Opini
Soal Ukraina, Trump Putar Haluan dan Tinggalkan Kiev

Amerika Serikat hentikan penjualan senjata ke Ukraina. Pernyataan itu meluncur dari seorang anggota parlemen Ukraina, Roman Kostenko, seolah menandai babak baru dalam drama tragis perang yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun. Kali ini, aktornya bukan hanya Presiden Volodymyr Zelensky yang berjuang mempertahankan panggungnya, tapi juga Donald Trump yang perlahan menggenggam kembali kendali atas naskah besar ini.
Seperti biasa, tidak ada konfirmasi langsung dari Washington. Tapi jika pernyataan Kostenko benar, ini seperti tamparan keras bagi Zelensky yang selama ini menggantungkan nasibnya pada bantuan militer AS. Tanpa Washington, Kiev hanyalah seorang petinju yang sudah babak belur, dipaksa bertarung di ring tanpa sarung tangan, sementara lawannya tetap bersenjata lengkap.
Trump, dalam gayanya yang khas, tidak membuang waktu untuk mengkritik Zelensky. Dia menyebut pemimpin Ukraina itu gagal mengelola perang, menyalahgunakan bantuan AS, dan bahkan menuntut pembayaran kembali atas bantuan yang telah diberikan. Lebih dari 300 miliar dolar, katanya. Dan sebagai gantinya? Trump ingin ‘setengah triliun dolar’ dalam bentuk rare earth dari Ukraina. Seperti mafia menagih utang, tapi dengan bumbu geopolitik.
Tapi tentu saja, Zelensky tidak tinggal diam. Dia menuduh Trump ‘hidup dalam ruang disinformasi’ yang katanya diciptakan oleh Rusia. Sebuah pernyataan klise yang terdengar lebih seperti ratapan daripada pembelaan. Namun, jika benar AS mulai menarik diri, apakah ini awal dari akhir bagi Ukraina? Ataukah ini hanya babak baru dalam sandiwara perang yang penuh intrik ini?
Ukraina kini berusaha membeli senjata secara langsung. Tidak lagi menunggu kemurahan hati dari Washington. Masalahnya, uang dari mana? Ekonominya sudah lumpuh, infrastrukturnya hancur, dan bantuan Barat yang selama ini menopang mereka mulai tampak seperti janji kosong. Tanpa aliran senjata, perang ini hanya akan berakhir dengan satu hasil: Ukraina kehilangan lebih banyak wilayah dan akhirnya menyerah.
Di sisi lain, ada pertemuan diam-diam di Arab Saudi antara Washington dan Moskow. Tanpa Ukraina. Seolah-olah perang ini bukan urusan mereka lagi, atau lebih tepatnya, sudah menjadi urusan yang lebih besar dari sekadar nasib Kiev. Mungkin ini hanya pertemuan biasa, atau mungkin ini tanda bahwa AS mulai melihat Rusia sebagai mitra negosiasi ketimbang musuh.
Jika benar demikian, maka ini adalah ironi terbesar bagi Zelensky. Selama ini, dia menjual narasi bahwa Ukraina adalah benteng terakhir demokrasi melawan otoritarianisme Rusia. Tapi sekarang, sang ‘pelindung demokrasi’ mulai berbicara dengan lawan secara langsung. Dan seperti nasib kebanyakan pion dalam permainan catur global, Ukraina mungkin hanya akan menjadi alat tawar-menawar.
Bagi Trump, keputusan ini adalah langkah strategis yang brilian. Dengan menekan Ukraina, dia bisa memperlihatkan kepada para pemilihnya bahwa dia bukan politisi yang menghambur-hamburkan uang pajak rakyat untuk perang yang tak berujung. Dia bisa membangun citra sebagai negosiator ulung yang bisa ‘membuat kesepakatan’ dengan Rusia. Dan yang paling penting, dia bisa menegaskan bahwa Biden gagal dalam kebijakan luar negerinya.
Jadi, apakah ini titik balik bagi Ukraina? Jika AS benar-benar berhenti memasok senjata, jawabannya hampir pasti ya. Tanpa suplai persenjataan, Ukraina tidak bisa bertahan lama. Eropa mungkin akan mencoba menambal lubang yang ditinggalkan AS, tapi mereka tidak memiliki sumber daya sebesar Washington. Dan pada akhirnya, Zelensky akan semakin terdesak ke sudut yang sulit.
Perang ini dimulai dengan janji besar dari Barat: Ukraina akan didukung sampai menang. Tapi sekarang, satu per satu dukungan itu mulai memudar. Washington mulai kehilangan minat, Eropa sudah kelelahan, dan Ukraina masih terperangkap dalam ilusi bahwa mereka bisa menang. Dan jika benar AS mulai menarik diri, maka satu-satunya yang tersisa bagi Zelensky adalah mencari cara untuk keluar dengan wajah yang masih bisa diselamatkan.
Trump telah balik badan. Washington tidak lagi menari dalam irama yang sama dengan Kiev. Dan untuk pertama kalinya sejak perang ini dimulai, Zelensky mungkin menyadari bahwa dia sendirian. Atau lebih tepatnya, dia hanyalah pion dalam permainan yang lebih besar. Pion yang sudah mulai kehilangan nilai strategisnya.