Opini
Siapa yang Membantu Israel Menyerang Iran?

Pada malam yang sunyi, pukul 01:29 WIB tanggal 14 Juni 2025, hati terasa berat membaca laporan-laporan yang bertebaran di media sosial dan kanal berita daring tentang serangan Israel ke Iran sehari sebelumnya, 13 Juni. Di tengah keheningan malam Indonesia yang damai, terpampang di layar ponsel peta lintasan pesawat, estimasi jarak tempuh, dan spekulasi keterlibatan sejumlah negara dalam operasi militer tersebut. Semua itu menyisakan kegelisahan yang sulit ditepis.
Bagi kita yang tinggal jauh dari pusat konflik, di negeri yang terbiasa menjaga keberagaman dalam damai, mendengar kabar seperti ini terasa seperti dentuman jauh yang tetap mengguncang nurani. Pertanyaan besar pun mengemuka: siapa saja yang membantu Israel dalam operasi militer ini? Dan lebih dari itu—mengapa dunia terus diam ketika konflik meluas dan nyawa kembali dipertaruhkan?
Pertanyaan Teknis yang Mengarah pada Dugaan Keterlibatan
Salah satu utas di platform X, dari akun @zhao_dashuai, menyingkap sejumlah fakta teknis menarik. Pesawat F-35I Adir milik Israel, yang digunakan dalam serangan tersebut, diketahui hanya memiliki jangkauan tempur sekitar 1.200 km saat membawa bom pintar JDAM—sementara jarak antara Israel ke Teheran lebih dari 1.500 km. Maka, diperlukan pengisian bahan bakar di udara atau penggunaan tangki eksternal—yang akan mengurangi kemampuan siluman pesawat tersebut.
Kemungkinan ini mengarah pada pertanyaan lanjutan: di mana proses pengisian bahan bakar dilakukan? Dan, lebih penting lagi, negara mana saja yang wilayah udaranya harus dilewati agar operasi ini berhasil?
Bayangkan, pesawat siluman Israel harus melintasi langit Suriah, Irak, mungkin Yordania, sebelum masuk ke Iran. Sulit membayangkan semua itu terjadi tanpa bentuk keterlibatan atau, paling tidak, pembiaran dari negara-negara tersebut.
Wilayah Udara dan Politik Diam-Diam
Pengisian bahan bakar di udara tentu bukan urusan sepele. Pesawat tanker seperti KC-135 tak bisa beroperasi sembarangan. Butuh wilayah aman, koordinasi, dan perencanaan matang. Menurut laporan dari Roya News, Israel mengakui telah menggunakan wilayah udara Suriah dan Irak dalam operasi ini. Di saat yang sama, Suriah—pasca perubahan politik dan pemerintahan baru—terlihat tak lagi punya kemampuan memadai untuk mempertahankan wilayah udaranya. Irak pun, dengan kuatnya pengaruh militer AS di wilayahnya, tidak menunjukkan reaksi berarti.
Apakah ini berarti ada kesepakatan diam-diam antara Israel dan negara-negara tersebut? Ataukah tekanan eksternal dari kekuatan besar membuat mereka terpaksa tutup mata?
Bagi kita di Indonesia, yang sering menjadi ujung tombak diplomasi damai di kawasan Asia Tenggara, situasi seperti ini menyakitkan untuk disaksikan. Kedaulatan udara yang semestinya dijaga, kini seolah menjadi jalur lalu lintas bagi perang yang bisa mengancam stabilitas kawasan secara luas.
Jejak AS dan Sekutunya: Dukungan atau Partisipasi?
Dugaan keterlibatan Amerika Serikat kian menguat. Saluran 12 Israel melaporkan adanya koordinasi langsung dengan pihak AS, dan pernyataan dari pejabat senior AS kepada Al Jazeera turut mengonfirmasi hal tersebut. Bahkan, beberapa laporan menyebutkan bahwa pesawat militer AS dan Inggris membantu mencegat potensi respons balasan dari Iran.
Sirene yang sempat berbunyi di pangkalan-pangkalan militer AS di kawasan menjadi sinyal bahwa operasi ini bukan semata urusan Israel. Ini adalah bentuk kolaborasi strategis yang terorganisir dan melibatkan kekuatan militer besar.
Di Jakarta, saat kita mendengar kabar seperti ini sambil menyesap kopi pagi, kita mungkin bertanya-tanya: sampai kapan kekuatan global bisa menentukan arah konflik tanpa transparansi, tanpa akuntabilitas, dan tanpa rasa tanggung jawab terhadap dampak kemanusiaan yang ditimbulkan?
Dari Peta ke Fakta Lapangan
Peta lintasan pesawat yang diposting oleh @zhao_dashuai menunjukkan arah serangan dari barat laut Iran—menandakan jalur melalui Suriah dan Irak. Gangguan pada penerbangan komersial di wilayah tersebut, sebagaimana dilaporkan oleh NPR, menguatkan dugaan adanya aktivitas militer besar-besaran.
Dengan jumlah pesawat tempur yang dikabarkan mencapai lebih dari 100 unit, menurut laporan The Jerusalem Post, operasi ini jelas bukan tindakan sepihak kecil. Ini adalah manuver besar dengan dukungan logistik dan intelijen yang luas. Kemungkinan juga terjadi penggunaan sistem gangguan elektronik atau serangan siber untuk melumpuhkan pertahanan udara Iran—yang memang diketahui memiliki tantangan dalam hal pelatihan dan kesiapan teknologinya.
Tekanan elektronik, manuver siluman, hingga penggunaan radar reflektor seperti disebut dalam laporan Sandboxx, menjadi bagian dari strategi kompleks yang tampaknya hanya bisa dilakukan oleh aliansi militer berteknologi tinggi.
Negara Transit: Di Antara Diam dan Tekanan
Suriah, Irak, dan Yordania—ketiganya adalah negara-negara yang diperkirakan menjadi jalur transit utama. Suriah sendiri telah lama berada dalam kondisi terfragmentasi, dengan banyak wilayahnya berada di bawah pengaruh asing. Irak, meski berdaulat secara hukum, memiliki jejak militer AS yang dalam. Yordania, meski membantah keterlibatan, tetap menjadi pihak yang diduga memberi izin diam-diam karena tekanan atau kepentingan strategis tertentu.
Dalam konteks ini, kita kembali bertanya: apakah kedaulatan udara benar-benar berarti di hadapan kekuatan besar dunia? Dan bila negara-negara ini tak mampu mengontrol langit mereka sendiri, bagaimana kita bisa berbicara tentang keadilan dalam tatanan global?
Antara Fakta, Dugaan, dan Tanggung Jawab Moral
Kerusakan yang ditimbulkan di Iran, termasuk apartemen sipil yang rusak akibat GBU-31 yang berdaya jangkau 25 km seperti disebut dalam laporan @zhao_dashuai, menunjukkan bahwa sasaran serangan bukan hanya target militer. Jika benar demikian, ini melibatkan pelanggaran prinsip-prinsip dasar hukum humaniter internasional.
Dalam budaya kita di Indonesia, yang menjunjung tinggi gotong royong dan nilai kemanusiaan, sulit dibayangkan bagaimana kerja sama yang begitu kompleks ini digunakan untuk menciptakan kehancuran—alih-alih perdamaian.
Dampak Global dan Pertanyaan untuk Kita Semua
Bukan hanya Iran yang terkena dampak. Ketegangan meningkat, harga minyak melonjak, dan suasana global kembali dicekam ketidakpastian. Inggris, yang punya hubungan erat dengan Israel dalam bidang pertahanan, juga disebut memiliki peran meski masih dalam spekulasi. Evakuasi personel AS dari kawasan seperti dilaporkan Times of Israel, menunjukkan adanya kesiapsiagaan untuk konflik lebih luas.
Di Indonesia, dari kota-kota besar hingga pelosok kampung, masyarakat mungkin merasa jauh dari medan konflik. Tapi sejatinya, kita tidak bisa benar-benar lepas dari dampaknya. Ketika bahan bakar naik, ekonomi terguncang, dan dunia kembali pada poros ketegangan, kita ikut merasakannya.
Jangan Netral terhadap Agresi
Dari semua yang telah terjadi, satu hal yang jelas: Israel tidak bisa melakukannya sendirian. Ada jejaring kekuatan besar di belakangnya—baik secara langsung maupun melalui pembiaran.
Namun, di tengah semua itu, kita di Indonesia masih memiliki suara. Suara untuk tidak netral terhadap agresi, suara untuk berdiri bersama nilai-nilai kemanusiaan, dan suara untuk terus menuntut transparansi serta tanggung jawab global.
Di malam yang sepi ini, ketika suara dentuman hanya terdengar dalam bentuk berita, kita bisa memilih untuk tidak tinggal diam. Mari tetap waspada, tetap berpikir kritis, dan tetap berpihak—pada mereka yang haknya dilanggar, pada perdamaian yang diciderai, dan pada dunia yang kita impikan: tanpa perang, tanpa penjajahan, dan tanpa ketakutan.