Opini
Solidaritas Jurnalis Sudah Mati?

Betapa sibuknya jurnalis kita, para pembawa pesan kebenaran, dalam dunia yang selalu bergerak. Berlarian ke sana kemari, berusaha menemukan berita terkini, menghadiri jumpa pers, dan menghadirkan informasi untuk publik yang haus akan kabar terbaru. Namun, ketika rekan mereka di Palestina tewas di lapangan, satu demi satu, mereka justru terlihat sibuk dalam kebisuannya.
Sebanyak 180 jurnalis Palestina terbunuh dalam setahun terakhir. Bukan angka yang kecil. Mereka, yang sama-sama memegang pena, yang menghadapi peluru demi liputan, jatuh tanpa sempat melihat rekan seprofesi mengutuk atau menuntut keadilan. Hebat sekali, mereka mengabaikan tragedi ini seolah kematian teman sejawat itu hanyalah kabar lalu yang tak berarti.
Kita bisa bayangkan, mungkin mereka berpikir, “Ah, itu jauh di Palestina, dan lagi pula ini zona konflik. Setiap hari pasti ada korban.” Ya, begitulah normalisasi. Mungkin juga takut disebut tendensius atau berpihak. Bukankah jurnalis harus “netral”?
Tapi apakah netralitas itu berarti apatis? Bukankah seharusnya profesi ini memiliki rasa solidaritas? Ketika sesama jurnalis dibungkam secara brutal, seharusnya ada sesuatu yang menggugah, bukan? Apakah mereka begitu tenang membiarkan kebebasan pers di Palestina terhimpit tanpa ada perlawanan dari kita yang punya kebebasan di sini? Mungkin mereka berpikir, “Biarlah, kami punya banyak pekerjaan di negeri ini.” Dan dengan begitu, terjadilah keheningan.
Inilah saatnya kita memperdebatkan apa yang sebenarnya terjadi dengan harga diri kita sebagai jurnalis. Ketika satu jurnalis tewas, seharusnya itu menjadi tamparan bagi kita semua. Seperti pepatah yang menyatakan, “Ketika seekor burung terbang terlalu tinggi dan melupakan sarangnya, ia bisa saja jatuh ketika angin menerpa.” Di mana kita saat ini? Apakah kita masih ingat rumah kita, atau kita terlalu asyik terbang di atas awan kenyamanan hingga lupa rekan-rekan kita di luar sana sedang berjuang dalam kesulitan?
Mari kita akui, solidaritas kita sudah hilang. Kita hanya berbicara solidaritas ketika itu nyaman. Ketika rekan seprofesi jatuh, kita mengalihkan pandangan seolah itu bukan urusan kita. Kenyamanan meliput tanpa ancaman mungkin membuat kita melupakan bahwa ada mereka di Palestina yang melakukannya dengan ancaman nyata setiap detiknya.
Mungkin sudah waktunya kita menundukkan kepala dan jujur bertanya: Di mana harga diri kita sebagai jurnalis, dan kapan kita akan bangun dari kebisuan yang memalukan ini? Solidaritas jurnalis tidak seharusnya mati; sebaliknya, ia harus bangkit dan berteriak melawan ketidakadilan, bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk semua yang berjuang demi kebenaran di seluruh dunia.