Opini
Spanyol Lawan Arus, Bela Palestina

Spanyol membatalkan kesepakatan senjata senilai $325 juta dengan Israel—sebuah langkah mengejutkan yang menggetarkan dinamika diplomatik kedua negara. Di tengah krisis kemanusiaan yang terus memburuk di Gaza, di mana 27 warga sipil tewas dalam serangan dekat pusat distribusi bantuan di Rafah, Spanyol memilih jalur tegas dan penuh keberanian: boikot terhadap Israel, embargo senjata, dan pengakuan resmi terhadap negara Palestina. Tindakan ini tak sekadar bermuatan politis, tetapi juga seruan nurani atas darah yang terus mengalir tanpa henti.
Di Gaza, Volker Turk, Komisaris Tinggi HAM PBB, menyebut serangan terhadap warga sipil sebagai potensi kejahatan perang dan menuntut investigasi independen. Kenyataan ini mencabik nurani: bagaimana mungkin sebuah bangsa dipaksa hidup dalam bayang-bayang kematian demi sebutir roti atau sekantong tepung? Dalam kondisi seperti ini, keberpihakan bukan lagi sekadar pilihan politik—ia adalah ujian kemanusiaan sejati.
Langkah Spanyol terasa berat dan penuh konsekuensi. Negara ini sedang menghadapi tantangan domestik yang nyata. Menurut Eurostat 2024, tingkat pengangguran mencapai 11,3%, sementara sekitar 40.000 orang hidup sebagai tunawisma di jalan-jalan Madrid dan Barcelona, sebagaimana dicatat Fundación Arrels. Membatalkan kontrak rudal Spike dengan Rafael, perusahaan pertahanan Israel, bukan hanya soal menghitung anggaran. Itu juga berarti mempertaruhkan hubungan dagang strategis dan investasi jangka panjang. Dalam konteks itu, keberanian Spanyol untuk berdiri di sisi rakyat Gaza adalah komitmen moral yang tak ringan.
Bayangkan, di tengah tekanan domestik yang tinggi, Spanyol menyatakan keberpihakan kepada mereka yang kelaparan dan ketakutan. Menurut Volker Turk, warga Gaza dipaksa memilih antara mati kelaparan atau ditembak saat mengantre bantuan. Ini bukan keputusan tanpa risiko. Ada harga politik dan ekonomi yang harus dibayar: kemungkinan hilangnya peluang investasi, gesekan diplomatik, dan kecaman dari sekutu seperti Amerika Serikat. Namun di bawah kepemimpinan Pedro Sanchez, Spanyol tampaknya siap menanggungnya.
Laporan memilukan terus berdatangan dari Gaza. Kementerian Kesehatan setempat mencatat 75 kematian di dekat pusat distribusi bantuan sejak akhir Mei, dengan 35 orang tewas hanya dalam satu serangan pada 2 Juni. Video yang beredar memperlihatkan kepanikan warga saat peluru menghujani mereka di Rafah. Israel membantah keterlibatan langsung, tetapi fakta-fakta di lapangan tak bisa diabaikan. Sekjen PBB Antonio Guterres menyerukan gencatan senjata dan investigasi mendesak, menyebut situasi ini “tak bisa diterima.” Kehidupan di Gaza kini identik dengan ketakutan: mengantre bantuan berarti mempertaruhkan nyawa.
Turk juga menyinggung praktik yang ia sebut sebagai “militerisasi bantuan” oleh Israel—sebuah pendekatan yang gagal memenuhi standar kemanusiaan internasional. Ini bukan lagi soal kebijakan geopolitik, melainkan soal kelangsungan hidup manusia. Di Indonesia, kita punya ingatan kolektif tentang krisis kemanusiaan: tsunami Aceh, gempa Yogyakarta, erupsi Merapi—saat dunia datang membantu. Tapi di Gaza, bantuan kerap datang bersama risiko kematian. Ini adalah realitas tragis yang seharusnya menggugah siapa pun yang mengaku menjunjung nilai-nilai kemanusiaan universal.
Langkah Spanyol tidak muncul dalam kehampaan. Di tengah kebisuan relatif Eropa, Spanyol tampil berbeda. Jerman, dibayangi sejarah Holocaust, bersikap hati-hati dalam mengkritik Israel. Prancis lebih vokal, tapi tetap menjaga keseimbangan diplomatik dengan sekutu Barat. Sementara Spanyol, justru bergerak lebih jauh: membatalkan kontrak militer, mendesak penangguhan perjanjian Uni Eropa-Israel, dan menjadi tuan rumah pertemuan 20 negara untuk mendorong solusi dua negara.
Pada 29 Mei, bersama Irlandia, Slovenia, dan Norwegia, Spanyol secara resmi menyerukan dukungan dunia atas keanggotaan penuh Palestina di PBB. Ini bukan hanya gestur simbolis, melainkan deklarasi sikap: keadilan harus ditegakkan, dan dunia tidak bisa terus-menerus membiarkan impunitas berlangsung.
Namun, benarkah Spanyol telah “berada di sisi sejarah yang benar,” sebagaimana kerap digaungkan? Ungkapan itu mengandung bobot moral, namun juga membuka ruang tafsir. Bagi sebagian orang, sikap Spanyol adalah bentuk keberanian moral dan solidaritas terhadap yang tertindas. Dalam sejarahnya sendiri, Spanyol pernah merasakan pahitnya tirani di bawah Franco—sehingga keberpihakan pada Palestina terasa seperti gema masa lalu yang hidup kembali.
Di Indonesia, resonansi ini tidak asing. Kita pernah menjadi bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan, yang hanya diakui segelintir negara sebelum akhirnya diterima dunia. Kita tahu rasanya menggantungkan harapan pada solidaritas internasional. Namun bagi pendukung Israel, langkah Spanyol dinilai bias atau bahkan kontra produktif terhadap perdamaian. Dari sudut pandang mereka, Israel sedang mempertahankan eksistensi di tengah ancaman teror. Dalam logika ini, pemutusan kerja sama atau boikot justru memperpanjang konflik dan menutup ruang dialog.
Dari dalam negeri, kritik terhadap langkah Spanyol juga tak terhindarkan. Ketika ribuan orang hidup di jalanan dan pemulihan ekonomi berjalan lambat, sebagian warga mempertanyakan: mengapa Gaza menjadi prioritas di tengah persoalan domestik yang belum selesai? Di Indonesia, suara semacam ini pun sering muncul: mengapa kita sibuk dengan luar negeri, padahal kemiskinan di dalam negeri masih membuncah?
Namun, Pedro Sanchez tampaknya melihat isu Palestina bukan semata urusan luar negeri, melainkan ekspresi nilai kemanusiaan. Dengan membatalkan kontrak senjata bernilai ratusan juta dolar, pemerintahnya menyampaikan pesan: ada hal-hal yang lebih penting daripada laba ekonomi. Ada prinsip-prinsip moral yang tak bisa dibeli dengan keuntungan jangka pendek.
Cobalah renungkan kembali kondisi Gaza. Laporan terakhir menyebut 52 orang tewas dan 340 lainnya luka-luka hanya karena mencoba mengambil bantuan. Bayangkan ibu-ibu dan anak-anak berdiri di bawah terik matahari, berharap sekantong tepung, namun malah disambut peluru. Ini bukan adegan film. Ini adalah tragedi nyata yang terekam dan disiarkan ke seluruh dunia. Guterres dan Turk menyerukan keadilan, tetapi dunia tetap terpecah. Dalam konteks ini, langkah Spanyol menjadi penanda penting: ada negara yang memilih untuk tidak tinggal diam.
Tentu saja, satu negara tidak bisa mengubah arah sejarah sendirian. Tapi Spanyol telah membuktikan bahwa keberanian moral bisa menjadi pemicu perubahan. Di Indonesia, perbincangan tentang Palestina kerap terbatas pada unjuk rasa atau cuitan di media sosial. Namun, bisakah kita berbuat lebih? Mungkin bukan lewat embargo senjata, tapi lewat diplomasi yang lebih aktif di ASEAN atau OKI, serta bantuan kemanusiaan yang lebih terstruktur.
Indonesia punya warisan membela yang tertindas. Dari pidato-pidato Soekarno tentang kemerdekaan bangsa-bangsa, hingga bantuan untuk etnis Rohingya, kita pernah memainkan peran penting. Tapi kita juga dibayangi masalah domestik yang tak kalah besar. Tantangannya adalah menyeimbangkan: menjadi warga negara yang peduli dalam negeri, sekaligus warga dunia yang tidak menutup mata.
Spanyol mengingatkan kita bahwa keberanian moral menuntut harga. Membatalkan kontrak senjata senilai $325 juta bukan semata urusan angka, melainkan pernyataan bahwa nyawa anak-anak Gaza lebih berharga daripada aliran dana pertahanan. Namun Spanyol juga mengingatkan bahwa keberpihakan kepada keadilan global tidak berarti mengabaikan tanggung jawab sosial di dalam negeri. Mungkin, “berada di sisi sejarah yang benar” bukan tentang memilih pihak secara hitam-putih, melainkan tentang memiliki keberanian untuk bertindak—meski dunia belum siap sepenuhnya.
Dan akhirnya, pertanyaannya sederhana tapi penting: jika kita berada di posisi Spanyol—dengan tekanan domestik, risiko diplomatik, dan ujian moral di depan mata—apa yang akan kita pilih?