Opini
Smotrich dan Ilusi Menduduki Gaza

Bezalel Smotrich, Menteri Keuangan Israel, tampaknya masih terjebak dalam ilusi besar: menduduki Gaza. Dengan keyakinan penuh bahwa itulah satu-satunya cara untuk mengalahkan Hamas, Smotrich siap menggulingkan pemerintah jika mereka tidak melanjutkan invasi ke Gaza. Padahal, setelah 15 bulan berperang, tak ada satu pun tujuan yang tercapai. Tawanan masih tertahan, Hamas tak juga tumbang, dan Gaza hanya menjadi lautan reruntuhan. Namun, untuk Smotrich, inilah cara terbaik untuk “menang.” Entah siapa yang lebih terperangkap dalam ilusi, dia atau dunia yang masih mengamati keputusannya.
Sementara dunia melihat kehancuran dan ketidakpastian, Smotrich malah menambah api dengan pernyataan yang memicu kontroversi: Israel harus menduduki Gaza dan menerapkan pemerintahan militer sementara. Bagi dia, itu adalah satu-satunya cara yang efektif untuk memusnahkan Hamas. Tetapi, apa yang akan terjadi setelah Gaza diduduki? Apakah penumpasan Hamas akan terjadi dalam hitungan bulan, atau justru akan menciptakan krisis yang lebih dalam? Pertanyaan ini tampaknya tidak pernah terlintas dalam pikiran Smotrich, yang seolah-olah terbuai dengan angan-angan kemenangan yang tak pernah datang.
Ironisnya, Smotrich tampaknya mengabaikan kenyataan yang dihadapi mayoritas masyarakat Israel. Gencatan senjata dan pertukaran tawanan bukan hanya kesepakatan yang disetujui pemerintah, tetapi juga merupakan keinginan besar rakyat yang lelah dengan perang yang tak berujung. Namun, Smotrich, yang bertanggung jawab atas keuangan negara, lebih memilih menjadi pengobar api yang siap menyulut lebih banyak pertumpahan darah. Alih-alih menyelesaikan krisis ekonomi dan sosial yang ada, ia justru memilih untuk memperpanjang konflik dengan pendekatan yang sudah terbukti gagal.
Tak jauh berbeda dengan Smotrich, Itamar Ben-Gvir, Menteri Keamanan Nasional, juga menggulirkan ancaman politiknya. Setelah kesepakatan gencatan senjata tercapai, Ben-Gvir menarik partainya dari koalisi, menambah keretakan di pemerintahan yang sudah rapuh. Keduanya tampaknya lebih tertarik pada kemenangan politik bagi kelompok sayap kanan mereka daripada memikirkan nasib rakyat Gaza yang semakin menderita. Bahkan dengan koalisi yang kini hanya tersisa 62 kursi di Knesset, mereka tetap bersikukuh melawan arus, seakan-akan kemenangan militer dan politik lebih penting daripada perdamaian.
Namun, di balik semua konflik ini, ada satu hal yang patut dipertanyakan: apakah menduduki Gaza benar-benar akan memberikan kemenangan yang dicita-citakan? Setelah 15 bulan penuh darah dan air mata, Israel bahkan belum berhasil mencapai tujuan utamanya. Tawanan masih ada di Gaza, Hamas masih ada di sana, dan lebih dari 47.000 nyawa telah melayang. Apa yang akan berubah jika Israel kembali mengirimkan pasukan ke Gaza? Tidak ada jaminan bahwa hal itu akan mengubah situasi menjadi lebih baik. Yang ada justru risiko lebih banyak korban jiwa dan semakin dalamnya ketegangan internasional.
Smotrich seakan-akan lupa bahwa gencatan senjata dan pertukaran tawanan adalah kesempatan untuk menurunkan ketegangan, bukan untuk melanjutkan perang yang tidak membawa solusi apapun. Sebagai seorang menteri keuangan, ia mestinya berfokus pada penyelesaian masalah domestik dan bukan memperpanjang konflik yang semakin melelahkan rakyatnya. Namun, dalam dunia politik ekstrem yang semakin mendominasi, ia malah lebih memilih untuk memperburuk situasi dengan membangun ilusi kemenangan yang tidak pernah ada.
Mungkin yang lebih mencolok dari semuanya adalah ketidaktahuan atau ketidakpedulian para pemimpin ini terhadap kehendak mayoritas rakyat Israel. Mereka memilih untuk mendukung kebijakan militer yang hanya akan menciptakan lebih banyak kerusakan, sementara mayoritas publik mendambakan perdamaian. Ini bukan hanya soal menduduki Gaza, tapi tentang bagaimana mereka memandang krisis ini: sebagai medan pertempuran politik, bukan kesempatan untuk menumbuhkan perdamaian.
Pada akhirnya, Smotrich dan para politisi lainnya terjebak dalam ilusi mereka sendiri. Mereka terus melanjutkan permainan ini, tanpa memperhitungkan kenyataan yang ada di depan mata. Gencatan senjata yang mereka anggap sebagai “kesalahan besar” bisa jadi justru satu-satunya cara untuk memulai proses perdamaian yang nyata. Dengan terus terjebak dalam konflik yang tak berujung, mereka mungkin hanya akan menghancurkan lebih banyak kehidupan dan harapan.
Dalam dunia yang penuh dengan ketegangan ini, Smotrich dan koleganya harusnya belajar untuk melihat kenyataan: ilusi mereka tentang menduduki Gaza hanya akan membawa lebih banyak kehancuran. Kemenangan yang mereka cari bukanlah melalui kekerasan, tetapi melalui kebijakan yang bijak dan perhatian terhadap kemanusiaan. Jika mereka terus mempertahankan ilusi ini, kita hanya bisa berharap bahwa sejarah tidak akan mencatat mereka sebagai pemimpin yang memperburuk segala sesuatunya.