Connect with us

Opini

Siprus Hari Ini, Palestina Esok Hari?

Published

on

“Zionis sedang membangun halaman belakang mereka di Siprus.” Kalimat ini keluar dari mulut Stefanos Stefanou, juru bicara Partai Progresif AKEL, dan langsung menimbulkan badai diplomatik. Bukan karena isinya salah—tapi karena terlalu telanjang. Seperti seseorang yang bersuara nyaring di tengah pesta orang-orang yang pura-pura tuli. Dunia modern tak pernah nyaman dengan suara keras yang membongkar kenyataan. Apalagi kalau kenyataan itu menyenggol nama besar seperti Israel.

Kita sedang bicara tentang negara kecil di Laut Mediterania yang diam-diam sedang mengalami transformasi. Bukan reformasi politik, bukan revolusi digital, tapi perubahan kepemilikan lahan secara massif oleh warga negara asing—dalam hal ini, warga Israel. Siprus, terutama bagian selatan yang dikuasai pemerintah resmi (dan bukan wilayah utara yang dikuasai Turki), kini menjadi surga investasi properti. Dan seperti banyak kisah di dunia ini, surga bagi satu pihak bisa berarti mimpi buruk bagi pihak lain.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Lebih dari 4.000 properti telah berpindah tangan kepada investor Israel sejak 2021. Wilayah yang dulu menjadi rumah bagi warga lokal kini berubah menjadi kawasan eksklusif berpagar tinggi, lengkap dengan sekolah, sinagoga, dan jaringan komunitas yang sulit disentuh oleh masyarakat Siprus sendiri. Gated communities—begitu istilah sopannya. Permukiman elit dengan pagar pengaman. Tapi bagi yang peka terhadap sejarah, kata “permukiman” punya gema yang menyeramkan. Itu kata yang sama yang digunakan Israel di Tepi Barat. Itu pula yang digunakan untuk wilayah pendudukan yang terus diperluas dari waktu ke waktu.

Bedanya, di Siprus tidak ada perang. Tidak ada tentara. Tidak ada penjaga bersenjata. Hanya arsitek, agen properti, dan pejabat yang melihat angka-angka dolar di layar mereka. Semua serba legal. Semua bisa dijelaskan dengan data ekonomi dan grafik pertumbuhan. Tapi ketika tanah yang Anda injak setiap hari perlahan berpindah tangan, lalu Anda diberitahu bahwa itu untuk “kesejahteraan bersama”, Anda tahu ada sesuatu yang busuk di balik istilah-istilah manis itu.

Stefanou mengatakan, “Kami tidak menyampaikan ini karena kebencian, tapi karena kekhawatiran. Kami merasa tanah kami tidak lagi milik kami.” Pernyataan ini tidak emosional. Ia penuh logika. Dan justru karena terlalu logis, ia membuat banyak orang panik. Termasuk para diplomat. Tiba-tiba tudingan antisemitisme dilempar. Retorika lama kembali diputar: bahwa mengkritik Israel berarti membenci Yahudi. Padahal, kritikan Stefanou sangat spesifik: ia berbicara tentang ekspansi properti, tentang perubahan demografi, tentang enclave tertutup yang tidak bisa dijangkau rakyat biasa. Ia tidak bicara tentang agama, tidak juga tentang etnis.

Tapi inilah taktik yang sudah sering digunakan: bungkam lawan dengan stempel moral. Buat dia tampak buruk, agar publik tak perlu mendengar argumennya. Dan setelah itu, lanjutkan proses akuisisi seperti biasa. Kalau perlu, percepat. Agar kelak, tak ada lagi yang bisa protes karena semuanya sudah “keburu selesai.”

Mari kita buat analoginya sederhana. Bayangkan satu desa kecil. Warganya hidup biasa-biasa saja. Lalu datanglah sekelompok investor asing yang membeli satu rumah. Tak masalah. Lalu dua rumah. Lalu lima. Kemudian membangun pagar. Menggaji satpam sendiri. Membuka toko sendiri. Sekolah sendiri. Lalu datang semakin banyak orang dari luar desa itu untuk tinggal di sana, membeli tanah yang belum sempat dijual penduduk. Beberapa penduduk menjual karena harga bagus. Beberapa menjual karena tekanan sosial. Lalu desa itu berubah. Bukan lagi tempat di mana penduduk lama bisa menentukan nasibnya, tapi tempat di mana mereka hanya bisa menonton orang lain menyusun masa depan atas tanah yang dulu mereka sebut rumah.

Inilah yang terjadi di Palestina. Inilah yang mulai terjadi di Siprus. Dan, mari jujur, inilah yang mulai terasa di banyak tempat lain—di mana uang lebih punya hak daripada rakyat.

Kita sering berkata “tanah air.” Tapi betapa cepatnya tanah itu bisa dijadikan “komoditas investasi.” Di Indonesia, kita menyaksikan Bali perlahan-lahan menjadi seperti pulau milik semua orang—kecuali orang Bali sendiri. Di Lombok, Labuan Bajo, hingga daerah-daerah pesisir lain, investor asing berlomba-lomba membeli lahan atas nama pariwisata dan kemajuan ekonomi. Tapi siapa yang benar-benar untung? Siapa yang masih punya kendali? Atau jangan-jangan, kita hanya menunggu giliran seperti Siprus?

Kembali ke laporan yang menjadi dasar tulisan ini: antara tahun 2018 dan 2025, populasi warga Israel di Siprus melonjak dari 6.500 menjadi sekitar 15.000. Pertumbuhan ini tidak terjadi karena faktor alami. Ia didorong oleh kebijakan negara: Golden Visa yang memperbolehkan siapa saja—selama punya uang—untuk membeli rumah dan menetap. Di atas kertas, ini legal. Di lapangan, ini menciptakan “koloni diam-diam” yang akhirnya bisa menjadi titik tekan politik dan keamanan.

Ada juga laporan bahwa agen intelijen Mossad aktif di Siprus, menjadikannya safehouse bagi operasi regional mereka. Tentu saja ini disangkal secara resmi, tapi cukup banyak laporan media yang menyebut hal ini dengan bahasa tersirat. Dan jangan lupa, Siprus juga menjadi titik evakuasi warga Israel ketika terjadi konflik besar dengan Iran. Ribuan orang menyelamatkan diri ke sana lewat laut. Ini menunjukkan betapa pentingnya pulau itu sebagai zona aman cadangan.

Apakah kita menyaksikan pendudukan baru? Bukan dengan seragam tentara, tapi dengan jas mahal dan proposal investasi? Apakah inilah bentuk penjajahan yang lebih diterima hari ini, karena tidak menimbulkan suara tembakan?

Yang membuat peristiwa ini semakin pahit adalah cara dunia menanggapinya. Ketika rakyat Palestina melawan pendudukan, mereka disebut teroris. Ketika warga Siprus menyuarakan kekhawatiran, mereka disebut rasis dan anti-Semit. Dunia hanya mau mendengar kisah yang nyaman. Yang sesuai dengan peta kepentingan mereka. Sisanya, dibungkam dengan pelan—atau dibungkam dengan cara yang membuat mereka tampak jahat.

Maka pertanyaannya bukan lagi: apakah Siprus sedang dijajah? Tapi: berapa banyak tanah harus hilang, sebelum kata “pendudukan” boleh diucapkan?

Dan kalau Siprus saja—anggota Uni Eropa, negara demokratis, punya infrastruktur hukum—bisa diperlakukan seperti ini, bagaimana dengan negara-negara lain yang lebih lemah?

Palestina hari ini adalah hasil dari kegagalan membaca tanda-tanda itu kemarin. Siprus hari ini adalah cermin bagi kita yang lain. Dan kalau kita masih mengira bahwa ini hanya soal properti dan visa, maka suatu hari nanti kita akan bangun dan mendapati bahwa nama jalan di kampung kita sudah berubah, sekolah di sebelah rumah bukan lagi untuk anak-anak kita, dan tanah yang kita injak ternyata bukan lagi milik kita—dengan atau tanpa penjajahan resmi.

Karena penjajahan hari ini bukan lagi tentang bendera yang dikibarkan, tapi tentang siapa yang punya tanah. Dan siapa yang bisa memagari dirinya dari kita.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer