Opini
Solidaritas Retak: Inggris Tutup Pintu untuk Ukraina

Mula-mula, mereka datang dengan koper, luka, dan ketakutan. Beberapa membawa anak-anak yang hanya tahu kata “bom” dari televisi, kini belajar artinya dari atap rumah yang runtuh. Mereka disambut hangat di Bandara Heathrow—disorot kamera, diapit bendera biru-kuning dan pidato soal keberanian rakyat Ukraina. Tapi musim semi berlalu, musim dingin datang. Dan kini, satu per satu, mereka menerima surat dari Home Office: “Kami menilai Anda dapat kembali. Ukraina sudah aman.”
Begitu absurdnya, sampai rasanya kita sedang membaca satire Orwellian, bukan memo resmi pemerintah. Tapi ya, seperti itulah nasib solidaritas di abad ke-21—berumur pendek, gampang gugur di hadapan politik dalam negeri dan grafik elektabilitas.
Inggris, negeri yang dulu konon menjadi pelindung hak asasi dan mercusuar demokrasi Eropa, kini bersembunyi di balik kalimat birokratis yang dingin: relokasi internal dimungkinkan, infrastruktur sudah berjalan, silakan kembali ke Kyiv atau Lviv. Mereka bicara seolah Ukraina itu kota liburan musim panas, bukan negara yang sebagian wilayahnya masih diguyur misil setiap minggu. Salah satu pemohon suaka bahkan ditolak dengan alasan bisa “pindah ke wilayah lain”, padahal kota asalnya sudah rata tanah.
Pertanyaannya sederhana: jika memang aman, kenapa Inggris masih mengirimkan bantuan militer dan peralatan perang senilai miliaran pound ke Ukraina? Mengapa para diplomatnya masih berkicau soal agresi Rusia? Tapi ketika seorang ibu dari Nikopol—kota yang diluluhlantakkan—memohon perlindungan, jawabannya justru: “Silakan kembali, mungkin Anda bisa menghubungi UNHCR.”
Apa bedanya seorang warga Ukraina yang menahan dingin di parit Donetsk dengan yang menahan napas membaca surat penolakan di London? Yang satu menghadapi kematian dengan granat, yang lain dengan ketidakpastian hukum. Sama-sama diabaikan oleh negara.
Sementara itu, di seberang Selat, negara-negara Uni Eropa mulai berdeham tak nyaman. Bagaimana tidak? Ketika Inggris mulai menutup pintu secara halus—menolak klaim suaka atas nama “aman secara umum”—arus pengungsi bisa jadi berbelok ke Jerman, Polandia, Belanda, atau bahkan Swedia yang sudah kelelahan. Sekali lagi, Eropa harus menanggung beban moral yang dibuang dengan rapi oleh sang bekas anggota keluarga.
Ironi lainnya adalah Inggris bukan tidak menerima pengungsi—oh tidak, mereka pernah menerima lebih dari 300.000 warga Ukraina, bahkan sempat dielu-elukan sebagai penyelamat. Tapi ketika visa 18 bulan itu mendekati akhir masa berlaku, wajah sejatinya mulai tampak. Skema Homes for Ukraine berubah jadi Hopes Deferred for Ukrainians. Mereka yang sudah mulai hidup, belajar, bekerja, bahkan punya anak di Inggris kini menggantung di jurang hukum. Belum pulang, tapi juga tak diterima tinggal.
Halyna Semchak, pengacara imigrasi dari Sterling Law, menyebut ini sebagai “tren yang mengkhawatirkan.” Tapi sesungguhnya, ini bukan tren. Ini pola. Pola di mana negara menganggap empati sebagai barang mewah yang hanya pantas ditunjukkan saat konferensi pers. Di balik senyum diplomat dan pidato di parlemen, keputusan-keputusan kejam diserahkan kepada lembar-lembar surat resmi yang menyebut seseorang “tidak memenuhi ambang perlindungan”.
Lebih menyakitkan lagi, argumen pemerintah bahwa “setiap klaim dinilai secara individual” adalah bentuk sinisme paling keji dalam kamus modern politik. Sebab kenyataannya, sejak Januari, setelah pedoman kebijakan baru dikeluarkan oleh Home Office, semakin banyak klaim yang ditolak. Bukan karena Ukraina aman, tapi karena Inggris sedang mencari cara elegan untuk mencuci tangannya.
Pernahkah mereka membayangkan menjadi seorang anak Ukraina berusia lima tahun yang kini lebih fasih berbahasa Inggris daripada Ukraina, tapi harus dipaksa kembali ke negara yang belum pernah ia kenali kecuali lewat kenangan trauma? Atau seorang ayah yang tahu, jika dia kembali ke Odesa, bukan sekolah yang menanti, melainkan surat panggilan wajib militer?
Tapi tentu, semua itu bisa dikesampingkan jika pemerintah harus menghadapi tekanan politik menjelang pemilu. Pengungsi bukanlah pemilih. Dan suara-suara mereka tak terdengar di TPS. Jadi, kalau bisa menekan angka migrasi sambil tetap terlihat “peduli” di media, mengapa tidak?
Persoalan ini bukan hanya tentang Ukraina. Ini tentang arah moral Eropa hari ini. Ketika satu negara mulai melepaskan tanggung jawabnya, yang lain harus menimbang: apakah akan menampung lebih banyak, atau ikut-ikutan menutup pintu. Jika tren ini menyebar, jangan kaget bila kelak, bendera biru-kuning hanya tersisa sebagai hiasan akun media sosial, tanpa makna di dunia nyata.
Dan ya, inilah bentuk baru pengkhianatan dalam dunia modern: bukan dengan peluru, bukan dengan propaganda, tapi dengan membiarkan mereka yang butuh perlindungan merasa tidak diinginkan, tidak layak, tidak penting.
Kita hidup di zaman di mana dukungan militer bisa mengalir tanpa jeda, tapi dukungan untuk seorang anak agar bisa melanjutkan sekolah harus diperiksa dengan mikroskop legal. Zaman di mana bom dikirim lebih cepat daripada visa perpanjangan. Dan solidaritas, yang dulu menjadi kata sakral di Eropa, kini tampaknya tengah pensiun dini.
Tapi mungkin kita terlalu banyak berharap dari sebuah negara yang telah mengubah Brexit dari keputusan ekonomi menjadi doktrin isolasionisme. Inggris tidak sedang meninggalkan Ukraina sepenuhnya—hanya saja, ia memilih untuk tidak ikut pusing dengan rakyatnya. Biarlah Eropa Daratan yang mengurus reruntuhan. Inggris sudah merasa cukup berkontribusi… dengan pidato.
Pada akhirnya, ini bukan tentang siapa yang paling banyak memberi bantuan, tapi siapa yang bersedia berdiri bersama ketika kamera sudah mati dan dunia sudah lupa. Dan sejauh ini, Inggris tampaknya lebih suka berdiri jauh-jauh, sambil melambaikan tangan dari kejauhan, menyebutnya sebagai “kebijakan bijak”. Kita menyebutnya sesuatu yang lain: pengabaian yang dibungkus dalam bahasa sopan.