Opini
Solidaritas Spanyol Gaza: Tindakan Nyata Bukan Sekadar Kata

Di jalan-jalan Madrid yang biasanya dipenuhi hiruk-pikuk pasar dan aroma roti panggang pagi, saya membayangkan bagaimana rasanya jika kota ini memutuskan untuk menutup pintu bagi kejahatan—bukan hanya kata-kata manis di podium, tapi langkah nyata yang menekan kekuatan yang menindas. Gambaran itu kini menjadi kenyataan, setidaknya dari pernyataan Perdana Menteri Pedro Sanchez. Solidaritas Spanyol Gaza bukan lagi sekadar jargon diplomatik; ia muncul dalam bentuk sanksi permanen, larangan ekspor senjata, dan komitmen bantuan kemanusiaan. Langkah-langkah ini, meski mungkin tampak kecil dibanding kekuatan mesin perang di Timur Tengah, adalah sinyal kuat bahwa ada negara yang bersedia berdiri di sisi sejarah yang benar.
Kita semua tahu, dalam panggung politik internasional, retorika sering kali menjadi substitusi dari tindakan. Negara mengutuk, masyarakat protes, media memberitakan, tapi rakyat di Gaza tetap terjebak dalam kehancuran yang tak berkesudahan. Namun Spanyol memilih jalan berbeda: mereka memasang batas nyata, bukan sekadar simbol. Membatasi akses individu yang terlibat dalam pelanggaran HAM, menutup pelabuhan dan udara bagi pasokan militer—ini bukan pertunjukan teatrikal, ini pernyataan moral yang konkret. Solidaritas Spanyol Gaza, dengan cara ini, memberikan pelajaran bagi dunia bahwa membela kemanusiaan membutuhkan keberanian administratif, bukan sekadar keberanian retorik.
Ironisnya, dunia luar kadang lupa: konflik ini bukan hanya masalah geopolitik jauh di sana. Bagi kita, orang Indonesia yang sehari-hari mengantre di pasar, membayar listrik, dan menunggu kabar keluarga di kota lain, absurditasnya terasa dekat. Seperti melihat tetangga rumah dibombardir tapi aparat hanya menyalakan lampu peringatan. Solidaritas Spanyol Gaza, dalam konteks ini, seperti tetangga yang berani memanggil polisi, menutup pintu, dan memberikan makanan kepada yang kelaparan—aksi nyata, bukan sekadar komentar simpati.
Langkah Spanyol juga menantang logika diplomasi konvensional yang seringkali berjalan lambat, penuh kompromi, dan kadang munafik. Menggabungkan sanksi ekonomi dengan bantuan kemanusiaan, mereka membuktikan bahwa tekanan dan kepedulian bisa berjalan bersamaan. Larangan kapal bahan bakar untuk pasukan Israel, pembatasan penerbangan dengan material pertahanan, hingga peningkatan kontribusi ke UNRWA bukan sekadar angka di laporan tahunan. Ini adalah strategi yang memberi tekanan, sekaligus menyelamatkan nyawa. Solidaritas Spanyol Gaza di sini menjadi laboratorium praktis: apakah tindakan moral bisa diterjemahkan menjadi kebijakan efektif? Dalam banyak hal, jawabannya tampak positif, setidaknya sebagai langkah awal yang menandai pergeseran paradigma.
Tentu saja, kritik tetap relevan. Tidak ada satu negara pun yang mampu mengubah jalannya perang sendirian. Sanchez sendiri mengakui, “Spanyol saja tidak bisa menghentikan perang,” sebuah pengakuan yang jujur namun menegaskan niat. Solidaritas Spanyol Gaza bukanlah janji akan kemenangan instan, tapi komitmen untuk berdiri di sisi yang benar. Seperti kita yang menabung sedikit demi sedikit untuk membantu tetangga yang kesulitan, tindakan Spanyol mungkin tidak mengakhiri konflik hari ini, tapi menegaskan bahwa kemanusiaan masih memiliki tempat dalam kebijakan internasional.
Ada pula pelajaran tersirat bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Kerap kali solidaritas dibatasi pada pernyataan resmi, foto bersama bendera, atau donasi simbolik. Spanyol menunjukkan bahwa solidaritas tidak cukup sebatas ucapan; ia membutuhkan keberanian legislatif dan administratif, keberanian yang menimbulkan risiko diplomatik sekaligus politis. Solidaritas Spanyol Gaza, dengan semua kompleksitasnya, memaksa kita bertanya: apakah negara kita siap menerjemahkan simpati menjadi tindakan nyata, atau tetap terjebak dalam kabut retorika yang nyaman?
Kebijakan ini juga menantang kita untuk merenungkan konsep moralitas dalam diplomasi. Dunia internasional seringkali mengedepankan pragmatisme, melihat untung-rugi, dan menghitung risiko alih-alih menimbang benar-salah. Tapi tindakan Spanyol membuktikan bahwa prinsip bisa dan harus diterapkan, meski biaya politiknya tinggi. Solidaritas Spanyol Gaza adalah pengingat bahwa kadang, keberanian moral lebih berharga daripada kesepakatan yang aman namun kosong.
Dalam perspektif kemanusiaan, langkah Spanyol adalah kombinasi antara tekanan dan bantuan. Dengan menambah €10 juta untuk UNRWA dan €150 juta untuk bantuan kemanusiaan pada 2026, pemerintah Spanyol menunjukkan bahwa solidaritas bukan hanya tentang melawan yang salah, tapi juga menyelamatkan yang menderita. Ini adalah pengakuan sederhana namun mendalam: rakyat Palestina, yang hidup di tengah reruntuhan, tetap menjadi pusat perhatian, bukan sekadar pion politik.
Sekalipun tindakan ini belum menghentikan serangan, pesan moral yang dikirim jelas. Solidaritas Spanyol Gaza mengingatkan kita bahwa sejarah akan menilai sikap negara, bukan sekadar hasil diplomasi instan. Seperti guru yang menekankan etika kepada murid, Spanyol menegaskan prinsip kemanusiaan di tengah kekacauan perang. Sikap ini bukan untuk applause, tapi untuk integritas. Dalam ketegangan antara moral dan politik, Spanyol menempatkan diri di sisi yang benar.
Kita juga tak bisa melewatkan aspek reflektif: solidaritas yang nyata memerlukan keberanian rakyat. Kesadaran masyarakat Spanyol yang mendukung langkah pemerintah, keberanian legislatif yang menegakkan sanksi, dan kepedulian sosial yang memberi bantuan—semua unsur ini membentuk harmoni antara kata dan aksi. Solidaritas Spanyol Gaza, oleh karena itu, bukan fenomena tunggal, tapi hasil sinergi antara pemerintah dan warga yang peduli.
Akhirnya, tindakan Spanyol adalah contoh yang memaksa kita berpikir ulang tentang arti solidaritas internasional. Ia menantang dunia untuk menyadari bahwa membela kemanusiaan bukan sekadar slogan, tapi rangkaian keputusan konkret yang memerlukan keberanian, logika moral, dan keteguhan. Solidaritas Spanyol Gaza menjadi catatan sejarah yang berkata, di tengah gelapnya konflik, masih ada negara yang memilih berdiri di sisi yang benar—bukan karena takut, tapi karena sadar akan tanggung jawab moral yang melekat pada kekuasaan.
Kita bisa menutup mata, kita bisa pura-pura tak peduli, atau kita bisa belajar dari langkah ini. Solidaritas Spanyol Gaza membuktikan: tindakan nyata jauh lebih bermakna daripada kata-kata manis, dan sejarah akan menghargai mereka yang berani mengambil sikap ketika yang lain tetap diam.