Connect with us

Opini

Serangan Israel Terhadap Pekerja Medis: Sebuah Kejahatan Kemanusiaan

Published

on

Pada 30 Maret 2025, di sebuah sudut yang penuh penderitaan di Gaza, sebuah momen tragis kembali mencatatkan dirinya dalam sejarah kelam konflik ini. Palestine Red Crescent Society (PRCS), dengan hati yang penuh kesedihan, mengumumkan bahwa mereka berhasil mengidentifikasi dan membawa pulang 14 jasad kru mereka yang hilang. Jasad-jasad ini berasal dari lingkungan Tal Al-Sultan di Rafah—delapan paramedis, lima anggota pertahanan sipil, dan satu staf PBB. Mereka ditemukan setelah hilang selama delapan hari. Namun, ini bukanlah acara reuni keluarga yang hangat. Keberadaan jasad-jasad mereka justru menimbulkan pertanyaan besar tentang definisi kemanusiaan yang diterapkan oleh Israel.

Bayangkan betapa terkejutnya tim penyelamat dari berbagai organisasi, seperti OCHA, Palang Merah, dan Pertahanan Sipil, saat mereka tiba di lokasi. Di sana, mereka menemukan Anwar Abdel Hamid al-Attar, pemimpin misi PRCS, dalam kondisi mengenaskan—potongan tubuhnya tersebar, bagaikan puzzle yang tak mungkin disatukan lagi. Peralatan keselamatan yang robek di sekitarnya hanya menambah kesan seolah-olah ini adalah hasil dari sebuah seni kekerasan yang dirancang dengan cermat. Apakah ini bentuk peringatan dari Israel? Mungkin saja. Sebuah dekorasi kematian yang menceritakan kisah yang jauh lebih kelam daripada sekadar pembunuhan.

Pada 29 Maret 2025, militer Israel dengan “keanggunan” khas mereka mengakui bahwa mereka memang menyerang ambulans dan truk pemadam kebakaran di Tal Al-Sultan. Dalam pernyataan mereka, Israel menyatakan bahwa mereka “menduga” bahwa kendaraan tersebut milik Hamas. Setelah tahu bahwa beberapa kendaraan itu adalah ambulans, mereka dengan ringan menyampaikan permintaan maaf: “Maaf, salah sasaran.” Kalimat ini mengingatkan kita pada seorang tukang jagal yang meminta maaf karena salah memotong ayam tetangga, padahal yang ia potong adalah sesama manusia yang tengah menjalankan tugas kemanusiaan.

Tentu saja, Israel memiliki penjelasan yang “sangat masuk akal.” Mereka menyatakan, “Kendaraan lain mendekat secara mencurigakan,” dan dengan demikian mereka menembak tanpa ragu, mengklaim bahwa mereka menargetkan teroris Hamas dan Jihad Islam. Betapa mudahnya memberi label “mencurigakan” pada sesuatu yang seharusnya dilindungi, seperti ambulans dengan sirene yang meraung, atau truk pemadam kebakaran yang membawa harapan hidup bagi yang terluka. Israel dengan begitu mudah mengabaikan tanda-tanda kemanusiaan—Palang Merah, tanda universal yang seharusnya melindungi pekerja medis—dan justru menganggapnya sebagai simbol ancaman.

Namun cerita ini semakin mengerikan saat PRCS menambahkan rincian lebih lanjut. Laporan mereka mengungkapkan bahwa pasukan Israel tidak hanya melakukan serangan, tetapi juga menggunakan buldoser untuk “mengubah fitur area,” menyembunyikan jasad-jasad warga sipil yang tak bersalah. Ini bukan sekadar pembunuhan—ini adalah sebuah operasi pembersihan dengan sentuhan desain lanskap. Mungkin setelah menewaskan 1.402 personel medis sejak Oktober 2023, Israel merasa perlu menambahkan estetika dalam daftar panjang kejahatan mereka.

Ini bukan angka biasa. 1.402 paramedis, perawat, dan dokter yang tewas adalah angka yang menggugah kesadaran kita bahwa dalam perang ini, yang menjadi korban bukan hanya yang terlibat dalam konflik langsung, melainkan mereka yang berada di garis depan menyelamatkan nyawa. Para pekerja medis ini seharusnya menjadi pelindung kehidupan, bukan sasaran tembak yang harus dihindari.

Tidak hanya itu, 111 anggota pertahanan sipil yang turut mengorbankan hidup mereka, serta 362 tenaga kesehatan dan 26 staf pertahanan sipil lainnya yang ditangkap sejak 7 Oktober 2023, menambah kesedihan ini. Banyak dari mereka yang disiksa hingga mati di pusat tahanan Israel. Apa kesalahan mereka? Mungkin karena mereka mencoba menyelamatkan nyawa di tengah hujan bom yang tak henti-hentinya. Dalam logika yang sangat terbalik ini, menjadi pejuang kemanusiaan seakan menjadi kejahatan yang harus dihukum.

Pada 23 Maret 2025, saat kru PRCS dan tim penyelamat lainnya bergegas ke Tal Al-Sultan untuk memberikan pertolongan kepada warga Palestina yang terluka akibat serangan Israel, saksi yang selamat melaporkan sebuah aksi eksekusi—tembakan langsung ke kepala dan dada, dengan tangan terikat. Ini bukan hanya sebuah pembunuhan, ini adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan yang harusnya mendasari setiap perang. Bagaimana mungkin tindakan semacam ini bisa dianggap sebagai operasi militer yang sah?

Sementara itu, pada 18 Maret 2025, Israel dengan santai mengakhiri gencatan senjata dan segera melanjutkan serangan mereka yang mengakibatkan lebih dari 1.000 warga Palestina tewas—separuhnya adalah perempuan dan anak-anak. Pada 25 Maret 2025, serangan tersebut menargetkan “pemimpin dan aktivis Hamas,” namun yang tewas adalah rakyat biasa, yang sedang berusaha bertahan hidup. Serangan ini menggambarkan sebuah pola yang lebih besar, di mana yang menjadi sasaran bukanlah para pejuang, tetapi mereka yang tak berdosa—para pekerja medis, anak-anak, perempuan, dan bahkan staf PBB yang berusaha menolong.

Dunia pun seakan terperangkap dalam kebisuan yang tak terjelaskan. PRCS meminta bantuan internasional untuk menekan Israel, menuntut agar nasib 13 pekerja medis dan staf pertahanan sipil yang masih hilang diungkapkan. Namun, meskipun seruan ini menggema, dunia tampaknya lebih suka menawarkan simpati dalam bentuk doa dan “keprihatinan mendalam,” daripada tindakan nyata yang bisa menghentikan kekejaman ini.

Israel telah menghancurkan lebih dari 34 rumah sakit, 80 pusat kesehatan, 162 institusi medis, 15 markas pertahanan sipil, serta merusak lebih dari 140 ambulans dan 54 truk pemadam kebakaran, menurut laporan Gaza’s Government Media Office. Ini bukanlah sekadar serangan militer terhadap ancaman yang nyata—ini adalah penghancuran sistematis terhadap segala upaya yang berfokus pada penyelamatan kehidupan manusia. Jika dahulu perang dihadapi dengan senjata, kini, dalam dunia yang suram ini, perang tampaknya lebih mengarah pada penghancuran seluruh sistem yang menyelamatkan nyawa, bahkan jika itu adalah ambulans yang tengah membawa pasien yang terluka.

Di tengah kebisuan dunia yang terus berlanjut, Israel tampaknya tak terpengaruh dengan kritik internasional. Konvensi Jenewa yang dibuat dengan tinta mewah seakan hanya menjadi lembaran hukum yang dilupakan begitu saja, dibaca hanya sebagai panduan tentang “apa yang tidak boleh dilakukan—kecuali Anda benar-benar ingin melakukannya.” Pembunuhan paramedis yang tengah berusaha menyelamatkan nyawa? Cek. Menembaki ambulans dengan warga sipil di dalamnya? Cek. Menggunakan buldoser untuk mengubur bukti-bukti kejahatan? Cek ganda, dengan bintang emas untuk kreativitas.

Sementara dunia terus terperangkap dalam rutinitas diplomatik yang tampaknya tak pernah membuahkan hasil, kita sebagai penonton hanya bisa menggelengkan kepala atau menulis satir ini, berharap bahwa suatu hari suara kita akan didengar. Satu hal yang pasti—dunia seharusnya berhenti terkejut dan mulai bertindak. Para pekerja medis, yang seharusnya menjadi simbol harapan dan kehidupan, kini telah menjadi simbol perjuangan yang terus-menerus berhadapan dengan kekejaman yang tak terbayangkan.

Referensi:

https://thecradle.co/articles/red-crescent-recovers-bodies-of-missing-paramedics-civil-defense-workers-killed-by-israel-in-gazas-rafah

https://thecradle.co/articles/israeli-army-admits-firing-on-gaza-ambulances-as-body-of-rescue-worker-found-executed-dismembered

https://thecradle.co/articles/israeli-army-killed-over-1400-medical-staff-in-gaza-since-start-of-genocide-officials

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *