Opini
Simfoni Sunyi di Gaza: Ketika Dunia Berseru, Tapi Tak Bergerak

Lebih dari seratus lembaga kemanusiaan dan hak asasi manusia berseru pada hari Rabu. Mereka bilang, blokade dan serangan Israel di Gaza telah menyeret dua juta manusia ke jurang kelaparan. Seruan itu terdengar serempak—tapi lirih, seolah dilemparkan ke dalam ruang hampa tempat gema pun enggan kembali. Di sisi lain, angka kematian kembali bertambah: 29 nyawa melayang dalam semalam. Anak-anak, perempuan, manusia. Tapi tentu, bagi sebagian orang, mereka hanyalah statistik, bukan tragedi.
Di tengah kehancuran itu, utusan Amerika Serikat, Steve Witkoff, dijadwalkan bertemu dengan pejabat senior Israel. Katanya untuk membahas gencatan senjata. Barangkali secangkir kopi akan disajikan, diselingi diskusi hangat tentang “de-eskalasi,” sambil satu demi satu keluarga di Gaza kehilangan anggota tubuh atau anggota keluarga. Ironi ini luar biasa elok: diplomasi mewah di kota Eropa, di atas reruntuhan rumah yang tak lagi punya alamat.
Para pakar menyebut Gaza berada di ambang kelaparan. Tapi jangan khawatir, Israel bilang mereka sudah memasukkan ribuan truk bantuan. Benar, katanya, ada sekitar 4.500 truk sejak Mei. Cuma, mereka lupa menyebut bahwa truk itu cuma 70-an per hari—separuh dari kebutuhan minimum. Yang 700 truk lainnya? Menumpuk, menunggu, dilirik dengan cemas oleh para relawan yang tak bisa menyentuhnya karena militer Israel masih asyik bermain blokade.
Dan jangan salahkan Israel, kata mereka. Salahkan saja PBB, yang tak becus mendistribusikan bantuan. Salahkan juga penduduk Gaza, yang selalu berada “di sekitar target militan.” Kalau anak-anak mati, mungkin karena mereka tidur terlalu dekat dengan senjata Hamas—atau terlalu miskin untuk punya bunker pribadi.
Lalu WHO pun bersuara. Dirjen-nya bilang Gaza mengalami lonjakan mematikan dalam malnutrisi. Lebih dari 30.000 anak di bawah usia lima mengalami kekurangan gizi akut. Beberapa di antaranya mati kelaparan. Tapi tentu, bagi sebagian pendukung “perang melawan teror,” itu hanya efek samping. Seperti batuk setelah minum antibiotik. Wajar. Tertib. Tidak perlu dibesar-besarkan.
Organisasi kemanusiaan pun menulis surat terbuka. Kalimatnya getir: mereka melihat rekan-rekan sendiri, para relawan, “mengurus tulang belulang.” Tak ada lagi kata “merawat.” Di Gaza, orang tak lagi dirawat. Mereka dibungkus. Diantarkan ke liang. Atau ditinggalkan di puing-puing, jadi berita sekilas, lalu lenyap di antara update sepakbola dan gosip selebriti.
Israel menuduh semua itu propaganda Hamas. Sebab semua yang tak sejalan dengan narasi mereka kini diklasifikasikan sebagai “propaganda.” Bahkan bila itu datang dari LSM Prancis, dokter Belgia, atau guru dari Kanada yang melihat sendiri anak-anak kurus meregang nyawa. Barangkali setelah ini, WHO pun akan dicap “pendukung terorisme internasional.”
Yang paling menyakitkan bukan hanya bom dan kelaparan. Tapi diamnya dunia. Dunia yang, dalam satu waktu, bisa memboikot Rusia, mengutuk Myanmar, dan menuntut Venezuela—namun saat menyangkut Gaza, mendadak kehilangan pita suara. Dunia ini, rupanya, punya standar moral yang bisa dinegosiasikan. Penderitaan anak-anak Gaza tidak cukup viral untuk menggerakkan ekonomi.
Di Indonesia, kita menyaksikan ini semua dari layar gawai. Diselingi diskon Harbolnas dan promo kopi kekinian. Ada yang mengutuk, ada yang membagikan tagar, ada pula yang berseloroh, “Yah, sudah dari dulu juga begitu.” Ini adalah zaman di mana rasa iba dikurung dalam 24 jam story Instagram. Setelah itu, kembali ke rutinitas: ngopi, nge-scroll, ngeluh sinyal.
Tentu, bukan berarti semua orang diam. Tapi suara yang tersisa masih terlalu lembut. Seruan boikot hanya berseliweran di kalangan terbatas, tak menyentuh kebijakan negara. Sebagian pejabat masih sibuk mengatur investasi, takut menyinggung rekan dagang yang ternyata punya saham di perusahaan zionis. Toh, ekonomi harus jalan, bukan?
Yang lebih menyedihkan, banyak negara Muslim justru menyambut Israel dengan karpet merah. Mereka berdagang, berinvestasi, bahkan berkoalisi. Gaza hanyalah kutukan yang ingin dihindari, bukan luka yang ingin disembuhkan. Mereka lebih takut kehilangan kontrak migas daripada kehilangan martabat.
Apakah dunia telah mati rasa? Atau memang dunia tak pernah benar-benar hidup untuk Gaza?
Sementara itu, bom terus jatuh. Malam-malam Gaza bukan dihiasi bintang, melainkan ledakan. Anak-anak bukan bermain petasan, melainkan diseret dari bawah reruntuhan. Ibu-ibu bukan menyanyikan lagu nina bobo, tapi berteriak mencari jasad anak mereka. Dan kita? Kita menonton semua itu seperti menonton serial Netflix. Emosional sebentar, lalu skip ke episode berikutnya.
Israel tetap menari di atas reruntuhan. Mereka bicara soal “hak membela diri,” bahkan ketika mereka menembak warga yang sedang antri bantuan. Lebih dari 1.000 orang tewas di titik distribusi makanan. Tapi menurut tentara Israel, itu hanya “tembakan peringatan.” Peringatan macam apa yang mengirim anak-anak ke liang kubur?
Kita hidup di dunia yang bisa menghukum satu negara karena invasi, tapi memaafkan negara lain karena punya lobi kuat. Dunia yang bisa menghentikan perang jika ingin—tapi memilih untuk tidak. Dan di sinilah Gaza terjebak: antara peluru dan keacuhan, antara puing dan panggung diplomasi.
Pertemuan Witkoff dan Ron Dermer mungkin akan menghasilkan kesepakatan. Mungkin gencatan senjata. Mungkin pertukaran sandera. Tapi yang tak akan kembali adalah waktu, anak-anak, rumah, dan harga diri yang diinjak-injak terlalu lama. Gencatan senjata tak akan mengembalikan kaki yang hilang, atau suara ibu yang tertelan tanah.
Dan pada akhirnya, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah cukup hanya berseru? Apakah cukup hanya bersimpati dari jauh? Atau mungkin sudah saatnya bergerak: boikot, tekan, lawan. Karena jika kita terus diam, kita bukan hanya penonton. Kita adalah bagian dari kejahatan itu sendiri.
Gaza bukan hanya luka Palestina. Ia adalah cermin: apakah kita manusia, atau hanya makhluk yang bisa merasa iba tapi tak pernah benar-benar peduli?
Mungkin dunia tak akan berubah esok hari. Tapi setidaknya, kita bisa memilih untuk tak lagi menjadi bagian dari kebisuannya.