Opini
Skandal Senjata Inggris: Hipokrisi Berdarah di Gaza

Janji politik yang gemerlap dan diplomasi yang licin kini tak cukup menutupi noda skandal yang menampar wajah moralitas Inggris. Ketika pemerintah mengklaim telah menghentikan ekspor senjata ke Israel, data justru membongkar kebohongan itu secara telanjang. Laporan investigasi The Guardian, yang bersumber dari Palestinian Youth Movement, Progressive International, dan Workers for a Free Palestine, menyuguhkan kenyataan pahit: 14 pengiriman militer, termasuk 8.630 bom dan rudal, tetap dikirimkan dari Inggris ke Tel Aviv sejak Oktober 2023. Sementara Menteri Luar Negeri David Lammy bersikeras bahwa ekspor itu “defensif”—hanya berupa helm dan kacamata—data bea cukai Israel justru mengolok-olok klaim tersebut. Ini bukan sekadar kebohongan yang terbongkar; ini adalah kemunafikan yang diselimuti darah, tarian politik yang membuat siapa pun yang waras terjebak antara geli yang getir dan amarah yang membara.
Parlemen Inggris, dengan segala kemegahannya, sering jadi panggung pidato tentang hukum internasional dan komitmen terhadap perdamaian. Tapi di balik panggung itu, di hanggar-hanggar tersembunyi, bom, granat, dan komponen F-35 dikemas rapi menuju Ben Gurion Airport. Salah satu pengiriman bahkan membawa 160.000 item militer ke Haifa. Ini bukan kesalahan birokrasi; ini keputusan politik yang disusun rapi dalam balutan jargon “keamanan nasional” dan “tanggung jawab NATO.” Ketika Gaza terkepung dan mencatat 52.653 korban jiwa serta 118.897 luka-luka hingga Mei 2025, Inggris masih saja menyuplai alat pembunuh. Dalam bahasa sederhana: ini bukan hanya hipokrisi; ini adalah kolusi berdarah. Seperti ungkapan jenaka getir di warung kopi, “main belakang level dewa.”
Laporan ini bukan sekadar deretan angka; ini potret kontradiksi yang mencabik nurani. Inggris, anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan penandatangan Arms Trade Treaty, seharusnya melakukan penilaian risiko sebelum mengekspor senjata. Namun, dari 350 lisensi ekspor yang aktif, hanya 30 yang ditangguhkan per September 2024. Sisanya? Tetap berlaku, termasuk untuk jet tempur F-35—senjata yang menjadi andalan Israel di Gaza. Pemerintah berdalih, “Itu hanya komponen untuk Lockheed Martin di AS.” Tapi data menunjukkan, suku cadang tersebut berakhir di Israel dan jadi bagian dari mesin perang yang menindas. Anggota parlemen Zarah Sultana menyebutnya tanpa basa-basi: “Pemerintah berbohong. Bukan helm dan kacamata, tapi ribuan amunisi!” Realitas yang ditampilkan seperti kisah fiksi buruk—yang justru nyata adanya.
Perusahaan Inggris, seperti RCV Engines, turut menyumbang dalam cerita horor ini. Mesinnya digunakan dalam drone APUS 25, yang dilaporkan menyerang warga sipil di Gaza. Dokter Nizam Mamode, yang pernah bertugas di sana, menyampaikan kesaksian getir di parlemen: anak-anak yang sudah terkapar tetap ditembak dari udara oleh quadcopter. “Saya sudah tergeletak, tapi drone itu datang dan menembak lagi,” begitu pengakuan salah satu korban. Komponen buatan Inggris, berujung pada luka-luka yang tak hanya fisik, tapi juga batin yang remuk. Organisasi Save the Children mengingatkan: “Akhiri keterlibatan dalam kekejaman.” Tapi pemerintah malah menyodorkan alasan lain: “Lisensi yang tersisa untuk keperluan sipil.” Pertanyaannya, sejak kapan bom dan rudal jadi barang sipil?
Dalam lanskap global, Inggris bukan satu-satunya yang bermain dalam pentas kemunafikan. Turki, misalnya, secara terbuka mengecam Israel, menyebutnya “negara teroris.” Namun, pelabuhan Mersin tetap sibuk melayani kapal pengangkut ke Tel Aviv. Tapi sorotan tetap jatuh ke Inggris, karena ironi di sini terasa lebih tajam. Negara yang gencar menyuarakan hukum internasional itu kini terlihat seperti aktor yang kehilangan skrip etika. Ketika Gaza masih dicekik blokade dan dalam 24 jam terakhir mencatat 38 kematian serta 145 luka-luka, senjata Inggris menjadi bagian dari rantai kekerasan yang melumat kehidupan. Seorang aktivis bahkan menyebutnya sebagai “noda penjahat perang.” Dan memang, sulit membantahnya.
Secara hukum internasional, tuduhan “bersekongkol dalam kejahatan perang” bukanlah histeria tanpa dasar. Konvensi Jenewa dan Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional menyebutkan bahwa pihak yang memasok senjata dengan pengetahuan bahwa senjata itu akan digunakan untuk kejahatan perang, dapat dianggap bersalah. Inggris paham hal ini. Karena itu sebagian lisensi ditangguhkan. Tapi mengapa sisanya tetap aktif? Mengapa bom dan komponen drone masih terus mengalir? Arms Trade Treaty mensyaratkan penghentian ekspor jika ada risiko pelanggaran hak asasi. Dan Gaza—dengan rumah sakit yang dihancurkan dan anak-anak kelaparan—adalah wajah dari risiko itu. Jika Mahkamah Internasional menyatakan Israel bersalah atas genosida, Inggris bukan tidak mungkin ikut terseret. Namun realitas politik menyatakan lain: keanggotaan NATO dan veto AS di PBB masih jadi tameng yang kokoh.
Dampak ke dalam negeri pun tak terbendung. Politisi seperti John McDonnell mulai angkat suara, mendesak pemerintah berhenti bersembunyi di balik dalih. “Jangan sampai senjata Inggris menjadi bagian dari rencana mengerikan Netanyahu,” katanya. Lebih dari dua lusin anggota parlemen mengirim surat terbuka kepada David Lammy, meminta transparansi dan keberanian moral. Tapi Lammy tetap bergeming, mengulang narasi klise: “F-35 adalah bagian penting dari komitmen NATO.” Ibaratnya, ini seperti orang jual pisau ke pembunuh, lalu berkilah, “Saya cuma pedagang alat dapur.” Publik Inggris pun mulai gerah. Apalagi setelah tahu, “komitmen untuk perdamaian” ternyata hanyalah mantera kosong. Di Jakarta, komentar di warung kopi terdengar lebih jujur: “Politik mah gitu, omong doang.”
Ironi terbesar muncul dari klaim “demi keamanan nasional.” Pemerintah berdalih tak bisa menghentikan ekspor F-35 karena itu bagian dari perjanjian NATO. Tapi siapa yang diserang? Terorisme atau warga sipil di Gaza? Dalih itu terdengar seperti pembenaran murahan dari pasangan yang tertangkap basah selingkuh dan berkata, “Saya cuma nganterin.” Di balik retorika “kepentingan strategis,” industri pertahanan seperti BAE Systems terus meraup untung. Meski angka ekspor ke Israel “hanya” 55 juta dolar pada 2022, ini tetap cuan yang menjanjikan. Dan sementara itu, Gaza dibanjiri darah, Inggris terus menimbang antara moralitas dan keuntungan. Yang terjadi bukan sekadar kemunafikan—ini adalah sinisme yang dingin, terkemas rapi dalam bahasa diplomasi.
Namun ada satu titik terang, atau setidaknya tekanan yang terus tumbuh. Aktivis di London hingga Jakarta bergerak, menggalang petisi, turun ke jalan, menekan parlemen. Save the Children menyerukan embargo senjata dan menyebut Inggris sebagai “sekutu kekejaman.” Di platform X, kritik terhadap pemerintahan Starmer kian deras. Di parlemen, suara Zarah Sultana jadi pengingat tajam: “Ini bukan soal helm, ini soal genosida!” Publik yang selama ini cenderung apatis mulai bertanya, “Jika senjata kita membunuh anak-anak, apa kita masih bisa tidur nyenyak?” Ini bukan pertanyaan retoris; ini adalah luka yang mulai terasa di hati banyak orang.
Dan narasi ini, sejatinya, bukan hanya tentang Inggris. Ini tentang bagaimana dunia modern menyulam kepentingan ekonomi dan politik dengan benang kemanusiaan yang sudah koyak. Di tengah dunia yang gemar menyamar dalam moralitas semu, kita dihadapkan pada pilihan: percaya dongeng kepatuhan hukum atau menantangnya dengan suara lantang. Inggris, dengan segala kekuatan dan status globalnya, kini menjadi cermin. Cermin yang memantulkan pertanyaan kepada kita semua: apakah kita akan diam dan membiarkan darah terus mengalir, ataukah kita akan bersuara, berteriak, dan menuntut dunia yang lebih jujur? Pilihan itu, seperti noda di tangan pemerintah Inggris, tak akan hilang hanya dengan diam.