Opini
Serang Hamas, Abbas Antek Netanyahu

Ramallah berdiri megah dengan gedung-gedung pemerintahan, namun di balik fasadnya, suara kemarahan rakyat Palestina bergema. Mahmoud Abbas, Presiden Otoritas Palestina, melontarkan kata-kata pedas, menyebut Hamas “sons of bitches” karena menahan tawanan Israel di Gaza, termasuk Adi Alexander, yang katanya memberi alasan bagi Israel untuk membantai 51.000 warga Palestina. Tapi, benarkah Abbas peduli pada rakyatnya, atau ia sekadar memainkan peran sebagai antek Netanyahu, menyerang Hamas demi kepentingan Israel?
Abbas berbicara di sidang PLO, mengeluh bahwa ia dan rakyat “membayar harga” ulah Hamas yang tidak membebaskan 58 tawanan, 34 di antaranya diduga tewas. Ia menuding Hamas memperpanjang penderitaan Palestina. Namun, ironisnya, Abbas tidak menyebut 8.000 tahanan Palestina yang merana di penjara Israel, banyak tanpa pengadilan. Mengapa ia memilih menyerang Hamas alih-alih menuntut Israel? Jawabannya jelas: Abbas terjebak dalam peran yang menguntungkan pendudukan.
Perjanjian Oslo, yang dirancang Abbas bersama Yasser Arafat, menjadi belenggu. PA hanya diberi kuasa terbatas di Area A dan B, sementara Israel mengendalikan 60% Tepi Barat. PA bergantung pada pajak yang dikumpulkan Israel, yang sering dipotong sebagai hukuman, seperti pada 2023. Koordinasi keamanan, bagian dari Oslo, memaksa PA berbagi informasi, membantu Israel menangkap warga Palestina. Abbas menerima sistem ini, menjadikan PA kepanjangan tangan Israel.
Lihatlah operasi PA di Jenin, yang menewaskan lima pejuang Palestina. Warga menyebutnya pengkhianatan, karena PA, alih-alih melawan razia Israel yang membunuh 10 orang di Jenin, justru menargetkan pejuang Palestina. Koordinasi keamanan ini bukan sekadar kewajiban, tetapi bukti bahwa Abbas lebih peduli menjaga stabilitas untuk Israel daripada melindungi rakyatnya. Sementara itu, Hamas, meski berdarah-darah, berhasil membebaskan 200 tahanan Palestina melalui pertukaran sandera.
Hamas, dengan serangan 7 Oktober yang menewaskan dan menyandera 251 orang, menunjukkan perlawanan nyata. Mereka menukar sandera dengan tahanan Palestina, sesuatu yang tidak pernah dilakukan Abbas. Video dari al-Qassam Brigades menampilkan Omri Miran, tawanan Israel, yang mengecam Netanyahu karena membiarkan sandera mati. Hamas bahkan kehilangan kontak dengan unit yang menahan Edan Alexander akibat bombardemen Israel, namun tetap berjuang. Abbas? Ia hanya mengkritik dari kursi nyamannya.
Sementara Hamas bertaruh nyawa demi tahanan Palestina, Abbas sibuk menyalahkan mereka. Ia tidak pernah membebaskan satu pun tahanan Palestina secara langsung. Upaya diplomatiknya, seperti aksesi ICC atau pidato di PBB, tidak menghasilkan apa-apa. Ketika Israel membebaskan 90 tahanan pada Januari 2025, itu karena kesepakatan dengan Hamas, bukan Abbas. Namun, Abbas dengan bangga menyambut mereka, seolah-olah itu prestasinya. Kemunafikan ini mencolok.
Jajak pendapat menunjukkan 73% warga Palestina ingin Abbas mundur, 80% menyebut PA korup. Warga Tepi Barat, yang menghadapi razia Israel tanpa perlindungan PA, merasa dikhianati. Demonstrasi di Ramallah dan Jenin mencerminkan kemarahan terhadap PA yang lebih suka menahan aktivis seperti Nizar Banat daripada melawan Israel. Abbas, hidup nyaman di Ramallah, tampaknya lebih peduli pada kekuasaannya daripada penderitaan rakyat yang ia klaim wakili.
Kritik Abbas terhadap Hamas bukan sekadar emosi, tetapi strategi yang selaras dengan agenda Netanyahu. Dengan menuding Hamas sebagai penyebab kematian ribuan warga Gaza, ia menggemakan narasi Israel, mengalihkan fokus dari pendudukan. Netanyahu, yang didukung menteri seperti Bezalel Smotrich yang menyebut pembebasan tawanan “bukan prioritas,” pasti tersenyum melihat Abbas melemahkan Hamas. Perpecahan Fatah-Hamas adalah kado bagi Israel, memudahkan kendali atas Palestina.
Abbas mungkin berpikir kritiknya akan menekan Hamas untuk mengurangi eskalasi, tapi efeknya justru sebaliknya. Ia memperdalam perpecahan Palestina, membuat rakyat semakin terpecah. Sementara Hamas, meski dikecam karena kekerasan, menunjukkan hasil: tahanan Palestina pulang. Abbas, dengan diplomasinya yang mandul, hanya menawarkan kata-kata kosong. Ia tidak menuntut Israel membebaskan tahanan Palestina, tetapi sibuk menyerang Hamas, seolah-olah mereka musuh utama, bukan menyerang pendudukan.
Struktur Oslo memang menjebak PA, tapi Abbas bukan korban tak berdaya. Ia memilih tetap dalam sistem yang memberinya otoritas terbatas dan kenyamanan elit. Ketergantungan pada pajak Israel dan bantuan Barat membuatnya enggan menentang pendudukan. Bahkan ketika ia menangguhkan koordinasi keamanan setelah serangan Jenin, itu hanya sementara. Abbas kembali pada skrip lama: menjaga stabilitas untuk Israel, menyerang perlawanan, dan mengabaikan penderitaan rakyat.
Hamas, dengan segala kekurangannya, menolak Oslo dan memilih perlawanan. Serangan mereka memicu pembalasan mengerikan, tapi juga memaksa Israel bernegosiasi. Abbas, sebaliknya, memilih jalan yang aman, yang hanya memperpanjang penderitaan. Kritiknya terhadap Hamas, yang berjuang untuk tahanan Palestina yang diperlakukan keji, adalah bukti bahwa ia lebih suka menjadi sekutu Netanyahu daripada pemimpin rakyatnya. Ia bukan sekadar terjebak—ia memilih menjadi antek pendudukan.
Rakyat Palestina tidak buta. Mereka melihat Abbas, yang hidup di istana Ramallah, menyerang Hamas sementara Israel memperluas permukiman dan menahan ribuan warga. Mereka tahu bahwa PA, dengan koordinasi keamanannya, lebih sering melindungi kepentingan Israel daripada rakyat. Ketika Abbas menyebut Hamas penyebab malapetaka, ia lupa cermin: dialah yang, dengan setiap kata pedasnya, memperkuat cengkeraman Netanyahu atas Palestina.
Sementara Omri Miran memohon kepada dunia dari tawanan Hamas, menuduh Netanyahu mengabaikan nyawanya, Abbas memilih menyerang Hamas, bukan Israel. Ini bukan sekadar kesalahan strategi, tetapi pengkhianatan. Abbas, dengan segala retorikanya, bukan pemimpin perjuangan Palestina, melainkan pion dalam permainan Netanyahu. Kritiknya terhadap Hamas adalah nyanyian pengantar tidur bagi pendudukan, memastikan Israel tetap berkuasa sementara rakyat Palestina terus menderita.
Di Tepi Barat, warga menghadapi razia Israel tanpa perlindungan. Mereka melihat PA, yang seharusnya menjadi harapan, justru menahan pejuang mereka sendiri. Abbas, dengan kritiknya terhadap Hamas, tidak hanya gagal sebagai pemimpin, tetapi juga menjadi alat Israel untuk memecah belah Palestina. Ia bukan sekadar antek Netanyahu—ia adalah wajah dari kepasrahan, yang dengan setiap kata, memperpanjang umur pendudukan yang menghancurkan rakyatnya.
Daftar Sumber
- Middle East Eye. (2025). Palestinian president Mahmoud Abbas urges ‘sons of bitches’ Hamas to release Israeli captives. – https://www.middleeasteye.net/news/palestinian-president-mahmoud-abbas-urges-sons-bitches-hamas-release-israeli-captives
- Al Mayadeen. (2025). Netanyahu, the reason for October 7 – captive says in al-Qassam video. – https://english.almayadeen.net/news/politics/netanyahu–the-reason-for-october-7—captive-says-in-al-qas
- Addameer Prisoner Support and Human Rights Association. (2023). Statistics on Palestinian prisoners in Israeli jails.
- Palestinian Center for Policy and Survey Research (PSR). (2023). Public Opinion Poll No. 88.
- Peoples Dispatch. (2024). Palestinian Authority’s deadly raid in Jenin sparks outrage.
- Transparency International. (2023). Corruption Perceptions Index.