Connect with us

Opini

Semua Bahagia Gencatan Senjata, Kecuali Dua Orang

Published

on

Semua orang di dunia ini tampaknya bisa bernapas lega ketika berita gencatan senjata di Gaza diumumkan. Dari warga Gaza yang bertahan hidup di tengah reruntuhan, hingga warga Israel yang berharap kembalinya sandera dengan selamat. Semua orang merasa ini adalah langkah ke arah perdamaian. Semua orang, kecuali dua orang di pemerintahan Israel.

Adalah Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir, dua sosok yang mendadak merasa dunia berhenti berputar begitu gencatan senjata diumumkan. Menurut mereka, langkah ini adalah “berbahaya” dan “mengancam keamanan nasional Israel.” Mereka berbicara seolah-olah perang selama ini adalah piknik yang sukses, padahal hasilnya adalah kehancuran, bukan kemenangan.

Smotrich dengan lantang mengatakan bahwa kesepakatan ini menghancurkan “pencapaian perang.” Tapi tunggu sebentar, pencapaian apa yang ia maksud? Gaza luluh lantak, ribuan nyawa melayang, dan bahkan sandera Israel sendiri berada dalam bahaya karena serangan udara tanpa pandang bulu. Itu pencapaian? Ini lebih terdengar seperti ironi tragis.

Tidak puas dengan sekadar mengkritik, Smotrich juga mengancam akan meninggalkan pemerintahan jika perang tidak dilanjutkan. Logika ini sungguh sulit dipahami. Jika Anda tahu tindakan Anda akan membahayakan sandera Anda sendiri, bukankah masuk akal untuk menghentikan serangan? Tapi rupanya, perang lebih penting daripada manusia.

Ben-Gvir, di sisi lain, juga tidak kalah absurd. Ia menyebut kesepakatan ini sebagai “tidak bertanggung jawab” dan mendesak agar serangan dilanjutkan. Dengan tekanan penuh, ia berusaha menggagalkan gencatan senjata. Tidak jelas apa yang ingin ia capai, selain mungkin penghancuran total Gaza dan kelanjutan siklus kekerasan tanpa akhir.

Di balik pernyataan-pernyataan mereka, satu hal menjadi jelas: mereka tidak peduli dengan nyawa. Tidak dengan nyawa warga Gaza yang terus menjadi korban, atau dengan nyawa sandera Israel yang menjadi taruhan dalam setiap serangan. Yang mereka inginkan hanyalah perang, seolah-olah itu adalah permainan strategi tanpa konsekuensi nyata.

Padahal, kebijakan mereka selama ini sudah membuktikan kegagalannya. Hamas masih ada, Gaza masih menjadi zona konflik, dan Israel sendiri tidak lebih aman. Serangan demi serangan hanya menciptakan lebih banyak kebencian, memperkuat semangat perlawanan, dan memastikan bahwa siklus kekerasan ini akan terus berulang tanpa solusi.

Gencatan senjata ini, meskipun sementara, adalah harapan kecil bagi warga Gaza dan Israel. Keluarga yang terpisah oleh perang akhirnya bisa bertemu. Para sandera bisa pulang. Tetapi bagi Smotrich dan Ben-Gvir, ini adalah ancaman terhadap ego politik mereka. Mereka lebih memilih perang yang tidak menghasilkan apa-apa daripada perdamaian.

Apakah mereka benar-benar peduli dengan keamanan Israel? Jika mereka peduli, mereka akan mendukung gencatan senjata ini sebagai langkah menuju solusi diplomatik. Tetapi tidak, mereka lebih memilih narasi destruktif, mengabaikan fakta bahwa pendekatan militeristik selama ini hanya menciptakan lebih banyak masalah daripada menyelesaikannya.

Bagi dua orang ini, perang tampaknya adalah cara untuk mempertahankan kekuasaan dan ideologi mereka. Mereka tidak peduli bahwa setiap serangan menghancurkan kehidupan, baik di Gaza maupun di Israel. Mereka hanya peduli pada agenda mereka, bahkan jika itu berarti melawan arus perdamaian yang diinginkan dunia.

Dalam satire ini, kita hanya bisa bertanya-tanya: bagaimana dunia bisa bahagia sementara dua orang ini terus mengeluh? Mereka seperti tamu di pesta yang mengeluh makanannya terlalu asin, padahal semua orang sedang menikmati suasana. Dunia menginginkan perdamaian, tetapi mereka malah ingin mengirim lebih banyak peluru.

Jika perdamaian adalah ancaman bagi mereka, mungkin dunia perlu mempertanyakan apa sebenarnya tujuan mereka. Karena dari cara mereka bertindak, jelas bahwa ini bukan tentang keamanan nasional, melainkan tentang perang sebagai alat politik. Dunia bisa bahagia tanpa perang, tetapi dua orang ini sepertinya tidak tahu bagaimana hidup tanpa konflik.

Akhirnya, kita kembali pada kenyataan: perang di Gaza bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga cermin dari absurditas politik. Dan di tengah absurditas ini, ada dua orang yang memilih untuk berdiri di sisi sejarah yang salah. Dunia bahagia dengan gencatan senjata, kecuali dua orang yang tampaknya lebih mencintai perang daripada perdamaian.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *