya, Anat, berbicara di Kiryat Bialik dengan nada pilu, memohon solidaritas untuk membawa pulang putranya.

Namun tragedi tidak berhenti di sisi Israel. Di Gaza, penderitaan yang jauh lebih luas terjadi. Laporan dari Anadolu Agency dan Al Mayadeen mencatat lebih dari 53.900 warga Palestina—sebagian besar perempuan dan anak-anak—meninggal dunia sejak Oktober 2023 akibat serangan militer Israel yang terus berlanjut meski tekanan internasional untuk gencatan senjata semakin kuat. Pada hari yang sama dengan demonstrasi di Tel Aviv, sembilan anak dari satu keluarga dilaporkan tewas dalam satu serangan udara Israel, menurut laporan Al Mayadeen. Nama-nama dan tanggal kematian mereka kini menghiasi poster-poster kecil yang dibawa oleh aktivis kiri di Kaplan Street—aksi diam yang menyuarakan duka dari sisi lain perang.

Meski beberapa laporan seperti dari NPR (September 2024) mencatat angka korban sekitar 40.000, perbedaan ini tak menafikan realitas yang sama pahitnya: penderitaan manusia yang tak kunjung usai. Di balik statistik itu ada suara tangis, tubuh yang tak sempat dikebumikan, dan keluarga yang selamanya kehilangan.

Di Indonesia, konflik ini mungkin terasa jauh secara geografis, namun gema emosional dan spiritualnya begitu dekat. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, solidaritas untuk Palestina kerap terdengar dari mimbar-mimbar masjid, memenuhi lini media sosial, dan menggema dalam berbagai aksi jalanan. Namun kisah Naama Levy dan ibu-ibu seperti Anat Angrest juga mengingatkan kita bahwa penderitaan tak pernah memilih pihak. Di negeri ini, yang pernah menyaksikan luka konflik di Aceh dan Ambon, kita tahu bagaimana kekerasan melucuti martabat dan menghapus batas kemanusiaan.

Ketika seorang ibu di Kiryat Bialik menangis memanggil nama anaknya yang disandera, dan ketika seorang ayah di Gaza memeluk jenazah anaknya yang hancur karena bom, sesungguhnya mereka berbicara dalam bahasa yang sama: bahasa duka dan kehilangan. Ini adalah luka universal yang melampaui identitas dan ideologi. Di sinilah kita patut bertanya: sampai kapan politik dan kekuasaan terus mengorbankan nyawa?

Protes di Tel Aviv bukan sekadar ekspresi kemarahan terhadap Netanyahu, tetapi juga cerminan kelelahan rakyat yang terperangkap dalam siklus kekerasan yang seolah tak berujung. The Times of Israel melaporkan bahwa negosiasi di Doha yang sempat dimulai kembali setelah pembebasan sandera Edan Alexander, kini kembali terhenti. Hamas telah membebaskan 105 warga sipil pada November 2023, serta 30 lainnya antara Januari hingga Maret 2025. Sebagai gantinya, Israel membebaskan sekitar 2.000 tahanan Palestina. Namun, kemajuan itu berbalik arah seiring ketegangan politik dan kepentingan yang terus saling menjegal. Hamas menolak kesepakatan parsial, sementara Netanyahu, seperti dicatat Al Mayadeen, dinilai lebih sibuk mempertahankan kekuasaannya ketimbang memulangkan warganya.

“Kami butuh pemimpin, bukan politisi,” ujar Einav Zangauker, ibu dari sandera Matan, dengan tegas. Pernyataannya menggambarkan frustrasi yang mengakar di masyarakat Israel, yang merasa dikhianati oleh kepemimpinan mereka sendiri.

Di tengah riuh protes, momen sunyi justru menggugah kesadaran lebih dalam. Aksi diam di Kaplan Street—di mana aktivis kiri memegang foto-foto anak-anak Palestina yang tewas—menjadi pengingat bahwa tidak semua warga Israel menutup mata terhadap penderitaan di pihak lain. Suara seperti Yair Golan, mantan wakil kepala militer Israel, yang menyebut negaranya “membunuh bayi sebagai hobi” di Gaza (sebagaimana dikutip Al Mayadeen), memicu kontroversi, tapi juga membuka ruang untuk refleksi. Di Indonesia, kita mungkin teringat pada mereka yang dulu memperjuangkan rekonsiliasi di Poso—yang tetap memilih jalan damai meski luka masa lalu belum sembuh.

Namun, pertanyaan mendasarnya tetap sama: bagaimana cara mengakhiri semua ini? Negosiasi yang mandek di Doha memperlihatkan betapa dalam jurang ketidakpercayaan antara kedua pihak. Mediator seperti Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat tampaknya kesulitan menjembatani kepentingan yang saling bertentangan. Sementara itu, sandera seperti Matan Angrest mungkin hanya bisa bersandar pada dinding seperti Naama Levy dulu, berharap ledakan berikutnya tidak menjadi yang terakhir. Di Gaza, warga sipil terus hidup di bawah blokade—terkurung dalam ketidakpastian dan keterbatasan, bahkan untuk kebutuhan dasar seperti air minum. Dan di Indonesia, meski banyak di antara kita yang terus menggalang donasi dan menyerukan boikot, kita pun harus bertanya: apakah semua itu cukup?

Mungkin dunia memang butuh lebih dari sekadar simpati. Mungkin sudah waktunya bagi komunitas internasional untuk bertindak lebih tegas, lebih berani, dan lebih konsisten menekan kedua belah pihak agar kembali ke meja perundingan. Sebab kisah Naama, jeritan Anat, dan angka 53.900 bukanlah sekadar data—mereka adalah nyawa, impian, dan kehidupan yang dipatahkan oleh kekerasan yang tak kunjung berhenti.

Di akhir hari, yang tersisa bukan hanya reruntuhan dan jasad, tetapi juga pertanyaan yang menampar nurani kita: jika perang ini terus berlangsung, apa yang akan tersisa dari kemanusiaan kita? Dan jika diplomasi terus gagal, akankah dunia kembali memilih diam?

 

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *