Opini
Sinwar Syahid, Api Perjuangan Takkan Padam

Di antara badai yang mengguncang, sebuah foto jenazah muncul, wajahnya pucat dan tubuhnya hancur. Yahya Sinwar, pemimpin Hamas, kini telah syahid dalam serangan brutal Israel di Rafah, Gaza. Kabar ini menyebar bak api membara, membakar jiwa mereka yang mencintai Palestina. Duka kembali merayap, mengusik hati yang telah lelah oleh luka yang tak kunjung sembuh, luka yang terus diderita oleh rakyat Palestina — entitas yang tak henti-hentinya menumpahkan darah dan kehancuran.
Sinwar, pemimpin yang teguh, mengambil alih kepemimpinan setelah syahidnya Ismail Haniyah beberapa bulan lalu. Dan kini, dengan berat hati, kita menyaksikan satu lagi pemimpin yang gugur. Tak hanya Sinwar, bulan lalu, Sayyid Hasan Nasrallah, simbol perlawanan, juga telah syahid. Duka kita, yang belum lagi usai, kembali diperdalam oleh pesta meriah para musuh yang merayakan darah yang tertumpah. Mereka menganggap ini kemenangan, seolah setiap tetes darah adalah kemuliaan bagi mereka.
Tetapi, di tengah kegembiraan palsu ini, kita bertanya dengan getir: Apakah syahidnya Sinwar benar-benar kemenangan bagi Israel? Dengan segala kekejaman yang mereka lakukan, akankah mereka berhasil menundukkan semangat perlawanan? Mari kita lihat dengan cermat: apa yang sebenarnya dicari dalam serangan ini? Tujuan mereka adalah membawa pulang sandera dan menumpas Hamas. Namun lihatlah, meskipun mereka menabuh genderang perang, tujuan tersebut tetap tidak tercapai. Sandera masih tertawan, dan meski kehilangan pemimpinnya, Hamas berdiri tegak, seperti pohon zaitun yang berakar dalam di tanah perjuangan.
Kematian para pemimpin perlawanan tidaklah berarti kehancuran. Justru, itu adalah percikan api yang akan terus menyala dalam jiwa rakyat Palestina. Israel seharusnya belajar dari sejarah, bahwa setiap pemimpin yang syahid hanya melahirkan seribu pejuang baru. Syahidnya Ismail Haniyah, Sayyid Hasan Nasrallah, dan kini Yahya Sinwar, hanyalah bukti bahwa Israel, dengan segala kekuatan brutalnya, tidak pernah memahami arti sebenarnya dari perlawanan.
Abu Obaida, juru bicara Brigade al-Qassam, awal bulan ini menegaskan bahwa perayaan musuh atas syahidnya para pemimpin kita hanyalah fatamorgana. Kegembiraan mereka adalah ilusi yang akan segera memudar. Mereka tak pernah belajar dari sejarah, dari darah yang tertumpah, atau dari keinginan tulus rakyat Palestina yang tak pernah goyah. Jika pembunuhan adalah kemenangan, perlawanan sudah lama mati bersama syahidnya Syaikh Izz el-Din Al-Qassam sembilan puluh tahun yang lalu. Namun, perlawanan tidak pernah mati, karena mereka tidak mengerti bahwa kesyahidan bagi pejuang sejati adalah kemenangan tertinggi.
Hari ini, Gaza dipenuhi kabut duka, tetapi ingatlah ini: untuk setiap pemimpin yang mereka bunuh, sepuluh pemimpin baru akan bangkit. Syahidnya Sayyid Hasan Nasrallah tak menghentikan Hizbullah; mereka malah semakin menggigit Israel dengan kekuatan yang tak terduga. Gaza, Lebanon, dan seluruh dunia perlawanan membuktikan satu hal: pembunuhan tidak pernah mematahkan semangat kami, hanya menajamkannya.
Jadi, apa artinya kesyahidan Sinwar? Perjuangan perlawanan tak terhenti. Seperti yang pernah dikatakan syahid Sayyid Hasan Nasrallah, “Ketika kita menang, maka kita menang. Dan ketika kita syahid, maka kita menang.” Semangat perlawanan ini akan terus berkobar, menyalakan api harapan dalam jiwa setiap pejuang dan pencinta kebebasan.
