Connect with us

Opini

Soeharto Pahlawan? Glorifikasi Orde Baru Kembali?

Published

on

Jalanan desa berdebu tempat saya dibesarkan dihiasi spanduk pembangunan, wajah Soeharto tersenyum dari poster lusuh di balai desa, seolah menjamin masa depan cerah. Sebagai anak kelahiran 1970-an, saya menyaksikan Indonesia bertransformasi: sawah menghijau, Puskesmas berdiri, dan televisi hitam-putih masuk rumah. Namun, di balik kemajuan, ada ketakutan—cerita tentang orang hilang, pers yang dibungkam, dan kroni yang kaya raya. Kini, usulan Kementerian Sosial menobatkan Soeharto sebagai pahlawan nasional untuk 2025 membuat saya gelisah. Gelar ini bukan sekadar penghormatan, tetapi risiko memutihkan luka sejarah yang saya rasakan.

Saya masih ingat kebanggaan desa kami ketika Indonesia swasembada pangan pada 1984. Program Bimas dan Linmas Soeharto meningkatkan produksi padi dari 19,7 juta ton pada 1970 menjadi 38,1 juta ton pada 1984, menurut Badan Pusat Statistik. SD Inpres dan Puskesmas menjamur, membawa pendidikan dan kesehatan ke pelosok. Program keluarga berencana menekan laju penduduk dari 2,3% menjadi 1,8% pada 1990-an, dipuji PBB. Partai Golkar menyebut jasa ini, ditambah stabilisasi pasca-Gestapu 1965, menjadikan Soeharto layak pahlawan.

Namun, sebagai remaja di era Orde Baru, saya merasakan ketakutan yang merayap. Komnas HAM mencatat 12 pelanggaran HAM berat di era Soeharto, termasuk penculikan aktivis 1997-1998, pembantaian di Aceh, Papua, dan Timor Timur. Tragedi Trisakti 1998, yang menewaskan empat mahasiswa, masih menghantui saya. Pers dibungkam, demonstrasi dilarang, dan kebebasan berpendapat mati. Soeharto, sebagai panglima tertinggi, bertanggung jawab atas darah rakyat.

Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah noda lain yang saya saksikan. Di pasar desa, kami mendengar bisik-bisik tentang kroni Soeharto yang menguasai proyek besar. TAP MPR No. 11/1998 menyebutnya terlibat KKN, diperkuat status tersangkanya dalam kasus korupsi 419 juta dolar AS terkait tujuh yayasan. Kejaksaan Agung menyatakan proses hukum terhenti karena kesehatannya, bukan kurang bukti. Transparency International memperkirakan aset keluarga Soeharto mencapai miliaran dolar. Nepotisme terlihat dari jabatan strategis kerabatnya. Integritas pahlawan seharusnya tak ternoda.

Reformasi 1998 adalah puncak kemarahan yang saya alami sebagai pemuda. Saya menonton televisi, melihat mahasiswa menghadapi gas air mata, mendengar kerusuhan yang merenggut nyawa. Petisi penolakan di Change.org, ditandatangani lebih dari 4.000 orang, mencerminkan perasaan saya: Soeharto adalah simbol otoritarianisme yang digulingkan rakyat. Hanya 13 pendukung usulan pahlawan. Reformasi lahir dari darah mahasiswa Trisakti dan korban Semanggi, menuntut demokrasi dan keadilan. Menobatkan Soeharto sebagai pahlawan terasa seperti pengkhianatan terhadap perjuangan itu.

UU No. 20/2009 mensyaratkan pahlawan memiliki integritas, keteladanan, dan jasa besar. Soeharto berjasa: transmigrasi membuka lahan, pembangunan jalan dan listrik mengubah desa saya. Namun, status tersangka KKN dan pelanggaran HAM bertentangan dengan syarat integritas. Saya mengagumi Gus Dur, juga diusulkan untuk 2025, karena pluralismenya tanpa catatan HAM berat. Di mata saya, Gus Dur lebih mencerminkan teladan pahlawan. Mengapa tidak memprioritaskan tokoh yang selaras dengan nilai reformasi yang saya junjung?

Pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR pada September 2024 oleh Golkar membuat saya curiga. Proses sepekan tanpa partisipasi publik, menurut Usman Hamid dari Amnesti Internasional, cacat hukum. TAP MPR adalah putusan paripurna yang mencerminkan suara rakyat, bukan dokumen sembarangan. Pencabutan ini seolah memutihkan KKN, membuka jalan usulan pahlawan tanpa menyelesaikan luka sejarah. Saya khawatir, ini manuver politik untuk menulis ulang Orde Baru, mengaburkan represi yang saya alami sebagai saksi hidup.

Saya masih ingat bisik-bisik di warung kopi tentang keluarga Soeharto yang menguasai bisnis, dari minyak hingga telekomunikasi. Laporan Bank Dunia 1998 menyebutkan 30% proyek pemerintah dikuasai kroni Soeharto. Ini bukan sekadar gosip desa, tetapi fakta yang memperkuat TAP MPR 1998. Memberikan gelar pahlawan berarti mengabaikan KKN yang saya saksikan, yang membuat rakyat kecil seperti keluarga saya merasa tak berdaya. Pahlawan seharusnya menginspirasi keadilan, bukan mengingatkan pada ketimpangan.

Mengangkat Soeharto juga tidak adil bagi pahlawan lain. Saya kagum pada Cut Nyak Dhien, yang berjuang tanpa pamrih demi kemerdekaan. Soedirman memimpin gerilya dengan integritas tinggi. Menyamakan mereka dengan Soeharto, yang memerintah 32 tahun dengan catatan KKN dan HAM, merendahkan kepahlawanan. Kementerian Sosial mencatat 200 pahlawan nasional hingga 2023. Jika Soeharto disahkan, standar moral turun, membingungkan generasi muda tentang makna pahlawan sejati. Ini bukan warisan yang saya inginkan.

Saya tak menyangkal jasa Soeharto. Saya melihat jalan aspal menggantikan jalan tanah, listrik menyala di desa, dan ekonomi tumbuh di era 1980-an. Data Bank Dunia mencatat pertumbuhan PDB Indonesia rata-rata 6,5% per tahun pada 1970-1990. Namun, gelar pahlawan bukan sekadar soal jasa, melainkan simbol moral tertinggi. Memberikannya kepada Soeharto menormalkan pelanggaran HAM dan KKN, melemahkan reformasi yang saya dukung sebagai pemuda yang menyaksikan kerusuhan 1998.

Haidar Nasir dari Muhammadiyah mengusulkan dialog rekonsiliatif, tetapi saya sependapat dengan Usman Hamid: keadilan hukum harus mendahului. Kasus HAM berat, seperti yang diakui Presiden Jokowi pada 2023, perlu diselesaikan melalui pengadilan atau komisi kebenaran. Tanpa itu, rekonsiliasi hanyalah topeng. Saya ingin anak cucu mewarisi sejarah jujur, bukan narasi yang memutihkan luka. Jasa Soeharto dapat diakui dalam buku pelajaran, bukan gelar pahlawan yang menyiratkan keteladanan absolut.

Di desa saya dulu, kami belajar menghormati pemimpin, tetapi juga mempertanyakan ketidakadilan. Soeharto adalah pemimpin dengan visi besar, tetapi kekuasaannya ternoda darah dan korupsi. Saya memilih Gus Dur atau Bisri Syamsuri sebagai pahlawan, karena mereka mencerminkan integritas yang saya junjung. Sebagai anak 1970-an, saya ingin Indonesia mengenang Soeharto sebagai pelajaran sejarah—kompleks, penuh jasa, namun penuh dosa—bukan sebagai pahlawan yang mengaburkan kebenaran reformasi.

Sumber:

  1. Usul Presiden ke-2 Soeharto Diberi Gelar Pahlawan Nasional, Apa Pertimbangannya? (https://www.youtube.com/watch?v=h5Y1dbTUml8)
  2. Polemik Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional (https://www.youtube.com/watch?v=XMgMres6k-o)
  3. Pantaskah Soeharto Bergelar Pahlawan Nasional? | Political Show (https://www.youtube.com/live/gxaGHYiMITQ)

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *