Connect with us

Opini

Skandal Baru di Gaza: Saat Narasi Israel Mulai Tumbang

Published

on

Di siang yang terang, di sebuah kawasan bernama Khan Younis di selatan Gaza, seorang prajurit Israel berlari ketakutan. Tak ada tank yang menutup punggungnya, tak ada drone canggih yang memberinya peringatan, tak ada rekan yang menembakkan peluru perlindungan. Hanya ada tanah terbuka, kamera para pejuang Hamas, dan beberapa detik yang memisahkannya dari ajal. Video itu kemudian beredar luas, memperlihatkan bagaimana seorang prajurit negara yang katanya paling siap tempur di Timur Tengah, lari pontang-panting dari serangan yang—dalam narasi militernya—mestinya bisa mereka antisipasi dengan “mudah.” Ia tak sempat jadi tawanan. Ia tewas. Senjatanya diambil, tubuhnya hampir diseret. Dan dunia, terdiam lalu menggertakkan gigi.

Pemandangan itu bukan dari adegan film perang yang diproduksi Hollywood dengan efek digital. Itu rekaman langsung, rilisan resmi dari Al-Qassam, sayap militer Hamas, yang tanpa malu-malu menamainya bagian dari David’s Stones Operation. Sebuah nama yang ironis, tentu, mengingat Israel senantiasa membangun citra diri sebagai Daud yang melawan Goliat. Tapi di Gaza hari ini, narasi itu jungkir balik: Goliat kini berteriak karena batu kecil Daud melesat tepat di pelipis. Dan bukan satu batu, tapi roket RPG Yassin-105 yang dimodifikasi di lorong-lorong gelap bawah tanah, dengan daya ledak yang cukup untuk menumbangkan kendaraan Gideon, bahkan tank Merkava yang dulu dibanggakan dengan harga miliaran dolar.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Media Israel menyebutnya “skandal baru.” Barangkali karena malu jika disebut “penghinaan nasional.” Sebab bukan hanya satu prajurit yang ditelantarkan. Ini bukan insiden sekali lewat, bukan kesalahan teknis operator. Ini adalah kegagalan sistemik. Dalam sebulan, sudah dua kali prajurit Israel terlihat sendirian di medan tempur, tanpa dukungan, tanpa arah, tanpa kehormatan. Sebelumnya, tujuh insinyur militer mereka tewas saat kendaraan Puma mereka hancur dihantam ledakan. Bukan karena kehabisan peluru. Tapi karena tak pernah menyangka musuh yang mereka kepung bisa sedekat dan seberani itu.

Tapi tunggu dulu. Bukankah narasi resmi Israel selalu menyebut bahwa Hamas sedang sekarat? Bahwa struktur komandonya telah dilumpuhkan? Bahwa jaringan terowongan telah dihancurkan? Lalu, bagaimana mungkin ada pejuang bersenjata yang bisa keluar di siang hari bolong, menyerang konvoi militer, mendokumentasikan serangan, lalu mempublikasikannya dengan editing sinematik? Ini bukan perang bawah tanah. Ini parade luka di atas tanah. Dan luka paling dalam justru dialami oleh institusi militer Israel sendiri, yang kini mulai kehilangan bukan hanya prajuritnya, tetapi juga kredibilitasnya.

Hamas, dalam pernyataan resminya, menyampaikan sebuah kalimat yang cukup menusuk: “Abraham Azulai tak beruntung. Mungkin tentara selanjutnya akan lebih beruntung menjadi tawanan.” Di balik kalimat itu ada cengiran pahit. Bahwa mereka masih berburu tawanan, bahwa mereka masih bisa, dan bahwa upaya Israel membebaskan sandera dengan kekuatan penuh telah gagal total. Ini adalah penghinaan dalam bentuk paling halus, tapi juga paling telak. Dan tentu saja, ini bukan sekadar tentang satu prajurit. Ini tentang narasi kekuasaan yang mulai goyah.

Mari kita tarik sedikit ke belakang. Israel memulai agresi ke Gaza dengan janji “penghancuran total Hamas.” Mereka bilang: tak akan ada lagi serangan roket ke wilayah mereka. Bahwa tatanan keamanan harus dipulihkan. Bahwa warga sipil Israel berhak hidup tenang. Tapi setelah lebih dari 640 hari pemboman, pengepungan, penghancuran fasilitas sipil, kelaparan massal, dan perang opini global—apa yang tersisa? Hamas masih menyerang. Warga Gaza masih bertahan. Bahkan lebih dari itu, kini masyarakat internasional mulai melihat bahwa siapa yang sesungguhnya sedang gemetar di lapangan.

Ada ironi besar di sini. Teknologi militer tercanggih di kawasan—dari Iron Dome sampai sistem AI pengawasan medan—gagal menghadapi para pejuang yang bergerak dalam lorong, membawa RPG rakitan, dan memakai kamera video sekelas YouTuber perang. Negara dengan alutsista ratusan miliar dolar tak mampu menyelamatkan satu prajurit dari peluru musuh. Bahkan, seperti dalam insiden Khan Younis, tak mampu memberinya perlindungan sekadar sebuah tembakan pengalih perhatian.

Lebih ironis lagi, ketika tentara tewas di medan tempur, media Israel awalnya hanya menyebut “dua luka ringan.” Baru setelah tekanan publik membesar, diumumkan bahwa lima tentara gugur, dua luka parah, dan belasan lainnya terluka. Kita tahu permainan ini. Di banyak negara, termasuk mungkin negeri kita, manipulasi angka bukan hal baru. Tapi dalam konteks perang yang penuh luka dan krisis moral, kebohongan semacam ini adalah pengkhianatan terhadap rakyat sendiri.

Di titik ini, kita harus mulai mempertanyakan: benarkah Israel masih mengendalikan medan perang? Atau mereka sekadar mengendalikan narasi tentang perang itu? Benarkah Gaza sudah lumpuh? Atau yang lumpuh justru keyakinan publik Israel pada militernya sendiri? Apakah mereka masih bisa mengklaim sebagai kekuatan yang tak tertandingi, jika yang terjadi di lapangan justru sebaliknya: mereka diburu oleh kelompok yang katanya sudah mereka hancurkan?

Bukan hanya soal reputasi militer. Ini soal ilusi kekuasaan. Karena sejak awal, Israel menjual citra dirinya sebagai negara kecil yang dikelilingi musuh, tapi punya tekad baja dan persenjataan mutakhir. Mereka memakai trauma masa lalu sebagai tameng moral, sambil mengabaikan trauma yang mereka timbulkan hari ini di Rafah, Khan Younis, dan Jabaliya. Dan ketika semua itu mulai dipertanyakan, mereka memilih menyensor data, menunda rilis informasi, atau menyalahkan wartawan. Tapi rekaman video tak bisa dibungkam. Fakta yang terekam kamera Al-Qassam kini jadi senjata yang jauh lebih tajam dari peluru: ia menelanjangi apa yang ingin disembunyikan.

Dalam konteks lokal, mungkin kita pun perlu belajar. Bahwa tidak semua kekuatan bisa ditaklukkan dengan senjata. Bahwa harga diri suatu bangsa bisa justru tumbuh di tengah kehancuran. Seperti warga Gaza yang tetap bertahan meski listrik padam, air tercemar, dan langit penuh drone. Mereka tetap berdiri. Dan dari reruntuhan itu, mereka bahkan bisa melawan, dengan segala keterbatasan. Sebuah pelajaran getir bagi bangsa-bangsa yang kadang terlalu percaya pada kekuatan formal, tapi lupa membangun kekuatan jiwa.

Jadi jika hari ini publik Israel merasa “frustrasi” atas video dari Khan Younis, itu bukan sekadar karena seorang prajurit tewas. Tapi karena mereka mulai menyadari sesuatu yang jauh lebih menakutkan: bahwa musuh yang mereka caci, hina, dan coba lenyapkan itu… masih hidup. Masih bertempur. Masih menatap mata mereka lewat kamera. Dan barangkali, akan terus merekam.

Maka tak heran jika yang mereka sebut “skandal baru” ini terasa lebih mengoyak daripada rentetan serangan roket. Karena ketika sebuah negara kalah dalam narasi, kalah dalam kejujuran, dan kalah dalam moralitas, maka sisanya tinggal reruntuhan angka, propaganda yang mengering, dan barisan serdadu yang bahkan tak sempat berpamitan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer