Connect with us

Opini

Serangan Israel ke Gaza, Untuk Siapa?

Published

on

“Ketegangan telah mencapai puncaknya,” menurut laporan radio militer Israel. Antara siapa? Antara Kepala Staf Militer Eyal Zamir dan elit politik Tel Aviv yang entah sedang merumuskan strategi perang atau sedang bermain tebak-tebakan di ruang kabinet. Kata Zamir, tentara tak diberi arahan yang jelas. Kabinet bahkan sudah lama tak bersidang. Tak ada peta jalan. Tak ada instruksi. Hanya peluru, drone, tank, dan retorika yang diulang-ulang seperti kaset kusut.

Di sebuah wilayah bernama Gaza—yang lebih mirip penjara terbuka daripada kota—rakyat sipil dihantam siang dan malam oleh proyektil berteknologi tinggi. Di Tel Aviv, para jenderal bertanya-tanya: “Kita ini mau ke mana sebenarnya?” Tapi perang tetap berlangsung. Seperti mobil yang kehilangan setir tapi dipaksa tetap melaju, hanya karena penumpangnya malu mengakui bahwa mereka tersesat.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Kepala Staf Zamir bukan sedang membaca puisi melankolis. Ia bicara tentang kenyataan bahwa tentaranya kelelahan, “deep fatigue,” katanya. Tapi perang ini, seperti halnya beberapa tokoh negara yang keras kepala, tidak mengenal empati. Bahkan ketika para jenderal mulai ragu, pemerintah tetap yakin. Yakin bahwa perang adalah satu-satunya jalan untuk menyembunyikan kegagalan. Yakin bahwa menghancurkan Gaza entah bagaimana bisa membuat mereka terlihat kuat.

Zamir mengatakan militernya siap untuk “fleksibilitas”. Itu bahasa halus dari: “mari kita cari jalan keluar yang masuk akal.” Tapi di seberang meja, politisi-politisi zionis mengunyah kata “kemenangan total” seperti permen karet basi. Tujuan awal perang ini? Menghancurkan Hamas, membebaskan tawanan, mengembalikan rasa aman. Tiga hal yang hingga kini justru semakin menjauh.

Apa yang terjadi ketika perang kehilangan tujuan tapi terus dipelihara? Yang terjadi adalah absurd. Seperti orang yang terus meninju dinding karena dibilang akan menemukan pintu jika cukup kuat. Tapi yang runtuh bukan dindingnya, melainkan tulangnya sendiri. Perang ini bukan lagi tentang strategi militer, melainkan tentang siapa yang lebih keras kepala.

Dalam dua bulan terakhir saja, setidaknya 38 tentara zionis tewas di Gaza. Laporan internal menyebut Hamas semakin agresif dalam operasi gerilya. Dan seperti perang-perang kolonial lainnya dalam sejarah, tentara pendudukan selalu tersandung di tanah yang mereka klaim sebagai milik Tuhan.

Zamir terang-terangan mengatakan: jika perang ini terus berlangsung tanpa arah, justru Hamas yang diuntungkan. Tapi tampaknya, Netanyahu dan kroninya bukan sedang ingin menang. Mereka hanya ingin terlihat tidak kalah. Dan untuk itu, seluruh Gaza harus membayar sebagai korban.

Menariknya, proposal militer untuk “mengelilingi dan menguras Gaza” dipilih karena lebih masuk akal dibanding “menduduki seluruh wilayah”. Tapi kalimat itu sendiri sudah cukup untuk membuat orang normal muntah: “menguras Gaza”? Seperti apa membayangkan manusia dikuras layaknya isi botol? Tapi bagi para perencana perang, nyawa adalah statistik, dan penderitaan adalah angka yang bisa ditutupi dengan pidato.

Dan ketika para keluarga tawanan meminta jalan damai demi keselamatan orang tercinta, Netanyahu justru menyodorkan “kemenangan militer”. Kemenangan macam apa yang didapat dengan mengabaikan nyawa warganya sendiri? Sepertinya, dalam kalkulasi elite Tel Aviv, tawanan bisa dikorbankan demi mempertahankan narasi bahwa mereka sedang memerangi “teror”. Padahal, jika ada yang benar-benar memelihara teror, justru mereka yang meledakkan rumah sakit dan menyebutnya collateral damage.

Lalu siapa sebenarnya yang diuntungkan dari semua ini? Bukan rakyat Israel, yang kini takut bepergian karena dicap sebagai warga negara penjahat perang. Bukan tentara Israel, yang mulai mempertanyakan misi yang tak punya akhir. Bukan tawanan, yang makin terancam tiap kali bom dijatuhkan. Mungkin satu-satunya yang bersorak diam-diam adalah industri senjata, para produsen bom pintar, dan politisi oportunis yang senang berkampanye di atas puing sekolah dan darah anak-anak.

Sementara itu di Gaza, setiap hari adalah ujian sabar. Mereka yang masih hidup bukan hanya menahan lapar dan luka, tapi juga harus menanggung kebohongan global yang menyebut mereka sebagai “manusia perisai”. Dunia seperti menutup mata, atau sibuk memilih diksi yang netral, agar tetap terlihat sopan saat membiarkan genosida.

Mereka yang masih percaya bahwa perang ini bisa dimenangkan tampaknya masih terjebak dalam nostalgia masa kolonial. Mereka pikir rakyat bisa dipatahkan dengan bom dan kelaparan. Padahal yang tumbuh di Gaza bukan hanya reruntuhan, tapi tekad yang makin keras. Bukan karena mereka ingin mati, tapi karena mereka menolak hidup dengan tunduk.

Pemerintah zionis kini seperti orang yang menolak menerima kenyataan bahwa rumahnya terbakar karena menyalakan api sendiri. Mereka menuding Hamas sebagai biang kekacauan, tapi lupa bahwa merekalah yang menutup perbatasan, menghancurkan ekonomi, dan memaksa rakyat Palestina hidup seperti tahanan. Jika ada yang membakar, mengapa tidak memadamkan? Mengapa malah menyiramkan bensin?

Serangan ke Gaza, jika ditanya “untuk siapa?”, jawabannya tampaknya bukan untuk rakyat. Bukan untuk keamanan. Bukan untuk sandera. Serangan ini untuk ego. Untuk kolonialisme yang belum selesai. Untuk Netanyahu, agar bisa terus bertahan dari gelombang kritik internal dan potensi hukuman penjara. Untuk para menteri ekstremisnya, yang bermimpi membangun permukiman Yahudi di atas abu warga Palestina.

Dan kita di sini, menyaksikan dari jauh, mungkin bisa tersenyum getir melihat bagaimana sebuah bangsa yang menyebut dirinya paling bermoral justru tenggelam dalam absurditas paling brutal. Ironis, bahwa di abad ke-21, pembunuhan massal masih bisa dibungkus dengan kata “hak membela diri”, dan dunia yang katanya beradab hanya bisa berdebat soal resolusi.

Akhir dari perang ini mungkin masih jauh. Tapi akhir dari ilusi tentang siapa yang beradab dan siapa yang barbar—itu sudah runtuh sejak lama. Yang disebut barbar justru yang mati kelaparan dan tetap berdoa. Yang disebut beradab justru yang punya teknologi canggih untuk membunuh anak-anak dan tetap bersikeras bahwa mereka korban.

Mungkin yang paling jujur dalam perang ini adalah rakyat Gaza. Mereka tak pernah mengaku kuat, tak pernah mengaku suci, tapi mereka bertahan. Bukan karena ingin mati, tapi karena hidup dengan ketundukan adalah bentuk kematian yang lebih menyakitkan.

Dan kita, yang mengaku peduli, setidaknya jangan ikut-ikutan pura-pura tidak tahu. Karena pada akhirnya, sejarah akan mencatat: siapa yang berdiri, dan siapa yang diam saat kemanusiaan diinjak-injak.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Ketika Zionis Kekurangan 10 Ribu Pasukan untuk Serbu Gaza - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer