Opini
Spanyol Berontak: Rumah untuk Hidup, Bukan untuk Profit

Jalan-jalan sempit di kota-kota Spanyol bergema dengan suara langkah kaki, teriakan penuh semangat, dan spanduk yang berkibar di udara sejuk. Ribuan penyewa, dari keluarga muda hingga lansia, bersatu dalam gelombang protes yang mengguncang 40 kota, meneriakkan pesan tegas: “Hentikan Bisnis Perumahan.” Di balik kemarahan mereka ada krisis nyata—sewa melonjak dua kali lipat dalam satu dekade, dan 40% pendapatan mereka hilang hanya untuk berteduh, seperti dilaporkan DW. Ini bukan sekadar demonstrasi; ini pemberontakan melawan sistem yang mengorbankan hak dasar demi keuntungan.
Hidup di Barcelona berarti menyaksikan kota yang dulu penuh kehangatan budaya berubah wajah. Sewa di sana melonjak 60% dalam lima tahun terakhir, menurut The New York Times (Maret 2025). Wisatawan membanjiri jalanan, dan apartemen yang dulunya tempat tinggal keluarga kini jadi sewa jangka pendek via Airbnb. Sebanyak 10% stok perumahan beralih fungsi sejak 2015, mendorong warga lokal ke pinggiran atau bahkan ke jalanan. Pemerintah kota berencana menghapus lisensi sewa jangka pendek pada 2028, tapi bagi banyak orang, langkah itu terlambat—kerusakan sudah mengakar.
Spanyol bukan kasus tunggal; ini cerminan penyakit global yang melanda kota-kota besar. Di Lisbon, Financial Times (April 2023) mencatat kenaikan sewa lebih dari 20% dalam setahun karena investor asing memborong properti. Di London, sewa apartemen satu kamar mencapai $2.738 per bulan pada Desember 2024 (Al Jazeera, Januari 2025), sementara harga rumah naik 50% dalam dekade terakhir (The Week, Januari 2025). Di balik angka-angka ini tersimpan cerita: keluarga berbagi rumah, anak muda terjebak di rumah orang tua, dan mereka yang akhirnya kehilangan segalanya.
Penyebabnya terang benderang: spekulasi properti telah mengubah rumah dari hak menjadi aset investasi. Di Spanyol, “vulture funds” dan landlord membiarkan apartemen kosong atau sengaja merusaknya untuk menaikkan nilai jual, seperti dilaporkan DW. Ada 3,8 juta rumah kosong di negara ini, namun pemerintah menyebut perlu 600.000 unit baru—hanya 100.000 yang selesai pada 2024. Gonzalo Alvarez dari Tenants’ Syndicate menegaskan, “Tidak perlu membangun lebih banyak; rumah sudah ada, tapi dikuasai bank dan spekulan.” Logikanya sederhana: distribusi rumah bisa meredakan krisis.
Pariwisata, meski mendatangkan devisa, memperparah luka ini. Spanyol menyandarkan 12,4% PDB-nya pada sektor ini (Statista, 2023), tapi tanpa regulasi ketat, dampaknya merusak. Di Mallorca, Malaga, dan Valencia, warga lokal tak lagi mampu tinggal di tanah kelahiran mereka karena properti dialihkan untuk turis. Barcelona jadi contoh mencolok: ketika sewa mencapai $1.313 per bulan untuk apartemen satu kamar (BBC, April 2025), penduduk asli tersingkir, digantikan pengunjung sementara yang membayar lebih tinggi. Ini bukan kemajuan—ini pengusiran terselubung.
Pemerintah Spanyol, di bawah Pedro Sanchez, berupaya menjawab dengan pembatasan sewa dan janji perumahan sosial. Dalam peresmian unit sosial di Sevilla, Sanchez berkata, “Rakyat ingin pasar perumahan diatur oleh akal sehat dan keadilan sosial, bukan spekulasi liar” (DW, April 2025). Tapi langkahnya—termasuk usulan pajak 100% untuk pemilik asing—terasa seperti tambalan pada luka besar. Ketika upah hanya naik 20% dalam 10 tahun sementara sewa berlipat ganda, kebijakan setengah hati tak cukup menyelamatkan jutaan penyewa dari tekanan finansial.
Lihat datanya: 40% penyewa Spanyol hidup di ambang kehancuran ekonomi, menghabiskan 40% pendapatan untuk sewa (Bank Sentral Spanyol, 2025). Ini bukan hanya angka—ini keluarga yang memilih antara sewa atau makan, anak muda yang menunda menikah karena tak punya rumah, dan lansia yang terancam penggusuran. Protes ini menuntut pengurangan sewa paksa, ekspropriasi properti kosong, dan larangan perusahaan penggusuran. Tuntutan itu bukan radikal; ini panggilan logis untuk mengembalikan keseimbangan yang direnggut pasar.
Namun, ada penentang gerakan ini. Lawan protes menyebut pengorganisir “kiri radikal” yang anti-kepemilikan pribadi (DW, April 2025). Mereka bilang mogok sewa atau ekspropriasi mengancam hak properti, pilar ekonomi pasar bebas. Tapi hak siapa yang dilindungi? Ketika segelintir investor menguasai jutaan rumah kosong sementara ribuan diusir, apakah itu kebebasan atau penindasan tersamarkan? Pasar bebas tak boleh jadi alasan untuk mengorbankan hak dasar atas tempat tinggal.
Spanyol belum kehilangan harapan, tapi waktu semakin sempit. Dengan 28.000 orang tunawisma pada 2022 (Eurostat, 2023), dan lebih banyak lagi dalam “tunawisma tersembunyi” (El País, Januari 2024), krisis ini sudah memakan korban. Jika tren berlanjut—sewa naik, penggusuran bertambah, dan perumahan sosial tertinggal—jumlah itu bisa melonjak. Budaya kekeluargaan Spanyol mungkin menahan gelombang sementara, tapi itu bukan jawaban jangka panjang. Tanpa intervensi besar, tunawisma akan jadi wajah baru krisis ini.
Solusi ada di depan mata, tapi butuh keberanian politik. Ekspropriasi 3,8 juta rumah kosong bisa menyediakan tempat tinggal bagi jutaan orang, seperti diusulkan pengorganisir protes. Mengapa membangun baru ketika aset sudah ada, hanya terkunci oleh spekulasi? Larangan total sewa jangka pendek di kota-kota besar, bukan sekadar pembatasan, bisa mengembalikan rumah ke warga. Dan pengurangan sewa paksa—meski kontroversial—bisa memberi nafas bagi penyewa yang tercekik, setidaknya sampai sistem diperbaiki.
Kritikus mungkin bilang ini terlalu mahal atau tak realistis. Tapi apa biaya kelambanan? Menurut OECD, ketika lebih dari 30% pendapatan dipakai untuk perumahan, stabilitas ekonomi masyarakat terancam. Spanyol sudah lewati ambang itu—40% adalah sinyal bahaya. Jika pemerintah gagal bertindak, protes ini hanyalah permulaan. Kemarahan akan membesar, dan ketidakstabilan sosial bisa menyusul, merusak lebih dari sekadar pasar properti.
Krisis ini adalah cermin dunia modern: kemajuan ekonomi sering mengorbankan yang paling rentan. Spanyol, dengan sejarah spekulasi dan ketergantungannya pada wisata, membayar harga dari sistem yang mengutamakan profit di atas manusia. Tapi ini juga peluang—untuk menulis ulang aturan, menjadikan rumah sebagai hak, bukan hak istimewa. Protes ini bukan akhir, melainkan panggilan untuk bertindak. Pertanyaannya bukan apakah Spanyol mampu berubah, tapi apakah ia bersedia sebelum terlambat.
Saya menutup dengan refleksi: jika rumah bukan lagi tempat berlindung, tapi alat spekulasi, apa yang tersisa dari makna “rumah”? Spanyol—dan dunia—harus menjawab ini, bukan dengan kata-kata, tapi tindakan nyata. Data sudah berbicara, rakyat sudah berteriak—sekarang giliran sistem untuk mendengarkan. Jika tidak, jalanan akan terus dipenuhi mereka yang kehilangan lebih dari sekadar tempat tinggal—mereka kehilangan harapan.