Opini
Solidaritas Palestina Dibungkam: Cermin Politik Inggris

Di tengah hiruk-pikuk ibukota Inggris, lebih dari dua ratus orang tiba-tiba menghilang ke balik jeruji, bukan karena mereka penjahat berbahaya, melainkan karena mereka mengangkat suara lantang demi keadilan di Palestina. Di taman kecil bernama Parliament Square, tempat di mana kata-kata seharusnya bebas bergaung, puluhan hingga ratusan orang berkumpul membawa pesan damai dan solidaritas. Namun, bukan tepuk tangan atau dukungan yang mereka dapat, melainkan penangkapan massal. Ironisnya, ini bukan cerita fiksi, melainkan kenyataan pahit yang menampar wajah demokrasi modern Inggris.
Kita kerap mendengar bahwa Inggris adalah “rumah demokrasi,” tempat di mana kebebasan berekspresi dan hak asasi dijunjung tinggi. Tapi bagaimana mungkin kebebasan itu bertahan ketika orang-orang yang hanya membawa kertas bertuliskan dukungan Palestina harus menghadapi jeruji besi? Lebih dari 200 demonstran ditangkap hanya karena menyuarakan penolakan mereka terhadap apa yang mereka sebut genosida. Namun anehnya, pejabat pemerintah bersikeras bahwa ini bukan soal membungkam protes Palestina, melainkan menindak sebuah organisasi yang katanya “teroris.” Bukankah ini cara klasik menutupi mata dan mulut publik yang berani bicara?
Ada yang menarik dari wajah-wajah demonstran itu: mereka bukan gerombolan radikal atau teroris dengan bom di tangan, melainkan sebagian lansia yang dengan tenang menolak melihat penderitaan jutaan orang di layar televisi mereka. Seorang perempuan yang tengah digiring polisi berkata, “Kalian semua punya keluarga, kalian menangkap orang yang salah.” Betapa sederhana dan manusiawinya kalimat itu, namun di mata aparat yang sibuk menegakkan perintah, itu adalah ancaman yang harus disingkirkan. Jadi, apakah kata “teroris” sudah dipakai terlalu longgar? Tentu saja.
Pemerintah Inggris, dengan segala klaimnya soal kebebasan berpendapat, ternyata cukup lihai mengaduk-aduk definisi terorisme agar bisa merangsek ke ruang protes damai. Label “teroris” bukan lagi cerminan tindakan kekerasan yang nyata, melainkan tameng untuk melumpuhkan perlawanan moral. Dalam konteks ini, kita bisa melihat bagaimana kekuasaan berupaya menyingkirkan suara yang mengusik kenyamanan politiknya. Sebuah demokrasi yang memenjarakan warganya hanya karena membawa kertas protes patut dipertanyakan kredibilitasnya.
Ada yang lebih ironis: di sisi lain, tentara Israel yang menjalankan operasi militer di Gaza — dengan konsekuensi korban sipil yang masif — berjalan bebas di negara-negara Barat, tanpa hambatan berarti. Mereka bahkan mendapat sambutan hangat di beberapa tempat. Ini membuat kita bertanya, jika ini definisi peradaban Barat, apakah kita sedang kembali ke era kegelapan yang pernah mereka alami? Suatu era di mana kekuasaan membungkam rakyatnya, dan ketidakadilan membalut langit dengan kelabu tebal.
Melihat fenomena ini dari dekat, kita harus menyadari bahwa penangkapan demonstran di Inggris bukan semata-mata soal keamanan atau hukum, melainkan sebuah pertarungan sengit antara kekuatan politik dan suara rakyat kecil yang berani menuntut keadilan. Pemerintah Inggris tampaknya lebih memilih menjaga aliansi strategis dan kepentingan geopolitik daripada menghormati suara moral rakyatnya sendiri. Bukankah ini sebuah pengkhianatan terhadap prinsip demokrasi?
Yang lebih menyayat hati adalah bagaimana media dan platform sosial turut memainkan peran dalam membungkam protes ini. Banyak suara yang mencoba menjelaskan penderitaan di Gaza dan solidaritas terhadap Palestina disaring atau bahkan dibisukan. Ini bukan hanya soal kebebasan individu, tapi soal bagaimana narasi resmi dibangun demi mempertahankan status quo. Sebuah narasi yang seringkali memutarbalikkan fakta dan menempatkan korban sebagai tersangka, sementara pelaku kekerasan berjalan bebas dan tanpa cela.
Maka jangan heran jika demonstrasi yang digelar penuh damai dan santai pun berakhir dengan puluhan orang ditangkap. Ada semacam ketakutan berlebihan terhadap kekuatan suara rakyat yang jika dibiarkan tumbuh, bisa menggoyahkan fondasi politik yang rapuh. Demonstran yang membawa tulisan “Jews Against Genocide” atau lansia yang hanya memegang kertas protes bukanlah ancaman nyata, tapi mereka jelas ancaman bagi narasi pemerintah dan kekuasaan yang ingin terus berkuasa tanpa suara protes.
Kita sebagai pengamat dan warga dunia harus membuka mata lebih lebar, bahwa di balik penangkapan massal ini ada usaha sistemik untuk menyingkirkan moralitas dari panggung politik. Solidaritas yang tulus terhadap kemanusiaan disamakan dengan ancaman keamanan, padahal itu adalah bentuk kemanusiaan paling dasar. Ketika sebuah negara demokrasi harus memenjarakan rakyatnya demi menjaga citra aliansi militer, kita harus bertanya: demokrasi ini untuk siapa? Dan keadilan ini milik siapa?
Ketika demonstran ditangkap dan dilarang mengangkat suara, mereka tak hanya kehilangan kebebasan, tapi juga harapan bahwa suara mereka akan didengar. Padahal suara-suara itu adalah refleksi nurani banyak orang yang muak melihat penderitaan tak berujung di Gaza, yang rindu akan dunia yang lebih adil dan manusiawi. Ada ironi tajam di sini: negara yang mengaku pelindung hak asasi manusia malah menjadi pengekang kebebasan yang paling mendasar.
Dalam konteks lokal kita, ini juga menjadi cermin bagaimana negara-negara besar memperlakukan perlawanan rakyat yang sah di mana pun, termasuk di Timur Tengah. Seolah suara rakyat kecil dianggap remeh, sementara kekuatan militer dan politik yang besar dibiarkan beroperasi tanpa kontrol yang bermoral. Sebuah pelajaran pahit yang harus terus diingat agar kita tak terbuai dengan janji-janji demokrasi semu.
Jadi, ketika kita melihat berita tentang penangkapan demonstran pro-Palestina di Inggris, jangan hanya melihat angka dan fakta permukaan. Lihatlah makna yang lebih dalam: ini adalah pertarungan antara kekuasaan dan suara keadilan, antara narasi dominan dan suara rakyat yang berani berbeda. Jika kebebasan berpendapat boleh dibungkam di tanah demokrasi, lalu di mana lagi ruang bagi keadilan dan kemanusiaan?
Mari kita berpikir ulang: apakah kita rela hidup dalam demokrasi yang membungkam hati nurani? Apakah kita akan diam ketika solidaritas dibungkam, dan keadilan dipenjarakan? Jawaban itu ada di tangan kita semua, sebagai manusia yang masih percaya pada nilai kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan. Karena sejatinya, membungkam solidaritas berarti membungkam kemanusiaan itu sendiri.
Pingback: Lush Tutup Toko Seluruh Inggris Demi Bela Palestina
Pingback: Generasi Muda Inggris Bersolidaritas dengan Palestina