Opini
Sritex Bangkrut, Buruh TerPHK, Tapi Katanya Semua Aman!

Indonesia, negeri di mana setiap masalah memiliki solusi sederhana: rapat darurat, konferensi pers, dan janji manis. Lebih dari sepuluh ribu buruh Sritex kehilangan pekerjaan setelah perusahaan itu bangkrut. Pabrik yang dulu menjadi kebanggaan kini berubah menjadi bangunan kosong. Ribuan keluarga kehilangan mata pencaharian, tapi pemerintah tetap tersenyum santai di depan kamera, “Jangan khawatir, akan ada rekrutmen ulang!”
Sungguh luar biasa. Di negeri ini, kehilangan pekerjaan bukan masalah besar. Kalau di-PHK, ya sudah, cari kerja lagi. Kalau tidak dapat kerja, ya buka usaha. Kalau tidak punya modal, ya coba pinjam. Kalau tidak ada yang mau kasih pinjaman, ya jual aset. Kalau tidak punya aset, ya bertahan saja. Kalau tidak bisa bertahan? Ya, mati adalah solusi paling sederhana.
Tapi jangan khawatir, kata mereka, ekonomi kita baik-baik saja.
Saat buruh menangis kehilangan pekerjaan, pejabat tetap tenang. Mereka bilang ini bukan salah siapa-siapa. Salahkan perang di Ukraina, salahkan konflik di Timur Tengah, salahkan resesi global. Salahkan siapa saja, asal jangan kebijakan sendiri. Padahal, kalau mau jujur, masalah ini sudah lama berakar, hanya saja selalu ditutupi dengan angka-angka statistik yang membuat segalanya terlihat stabil.
Mereka bilang, pengangguran turun. Fantastis! Hebat sekali negeri ini. PHK massal terjadi, tapi angka pengangguran justru turun. Ternyata ada trik sederhana: selama seseorang masih bisa membantu warung ibunya, mengojek sesekali, atau jadi admin grup WhatsApp keluarga, maka mereka tetap dianggap bekerja. Statistik bukan soal kenyataan, tapi soal bagaimana kita mendefinisikan sesuatu agar tampak lebih indah.
Pemerintah tidak panik. Pejabat tetap nyaman. Mereka tidak kehilangan pekerjaan. Gaji tetap lancar. Fasilitas tetap ada. Ketika rakyat bertanya soal pesangon, jawabannya klasik: “Kami akan mengevaluasi.” Evaluasi, kata ajaib yang selalu menjadi jawaban ketika rakyat butuh kepastian. Evaluasi bisa berarti apa saja. Bisa berarti rapat tanpa solusi, bisa berarti laporan panjang yang hanya berisi angka-angka, bisa juga berarti tidak akan ada yang berubah.
Tapi jangan khawatir, kata mereka, akan ada 19 juta lapangan kerja baru.
Di mana? Kapan? Tidak ada yang tahu. Tapi rakyat harus percaya. Sama seperti rakyat harus percaya bahwa ekonomi baik-baik saja, meski harga sembako naik, daya beli merosot, dan PHK semakin banyak. Sama seperti rakyat harus percaya bahwa investor tetap berdatangan, meski pabrik-pabrik tutup satu per satu dan perusahaan lebih memilih hengkang ke Vietnam.
Para investor pergi bukan karena buruh banyak menuntut, tetapi karena aturan yang berubah-ubah, pungli di mana-mana, dan birokrasi yang lebih membingungkan daripada jalan cerita sinetron azab. Sementara negara lain menawarkan kepastian, Indonesia menawarkan kejutan. Hari ini regulasi begini, besok bisa berubah lagi. Lalu pejabat bingung, kenapa investasi sulit masuk?
Sementara itu, buruh yang kehilangan pekerjaan diberi satu solusi klasik: “Jadi pengusaha saja!” Seakan-akan berwirausaha adalah sesuatu yang bisa dilakukan semua orang dalam semalam. Seakan-akan modal bisa jatuh dari langit. Seakan-akan jualan online bisa langsung sukses tanpa modal, tanpa relasi, dan tanpa keberuntungan. Kalau semudah itu, kenapa masih ada kemiskinan?
Di tengah kekacauan ini, ada satu hal yang selalu bisa diandalkan: konferensi pers pemerintah. Pejabat akan tampil rapi, dengan wajah tenang, bicara tentang bagaimana mereka akan “mengawal proses ini,” bagaimana mereka “mendengar aspirasi rakyat,” dan bagaimana mereka “akan mencari solusi terbaik.” Mereka akan berbicara panjang lebar, lalu pada akhirnya, tidak ada yang berubah.
Sementara buruh yang kehilangan pekerjaan mulai memikirkan bagaimana membayar sekolah anak, bagaimana membayar cicilan rumah, dan bagaimana bertahan hidup esok hari, pejabat kita tetap optimis. Mereka tidak perlu khawatir. Mereka tidak punya cicilan rumah, karena rumah mereka sudah dibayari negara. Mereka tidak perlu cemas dengan harga sembako, karena uang makan mereka sudah termasuk dalam tunjangan. Mereka tidak peduli berapa gaji buruh, karena mereka tak pernah mengalami hidup sebagai buruh.
Jadi, kalau ada buruh yang merasa terdzalimi, kalau ada buruh yang merasa pemerintah tidak berpihak pada mereka, itu hanya perasaan saja. Itu hanya kurang bersyukur. Karena di negeri ini, semua harus terlihat baik-baik saja.
Para buruh boleh menangis, boleh mengeluh, boleh marah. Tapi satu hal yang pasti: pemerintah tidak akan ikut menangis. Mereka akan tetap duduk nyaman di kursi empuk mereka, membuat kebijakan dari balik meja, dan memberi saran tanpa pernah benar-benar memahami penderitaan rakyat.
Lalu lima tahun lagi, pemilu tiba. Pejabat yang sama akan kembali muncul di televisi, berbicara soal janji baru, soal lapangan kerja baru, soal masa depan yang lebih cerah. Rakyat akan mendengar, sebagian akan percaya, sebagian lagi akan tertawa sinis. Lalu siklus ini akan terus berulang, seperti lagu lama yang diputar tanpa henti.
Tapi tidak apa-apa.
Karena katanya, semuanya baik-baik saja.
*Sumber: YouTube