Connect with us

Opini

Siapa Abu Shabab, ‘Anak Buah’ Israel di Gaza?

Published

on

Tuduhan bahwa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mempersenjatai kelompok bersenjata di Gaza yang diduga memiliki kaitan dengan ISIS untuk melawan Hamas—sebagaimana diungkap mantan Menteri Pertahanan Avigdor Lieberman—membuka luka baru dalam narasi konflik yang sudah lama berdarah. Di tengah puing-puing Gaza, di mana warga sipil berebut sepotong roti dan berteduh di balik reruntuhan, bantuan kemanusiaan justru dirampas oleh kelompok bersenjata yang, ironisnya, dilindungi oleh kekuatan yang semestinya menjamin keamanan.

Realitas ini sungguh mencabik nurani. Laporan The Washington Post menyebut 98 dari 109 truk bantuan PBB dirampok hanya dalam satu malam. Pengemudi dipukuli, bahkan ada yang tewas. Ini bukan sekadar berita; ini potret dunia yang terus bergulat antara kepentingan strategis dan nilai moral. Sebagai penulis, saya melihat jika tuduhan ini benar, maka langkah tersebut bukan hanya berbahaya, melainkan memperdalam penderitaan warga sipil. Transparansi dan akuntabilitas harus ditegakkan demi menghentikan siklus kekerasan yang tak berkesudahan.

Laporan dari The Cradle, Haaretz, dan Ynet menggambarkan skenario yang mengganggu. Lieberman menuding Netanyahu mengarahkan pengiriman senapan serbu dan senjata ringan kepada klan Abu Shabab—kelompok yang disebut-sebut punya afiliasi dengan ISIS—tanpa sepengetahuan kabinet. Kantor Netanyahu, sebagaimana dikutip The Jerusalem Post, tidak membantah secara tegas. Mereka hanya menyatakan bahwa Israel “menggunakan berbagai cara untuk mengalahkan Hamas, sesuai rekomendasi pimpinan keamanan.” Sebuah pernyataan yang terdengar seperti anggukan samar atas tuduhan serius.

Siapa Yasser Abu Shabab? Ia pemimpin klan dari suku Badui Tarabin, yang digambarkan sebagai tokoh kriminal pengendali penjarahan di Rafah Timur dan Kerem Shalom—wilayah yang berada di bawah pengawasan militer Israel. Memo internal PBB, dikutip The Washington Post, menyebut Abu Shabab sebagai “pengaruh utama di balik penjarahan sistematis,” dengan lebih dari 100 preman bersenjata menyerang konvoi bantuan. Ini bukan kriminalitas biasa; ini adalah krisis terstruktur yang mempermainkan nyawa jutaan orang yang kelaparan.

Di Gaza, tempat 90 persen penduduknya terusir dari rumah sejak Oktober 2023 (data Gaza Health Ministry), bantuan kemanusiaan bukan sekadar hak, melainkan urat nadi kehidupan. Namun kelompok seperti Abu Shabab, yang beroperasi di bawah pengawasan militer Israel, justru merampas makanan, tenda, dan kebutuhan pokok. Menurut The Washington Post, bantuan senilai 25,5 juta dolar AS telah hilang akibat penjarahan hanya pada musim panas 2024. Ini bukan soal kelaparan semata, tetapi kegagalan sistemik. Seorang pekerja kemanusiaan bahkan menyaksikan tentara Israel hanya berdiri diam saat truk bantuan diserang. Apakah ini bagian dari strategi melemahkan Hamas, atau bentuk kelalaian yang disengaja?

Dukungan Israel terhadap kelompok bersenjata bukan hal baru. Di Suriah, Israel pernah membantu pemberontak anti-Assad demi melemahkan Iran dan Hizbullah, bahkan sempat membuka wacana normalisasi hubungan dengan Suriah di bawah Presiden transisi Ahmad al-Sharaa, yang dulunya bagian dari al-Qaeda. Di Gaza, upaya memanfaatkan klan Abu Shabab tampaknya punya tujuan serupa: menciptakan faksi tandingan yang bisa mengacaukan Hamas dari dalam. Namun Gaza bukan Suriah. Ia lebih padat, lebih tertutup, dan penderitaan warganya jauh lebih akut.

Hamas mungkin dicap sebagai organisasi teroris oleh Israel dan Barat, tetapi ia memiliki dukungan sosial yang kuat di Gaza sebagai simbol perlawanan. Abu Shabab, sebaliknya, adalah kelompok kriminal dengan rekam jejak penjarahan, penyelundupan, dan kekerasan. Haruskah kelompok seperti ini diperlengkapi senjata atas nama strategi militer?

Dari sudut pandang Indonesia, kita paham betapa bahayanya membiarkan kelompok bersenjata tumbuh tanpa kendali. Pengalaman di Poso, Ambon, atau Aceh menunjukkan bahwa mendukung satu kelompok ekstrem untuk menghadapi kelompok lain biasanya hanya memperpanjang konflik dan menciptakan lebih banyak korban. Jika Israel memang mempersenjatai Abu Shabab, seperti yang dituduhkan, ini bukan strategi jitu, melainkan membuka pintu bagi kekacauan yang lebih luas.

Laporan The Washington Post bahkan mencatat empat pengemudi truk bantuan tewas sejak Mei 2024 akibat serangan kelompok ini. Ini bukan lagi pertarungan antara negara dan terorisme, melainkan antara kekuasaan dan nurani. Gaza telah kehilangan lebih dari 43.000 nyawa sejak Oktober 2023. Apakah semuanya akan dianggap “kerugian yang diperlukan”?

Bahkan badan-badan internasional kini angkat suara. PBB menyebut Gaza sebagai wilayah “tanpa hukum” dan menyalahkan Israel sebagai kekuatan pendudukan yang gagal menjamin keamanan bantuan. Ketika Israel menyalahkan Hamas atas penjarahan, PBB justru membantahnya, dan menuding kelompok seperti Abu Shabab sebagai aktor utama. Ironisnya, kelompok ini justru dilaporkan beroperasi dengan perlindungan militer Israel. Bukankah ini kontradiksi paling terang dalam narasi “perang melawan teror”?

Bila benar, mendukung kelompok ekstremis demi tujuan strategis bukan hanya tindakan sembrono, tetapi juga penghianatan terhadap nilai kemanusiaan itu sendiri. Seperti yang telah kita lihat di Suriah, senjata yang hari ini diarahkan pada musuh, bisa saja besok berbalik menyerang pemberi senjata. Kelompok seperti Abu Shabab bukan entitas yang bisa dikontrol. Mereka tidak memiliki struktur, visi politik, atau dukungan sosial yang bisa menjadikannya aktor legitim dalam tatanan Gaza pasca-Hamas.

Indonesia tahu bahwa solusi tak pernah datang dari moncong senapan. Deradikalisasi, rekonsiliasi, dan keadilan transisional telah menjadi pendekatan kita—meski tak sempurna—untuk menyelesaikan konflik internal. Israel, dengan jaring pengaruh global dan dukungan penuh dari Amerika Serikat, mungkin merasa kebal dari kecaman. Tapi jika krisis ini terus memburuk akibat ulah kelompok yang didukungnya, tekanan global bisa berubah arah. Dan pada akhirnya, rakyatlah yang selalu menjadi korban.

Tulisan ini bukan tentang politik belaka, tetapi tentang keberanian memilih kemanusiaan di tengah kekacauan. Dunia, termasuk Indonesia, harus bersuara. Bukan karena kita ingin mencampuri urusan negara lain, tapi karena kita tak bisa tinggal diam saat kemanusiaan diinjak atas nama strategi.

 

 

 

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *