Connect with us

Opini

Serangan Yaman 1,73 Miliar, Balasan Israel 16 Kali Lebih Mahal!

Published

on

Di tengah hiruk-pikuk konflik yang tak pernah reda, pada 4 Mei 2025, sebuah rudal balistik melesat dari tanah Yaman, menembus langit 2.200 kilometer, dan mendarat di dekat Bandara Ben Gurion, Tel Aviv, jantung transportasi udara Israel. Asap hitam mengepul, kepanikan meledak—jutaan warga Israel berlari mencari perlindungan, sementara 12 maskapai besar dunia, dari Lufthansa hingga Delta, buru-buru membatalkan penerbangan mereka hingga 6 Mei. Dua hari kemudian, Israel membalas dengan serangan udara ke Yaman, menghantam Bandara Sanaa hingga lumpuh, menghancurkan 70% Pelabuhan Hodeidah, dan merobohkan stasiun listrik serta pabrik semen. Dua serangan, dua realitas, satu absurditas: perang ini seperti permainan catur mahal di mana rakyat jelata selalu jadi pion yang dikorbankan.

Mari kita bedah biaya kedua serangan ini dengan pendekatan sederhana, tapi tak kalah tajam. Serangan Yaman, yang dilancarkan oleh Angkatan Bersenjata Yaman (YAF), hanya menggunakan satu rudal balistik supersonik—kemungkinan varian Qiam-1 yang disokong Iran. Harga rudal ini diperkirakan $100.000, ditambah biaya operasional peluncuran seperti personel dan logistik sebesar $5.000. Totalnya? $105.000, atau kalau dikonversi ke rupiah dengan kurs 16.500, jadi 1,73 miliar rupiah. Murah, bukan? Seperti harga satu unit Pajero Sport bekas di pasar Tanah Abang, tapi dampaknya bikin Israel kelabakan. Sementara itu, Israel mengerahkan 20 jet F-16 untuk misi 4 jam ke Yaman. Bahan bakar jet saja menghabiskan $256.000, ditambah 40 bom JDAM seharga $1.000.000, dan biaya operasional dasar (kru, pemeliharaan) $400.000. Totalnya $1.656.000, atau 27,32 miliar rupiah. Bandingkan: serangan Israel 16 kali lebih mahal—setara harga apartemen mewah di Sudirman, tapi hasilnya? Kita bahas nanti.

Biaya ini mencerminkan asimetri yang nyaris tragis. Yaman, dengan sumber daya terbatas, bermain cerdas—murah tapi efektif, seperti pedagang kaki lima yang jualan gorengan tapi laris manis. Sementara Israel, dengan teknologi canggih dan dukungan AS, seperti restoran bintang lima yang menghabiskan miliaran untuk dekorasi, tapi pelanggannya cuma bilang, “Eh, rasanya biasa aja.” Ironi ini bukan sekadar soal angka, tapi cerminan strategi: Yaman tahu mereka tak bisa menang secara militer, jadi mereka mainkan kartu simbolis. Israel, sebaliknya, terjebak dalam ilusi bahwa kekuatan teknologi bisa menyelesaikan semua masalah. Tapi, benarkah demikian?

Sekarang, mari kita ke tujuan dan keberhasilan kedua serangan ini. Yaman punya tiga tujuan utama saat menyerang Bandara Ben Gurion. Pertama, menunjukkan solidaritas dengan Palestina, sebagai bentuk protes terhadap eskalasi militer Israel di Gaza—sesuatu yang mereka sebut sebagai “genosida” (The Cradle). Kedua, menekan Israel secara psikologis dan ekonomi, dengan mengganggu operasional bandara utama mereka. Ketiga, meningkatkan reputasi mereka di mata Poros Perlawanan yang didukung Iran. Hasilnya? Tiga-tiganya tercapai. Serangan itu membuat dunia melihat Yaman sebagai pendukung Palestina, dengan Yahya Saree dari YAF bahkan mengumumkan “blokade udara” terhadap Israel—sebuah pernyataan yang meski bombastis, cukup bikin gempar. Psikologis? Jutaan warga Israel panik, berlarian mencari perlindungan (Al Mayadeen). Ekonomi? Bandara ditutup lebih dari satu jam, 150 penerbangan dibatalkan, dan kerugian mencapai 501,19 miliar rupiah—setara harga ratusan rumah di pinggiran Jakarta. Reputasi? Yaman dipuji sebagai aktor yang mampu menembus pertahanan udara AS dan Israel, meskipun rudal itu kemungkinan “hanya” supersonik, bukan hipersonik seperti klaim mereka (Al Jazeera). Jadi, serangan Yaman: berhasil.

Lalu, bagaimana dengan Israel? Mereka punya tiga tujuan saat membalas ke Yaman pada 6 Mei. Pertama, melemahkan kemampuan militer Yaman untuk mencegah serangan lebih lanjut—mereka bilang Bandara Sanaa dan Pelabuhan Hodeidah dipakai untuk “transfer senjata” (The Cradle). Kedua, menunjukkan deterrence, alias bikin Yaman dan Iran takut dengan menyerang dari jarak 2.200 kilometer. Ketiga, menenangkan publik domestik yang gelisah setelah serangan Yaman. Hasilnya? Gagal total di tujuan utama. Melemahkan Yaman? Tidak. Mereka menghantam infrastruktur sipil—bandara, pelabuhan, stasiun listrik—bukan fasilitas militer inti yang tersembunyi di pegunungan (Al Jazeera). Yaman malah berjanji membalas dengan aksi “tak terbayangkan” (The Cradle), membuktikan mereka tak gentar. Deterrence? Sebagian tercapai—Israel memang menunjukkan mereka bisa menyerang jauh, tapi ini cuma gertak sambal, karena Yaman sudah biasa dihajar sejak 2015 oleh koalisi Saudi dan AS (Middle East Institute). Menenangkan publik? Iya, berhasil, tapi cuma sementara—Netanyahu bisa bilang, “Kami sudah balas!” tapi serangan berikutnya dari Yaman pasti bikin rakyat Israel panik lagi. Jadi, serangan Israel: gagal total.

Perbandingan ini menyingkap ironi yang lebih dalam. Yaman, dengan 1,73 miliar rupiah, berhasil mencapai tujuan mereka—mengguncang Israel, menunjukkan solidaritas, dan naik kelas di mata sekutu. Israel, dengan 27,32 miliar rupiah, gagal melemahkan Yaman, malah bikin rakyat sipil Yaman sengsara—bandara lumpuh, pelabuhan hancur, listrik padam, dan 18-19 juta orang kehilangan akses bantuan (AP News). Kerugian ekonomi di Yaman mencapai 30,16 triliun rupiah, tapi siapa yang menang? Bukan Israel, karena Yaman justru makin kuat secara politis—rakyat mereka kian membenci Israel, dan dukungan untuk YAF melonjak. Ini seperti orang kaya yang menghamburkan uang untuk menghajar tetangga miskin, tapi malah bikin tetangga itu jadi pahlawan kampung. Miris, bukan?

Refleksi dari semua ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih besar: sampai kapan siklus ini berlanjut? Yaman bermain cerdas dengan strategi asimetris—murah, tapi efektif bikin lawan kalang kabut. Tapi, serangan mereka memicu balasan yang menghancurkan rakyat mereka sendiri—ironi yang pahit, seperti orang miskin yang menang lomba debat, tapi rumahnya dibakar lawan. Israel, dengan teknologi dan dana melimpah, terjebak dalam ilusi bahwa kekuatan militer bisa menyelesaikan segalanya. Padahal, setiap bom yang mereka jatuhkan di Yaman seperti menyiram bensin ke api—membakar rakyat sipil, tapi memanaskan semangat perlawanan. Konflik ini bukan lagi soal siapa menang, tapi siapa yang lebih lama bertahan menderita.

Di Indonesia, kita mungkin cuma bisa menonton dari kejauhan, sambil ngopi di warung, mengelus dahi: “Ya Tuhan, ini dunia kok gini amat?” Tapi, kisah ini mengingatkan kita pada satu hal—perang bukan cuma soal senjata atau uang, tapi soal siapa yang bisa menyentuh hati rakyat. Yaman, dengan segala keterbatasannya, menang di ranah simbolis. Israel, dengan segala kelebihannya, kalah di ranah kemanusiaan. Dan kita, sebagai penonton, hanya bisa tersenyum miris—realitas ini absurd, tapi nyata, seperti sinetron yang tak pernah tamat, tapi penontonnya sudah bosan.

Daftar Sumber

  1. The Cradle “International airlines halt flights to Tel Aviv due to Yemeni air blockade.” The Cradle.
  2. Al Mayadeen https://english.almayadeen.net/news/politics/-israel–bombs-yemen-s-sanaa-airport–other-civilian-infrast
  3. Al Jazeera “Yemen’s Houthis claim hypersonic missile attack on Israel’s Ben Gurion airport.” Al Jazeera. 17 September 2024.
  4. AP News “Israeli airstrikes hit a Yemen airport as a jet with hundreds onboard was landing, UN official says.” AP News. 28 Desember 2024.
  5. Middle East Institute

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *