Connect with us

Opini

Strategi Biadab Ben Gvir: Bunuh Gaza dengan Kelaparan

Published

on

Itamar Ben Gvir, seorang politisi sayap kanan yang dikenal dengan gagasan-gagasannya yang penuh “welas asih” terhadap sesama manusia, kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam merancang strategi perang yang cerdas dan inovatif. Setelah berbulan-bulan serangan tanpa henti ke Gaza, ia akhirnya menemukan solusi brilian: membiarkan orang-orang kelaparan, memutus air bersih, dan mengebom stok bantuan kemanusiaan. Benar-benar strategi yang hanya bisa muncul dari seorang jenius kemanusiaan abad ini.

Ben Gvir dengan penuh kebijaksanaan menyatakan bahwa rakyat Gaza harus “dibuat kelaparan” agar Hamas bisa “dihancurkan dengan mudah”. Logika ini sungguh luar biasa: jika ada seorang penjahat yang bersembunyi di sebuah kota, maka solusinya bukan menangkapnya, melainkan menghancurkan seluruh kota bersama penghuninya. Siapa yang butuh presisi dan kemanusiaan jika bisa menerapkan metode perang ala abad pertengahan? Ben Gvir tampaknya ingin membuktikan bahwa dalam peperangan modern, logika tetap bisa ditinggalkan asal niat membumihanguskan musuh dilakukan dengan sepenuh hati.

Dengan keberanian seorang negarawan, ia juga mengusulkan untuk mengebom stok bantuan kemanusiaan yang telah dikumpulkan di Gaza. Ini adalah langkah yang sangat masuk akal: bagaimana bisa sebuah populasi yang sekarat tetap memiliki akses pada makanan dan obat-obatan? Tentu saja, kelaparan harus dilakukan secara menyeluruh agar tidak ada celah bagi rakyat Gaza untuk bertahan hidup. Lagi pula, siapa yang peduli bahwa ini melanggar hukum humaniter internasional? Dalam dunia Ben Gvir, hukum hanya berlaku bagi mereka yang memiliki kekuatan untuk mengabaikannya.

Bahkan, rencana pemadaman listrik dan pemutusan pasokan air bukan sekadar hukuman kolektif, tapi juga eksperimen sosial yang luar biasa. Apakah mungkin bagi manusia bertahan hidup tanpa air dan listrik dalam wilayah yang telah hancur akibat serangan udara? Ben Gvir tampaknya ingin menjawab pertanyaan ini dengan eksperimen nyata di Gaza. Dunia ilmiah seharusnya berterima kasih atas kontribusinya dalam bidang etika eksperimen manusia.

Semua ini, tentu saja, tidak ada hubungannya dengan sekadar memuaskan nafsu balas dendam setelah serangan 7 Oktober. Tidak, ini adalah strategi jangka panjang yang matang untuk membangun perdamaian abadi. Sebab, semua orang tahu bahwa cara terbaik untuk memastikan keamanan jangka panjang adalah dengan menanamkan dendam yang membara pada generasi mendatang. Anak-anak yang kehilangan keluarga mereka, orang-orang yang sekarat karena kelaparan, dan populasi yang mengalami genosida bertahap tentu akan tumbuh dengan penuh cinta terhadap mereka yang menghancurkan hidup mereka.

Dampaknya tidak hanya terbatas pada Gaza, tetapi juga berpotensi merusak stabilitas kawasan. Dengan kebijakan ini, Israel dengan gemilang sedang menciptakan generasi baru pejuang yang akan bangkit dari reruntuhan dan kehancuran. Negara-negara di Timur Tengah tentu saja akan melihat kebijakan ini sebagai bukti bahwa perdamaian hanya bisa dicapai dengan membasmi seluruh penduduk Gaza. Setiap roket yang meluncur ke wilayah Israel nantinya tentu akan diiringi dengan pernyataan: “Terima kasih, Ben Gvir, atas inspirasi ini.”

Reaksi global juga tidak kalah menarik. Para pemimpin dunia mengungkapkan “keprihatinan mendalam”, sebuah frase yang telah kehilangan makna setelah digunakan ribuan kali tanpa tindak lanjut nyata. Beberapa negara mungkin akan mengutuk dengan keras tindakan ini, tetapi tetap mengirimkan senjata dan bantuan keuangan kepada Israel. Bagaimana pun, nilai kemanusiaan dan hukum internasional harus tetap tunduk pada kepentingan geopolitik dan bisnis.

Organisasi hak asasi manusia akan berteriak, media independen akan memberitakan, tetapi pada akhirnya, seperti biasa, dunia akan kembali diam. Rakyat Palestina akan terus menderita, sementara para pemimpin dunia sibuk berdiplomasi dengan bahasa sopan yang tak pernah menghasilkan perubahan nyata. Gaza akan tetap menjadi laboratorium bagi eksperimen kebrutalan yang terus berkembang dengan dalih “memerangi terorisme”.

Namun, mungkin ada secercah harapan jika dunia memilih untuk bangun dari tidur panjangnya. Bayangkan jika para pemimpin global benar-benar menghukum Israel atas pelanggaran hukumnya. Bayangkan jika embargo diberlakukan, jika bantuan militer dihentikan, jika Mahkamah Pidana Internasional akhirnya berani mengambil langkah nyata. Mungkin saat itu, Ben Gvir dan para politisi sejenisnya akan mulai memahami bahwa dunia bukan lagi tempat yang aman bagi mereka yang mengagungkan kebiadaban.

Sampai saat itu tiba, kita hanya bisa mengamati bagaimana sejarah mencatat nama Ben Gvir dalam daftar panjang tiran yang percaya bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan bisa dibenarkan dengan retorika keamanan nasional. Dan ketika reruntuhan Gaza menjadi saksi bisu kebiadaban ini, dunia akan dihadapkan pada satu pertanyaan mendasar: apakah kita masih memiliki keberanian untuk mengatakan bahwa ini salah, ataukah kita akan terus memilih diam dalam dosa kolektif kita?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *