Opini
Solusi Dua Negara: Damai atau Ilusi Keadilan?

Di tengah terik matahari yang membakar, ratusan warga Palestina di Rafah, Gaza, melangkah pelan namun pasti, berjalan hingga sepuluh kilometer menuju pusat distribusi bantuan. Harapan mereka sederhana: bertahan hidup. Namun seperti dilaporkan Kompas TV, banyak dari mereka harus pulang dengan tangan hampa. Distribusi yang kacau, bantuan yang tak merata, dan desakan massa yang tak terkendali menggambarkan situasi yang kian tak manusiawi. Siapa yang tak tergetar hatinya melihat ini?
Ketika krisis kemanusiaan terus berlangsung tanpa tanda-tanda mereda, dunia masih memperdebatkan soal “solusi”. Dan di tengah luka yang masih menganga itulah, pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada Mei 2025 lalu memicu gelombang polemik. Dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Istana Merdeka, ia menyampaikan bahwa Indonesia siap membuka hubungan diplomatik dengan Israel—tentu, dengan syarat: Israel harus lebih dulu mengakui kemerdekaan Palestina.
Pernyataan itu muncul dalam semangat diplomasi, seiring penegasan Indonesia dan Prancis untuk mendorong kemerdekaan Palestina melalui jalan kompromi yang dikenal sebagai “solusi dua negara”. Prabowo bahkan menyatakan kesediaan Indonesia mengirim pasukan perdamaian jika dibutuhkan. Di atas kertas, pendekatan ini tampak logis. Dua negara yang hidup berdampingan dalam damai. Tapi benarkah semudah itu?
Kekejaman yang Belum Usai
Dina Prapto Raharjo, seorang praktisi hubungan internasional, menyebut pernyataan Prabowo sebagai langkah yang tidak tepat waktu. Kekejaman zionis Israel di Gaza sedang memuncak—rumah-rumah hancur, warga sipil tewas, dan bantuan yang terhambat. Dalam situasi seperti ini, pembicaraan soal pengakuan terhadap Israel terasa, meminjam kata-katanya, “out of konteks”. Saya sepakat. Saat ribuan warga Rafah berebut sebungkus tepung dan sebotol air, tidakkah lebih mendesak bagi kita untuk memastikan kekerasan dihentikan dan bantuan sampai dengan aman?
Laporan Kompas TV dan BeritaSatu memperlihatkan kegelisahan yang luas. Pada saat yang sama, diplomasi multilateral terus berjalan. Prancis bersama Arab Saudi berencana mendorong pengakuan Palestina dalam Sidang Umum PBB bulan Juni 2025. Sejak akhir 2024, isu ini telah bergulir dan bahkan mendapat sinyal dukungan dari Amerika Serikat. Sementara itu, Uni Eropa sendiri—mitra dagang utama Israel—masih terpecah. Macron vokal menyerukan pemutusan hubungan dagang, sementara sejumlah negara Eropa menolak.
Indonesia, dengan prinsip politik luar negeri bebas dan aktif, seharusnya mampu menempuh langkah yang lebih tegas. Kita bisa berdiri sejajar dengan Prancis, memberi tekanan yang berarti pada Israel, bukan malah berbicara soal kemungkinan hubungan diplomatik yang justru memberi kesan melemahkan posisi tawar kita. Seperti dikatakan Dina, pernyataan Prabowo yang menyebut perlunya “melindungi” Israel adalah sebuah blunder. Di saat Gaza luluh lantak, mengapa kita bicara perlindungan untuk penjajah?
Bukan Sekadar Statistik, Ini Soal Nyawa
Mari lihat kenyataan. Warga Gaza berjalan kaki puluhan kilometer untuk meraih secercah bantuan. Mereka berebut beras, tepung, air—apa pun yang bisa membuat anak-anak mereka tetap hidup. Ini bukan angka. Ini nyawa. Ini tentang ibu yang tak lagi punya cara untuk memberi makan bayinya. Tentang anak-anak yang dipaksa dewasa dalam bayang-bayang kehancuran.
Prof. Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, menggarisbawahi bahwa ini bukan semata konflik agama, melainkan soal tanah yang direbut secara ilegal. Sejak 1948, dan makin brutal pasca-1967, zionis Israel menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, Yerusalem Timur, dan membangun pemukiman ilegal—semua bertentangan dengan hukum internasional. International Court of Justice (ICJ) pun menegaskan, pendudukan itu adalah tindakan melanggar hukum.
Jika begitu, kenapa solusi dua negara masih dijadikan acuan utama? Apakah cukup hanya membagi tanah yang telah dirampas tanpa menuntut keadilan secara menyeluruh?
Diplomasi yang Tak Menyentuh Akar
Saya memahami argumentasi yang dibangun oleh pemerintah. Ruliansah Sumirat, juru bicara Kementerian Luar Negeri, mengatakan bahwa pernyataan Prabowo hanyalah kelanjutan dari kebijakan Indonesia selama ini: mendukung Palestina, mendorong solusi dua negara. Jika Israel mengakui Palestina, maka tak ada lagi penghalang untuk membuka hubungan. Kedengarannya pragmatis. Namun pertanyaannya: adilkah itu bagi rakyat Palestina?
Kenyataannya, Israel belum pernah sungguh-sungguh mengakui Palestina. Pemukiman masih meluas, blokade Gaza terus berjalan, dan kejahatan perang berlangsung tiap hari. Prof. Hikmahanto mengatakan Indonesia justru memiliki posisi tawar yang besar. Israel ingin normalisasi dengan negara-negara Muslim—termasuk Indonesia. Maka posisi kita seharusnya bukan sekadar “jika kamu akui kami, kami akui kamu”. Tapi lebih jauh: tarik pasukanmu, hentikan kolonisasi, kembalikan tanah yang dirampas. Itu baru keadilan.
Ini Bukan Penjajahan Biasa
Muhammad Husein, aktivis kemanusiaan yang kerap menyuarakan kondisi Gaza, memberi perspektif yang lebih manusiawi. Ia menilai pernyataan Prabowo masih dalam koridor kebijakan lama Indonesia: tidak ada pengakuan terhadap Israel sebelum kemerdekaan Palestina benar-benar diakui. Tapi ia juga menegaskan, realita di lapangan sangat jauh dari janji damai. Genosida masih berlangsung.
Husein pernah bertemu langsung dengan Rami Hamdallah, PM Palestina dari Fatah, yang meski mendukung solusi dua negara, tetap mendambakan kemerdekaan penuh. Hamas pun, katanya, terbuka pada solusi dua negara, meskipun Netanyahu terus menyebarkan narasi bahwa “baik Hamas maupun Fatah ingin melenyapkan Israel”. Maka jika para pihak di Palestina pun belum solid, dan Israel terus memprovokasi, apa arti sebenarnya dari solusi dua negara?
Menolak Solusi Semu
Saya pribadi tak bisa menerima solusi dua negara sebagai penyelesaian yang adil. Resolusi PBB 242 yang sering dijadikan rujukan, hanya meminta Israel kembali ke batas wilayah 1967. Tapi kejahatan zionis dimulai jauh sebelum itu—sejak 1948, saat ratusan ribu warga Palestina diusir dari tanah mereka sendiri dalam peristiwa Nakba. Lalu apa arti “negara Palestina” jika tanahnya tercerai-berai oleh pemukiman ilegal, dibelah oleh tembok pemisah, dan diblokade dari udara hingga laut?
Seperti disampaikan Husein, penjajahan zionis ini berbeda dengan penjajahan Belanda di Indonesia. Belanda masih punya negeri asal untuk kembali. Tapi Israel adalah proyek kolonial modern, didukung penuh oleh kekuatan Barat. Mantan PM Spanyol, José María Aznar, pernah berkata, “Jika Israel runtuh, peradaban Barat ikut runtuh.” Maka, kita sebenarnya sedang berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih dalam: benturan peradaban, sebagaimana pernah dipopulerkan Samuel Huntington.
Indonesia Harus Lebih Keras
Indonesia, dengan sejarah panjang melawan kolonialisme, tak boleh hanya menjadi penonton dalam babak sejarah ini. Kita harus lebih dari sekadar menyatakan kesiapan mengirim pasukan perdamaian. Kita harus mendorong tekanan internasional yang nyata. Dukung langkah Prancis di PBB bulan Juni 2025. Desak Israel menghentikan pendudukan, bongkar semua pemukiman ilegal, dan patuhi keputusan ICJ.
Keadilan bukan sekadar kompromi dua negara. Keadilan adalah mengembalikan hak atas tanah, air, dan kehidupan yang telah direbut. Selama hak-hak itu belum dikembalikan, mengakui Israel—meski dengan syarat—hanya akan memperpanjang legitimasi penjajahan.
Saatnya Mengambil Sikap
Wajar jika pernyataan Prabowo memunculkan pro dan kontra. Rakyat Indonesia punya kepekaan historis terhadap penjajahan. Tapi seperti kata Husein, pemahaman terhadap isu Palestina harus lebih mendalam. Ini bukan konflik biasa, ini adalah kolonialisme gaya baru yang menggunakan narasi demokrasi dan keamanan untuk menutupi kejahatan.
Saya tegas menolak solusi dua negara dalam bentuknya saat ini. Bukan karena saya menolak damai, tetapi karena solusi itu tak menyentuh akar masalah: pencaplokan tanah dan pengusiran rakyat Palestina. Solusi itu hanya akan menjadi tambal sulam yang menunda ledakan berikutnya. Jika keadilan adalah dasar dari perdamaian, maka keadilan itu harus bermula dari pengakuan bahwa Israel adalah penjajah, dan tanah Palestina harus dikembalikan.
Indonesia tidak boleh kehilangan arah. Kita harus tetap konsisten dengan prinsip bebas-aktif dan anti-kolonial. Dunia sedang menunggu suara kita. Gaza pun sedang menunggu. Dan hati nurani kita, barangkali, sedang diuji.