Connect with us

Opini

Selamat Tinggal, Presiden Sandal: Warisan Mujica yang Abadi

Published

on

Dengan kesedihan mendalam, Presiden Uruguay Yamandu Orsi mengumumkan kepergian Jose “Pepe” Mujica, mantan presiden yang dijuluki “termiskin di dunia,” pada usia 89 tahun. “Kami kehilangan sahabat, pemimpin, dan pemandu,” tulis Orsi di X, suaranya seolah mencerminkan duka sebuah bangsa. Mujica, yang didiagnosis kanker esofagus pada Mei 2024, akhirnya menyerah setelah kanker itu menyebar ke hatinya. Di minggu terakhir, istrinya, Lucia Topolansky, menyebut ia hanya menerima perawatan paliatif. Kini, dunia kehilangan sosok yang hidupnya bagai cermin: sederhana, namun memantulkan pertanyaan besar tentang makna kekuasaan, kekayaan, dan kehidupan itu sendiri. Apa artinya memimpin, jika bukan untuk rakyat?

Mujica bukan sekadar presiden Uruguay dari 2010 hingga 2015. Ia adalah paradoks di zaman yang haus gemerlap. Di tengah dunia yang memuja konsumerisme, ia memilih tinggal di peternakan kecilnya di pinggiran Montevideo, menolak kemewahan istana presiden. Bayangkan: seorang kepala negara yang mengendarai Volkswagen Beetle tua, mengenakan sandal ke acara resmi, dan menyumbangkan 90% gajinya untuk amal. Menurut laporan DW, gaya hidupnya ini membuatnya dijuluki “presiden termiskin,” tapi benarkah ia miskin? Bukankah kemiskinan sejati adalah ketika seseorang kehilangan waktu, kebebasan, atau tujuan? Mujica justru kaya—kaya akan keyakinan bahwa hidup bermakna bukan diukur dari harta, melainkan dari apa yang kau berikan.

Latar belakangnya sebagai mantan pejuang gerilya menambah lapisan pada kisahnya. Di era 1960-an, Mujica bergabung dengan gerakan Tupamaros, melawan kediktatoran di Uruguay. Ia ditangkap, disiksa, dan menghabiskan 14 tahun di penjara, sebagian besar dalam isolasi. Pengalaman itu, kata dia dalam wawancara dengan BBC pada 2013, membentuk pandangannya: hidup adalah tentang bertahan, berbagi, dan tidak terikat pada materi. Ketika akhirnya menjadi presiden, ia membawa semangat itu ke politik. Uruguay, di bawah Mujica, menjadi pelopor kebijakan progresif di Amerika Latin. Ia melegalkan aborsi, pernikahan sesama jenis, dan—yang paling kontroversial—penggunaan ganja pada 2013, menjadikan Uruguay negara pertama di dunia yang melakukannya. Ini bukan sekadar kebijakan; ini adalah pernyataan bahwa negara harus berani mendahulukan kesejahteraan rakyat, meski dunia belum siap.

Tapi, apa yang membuat Mujica begitu istimewa di mata dunia? Tributes dari para pemimpin global memberikan petunjuk. Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum, dalam unggahannya di X, menyebutnya “teladan bagi Amerika Latin dan dunia” karena kebijaksanaan dan kesederhanaannya. Evo Morales, mantan presiden Bolivia, mengenangnya sebagai “saudara” yang nasihatnya penuh pengalaman. Bahkan Pedro Sanchez, Perdana Menteri Spanyol, memuji Mujica sebagai sosok yang “berjuang untuk dunia yang lebih baik.” Pemerintah Brasil, di bawah Luiz Inacio Lula da Silva, menjulukinya “salah satu humanis terpenting zaman ini.” Kata-kata ini bukan sekadar basa-basi diplomatik. Mereka mencerminkan betapa Mujica, dengan caranya yang nyaris monastik, mengguncang cara kita memandang kepemimpinan. Di tengah skandal korupsi dan gaya hidup mewah para elit global, ia adalah pengingat bahwa memimpin bisa sederhana—dan harus begitu.

Di Indonesia, cerita Mujica terasa seperti angin segar sekaligus tamparan. Kita hidup di negara di mana laporan harta kekayaan pejabat (LHKPN) sering jadi bahan olok-olok. Kenaikan harta yang tak masuk akal, mobil mewah, atau rumah megah kerap jadi headline, sementara rakyat kecil masih berjuang untuk makan. Menurut Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2024 berada di peringkat 115 dari 180 negara—jauh dari ideal. Politik di sini mahal; kampanye butuh miliaran, dan banyak pejabat merasa perlu “balik modal.” Mujica, yang menolak istana demi peternakan, menantang logika ini. Apa jadinya jika seorang gubernur atau menteri di Indonesia memilih naik motor butut ketimbang SUV? Mungkin dicemooh sebagai gimmick, tapi bukankah itulah yang kita butuhkan: keberanian untuk melawan arus?

Setelah pensiun pada 2015, Mujica tak berubah. Ia tetap di peternakannya, menanam bunga krisan bersama Lucia, istrinya yang juga politisi. Ia aktif sebagai senator hingga 2020, lalu mundur karena usia dan kesehatan. Dalam wawancara dengan The Guardian pada 2018, ia berkata, “Saya tidak ingin jadi orang tua yang cuma duduk dan mengeluh. Saya ingin tetap berguna.” Ia menulis, berpidato, dan menginspirasi—tak pernah lelah mengkritik kapitalisme yang, katanya, “membuat kita lupa arti kebersamaan.” Hidupnya adalah bukti bahwa pensiun bukan akhir, melainkan babak baru untuk terus memberi. Di Indonesia, banyak pensiunan pejabat sibuk menjaga pengaruh atau bisnis. Mujica? Ia memilih bunga dan ide-ide.

Konteks lokal kita membuat warisan Mujica terasa bittersweet. Di sini, kesederhanaan sering dianggap naif, bahkan mustahil. Budaya patronase, di mana pejabat diharapkan “membantu” keluarga atau konstituen, mendorong akumulasi harta. Biaya politik yang tinggi—menurut studi Komisi Pemilihan Umum 2019, calon legislatif bisa menghabiskan hingga Rp 5 miliar untuk kampanye—membuat korupsi terasa seperti “keharusan.” Tapi Mujica menunjukkan jalan lain. Ia hidup dari pensiun sederhana dan penghasilan peternakan, tak pernah mengeluh. Pertanyaannya: bisakah sistem kita melahirkan Mujica? Atau akankah kita terus terjebak dalam lingkaran pragmatisme?

Kematiannya pada 2025 bukan sekadar akhir hidup seorang pria. Ini adalah panggilan untuk berefleksi. Dunia, termasuk Indonesia, sedang bergulat dengan ketimpangan, polarisasi, dan krisis kepercayaan pada pemimpin. Mujica meninggalkan pelajaran bahwa kekuasaan bukan soal apa yang kau miliki, tapi apa yang kau lakukan dengannya. Ia tak sempurna—kebijakan ganjanya, misalnya, menuai kritik karena implementasinya yang rumit, menurut laporan Reuters 2017. Tapi ia berani mencoba, berani salah, dan berani hidup sesuai keyakinannya. Di Indonesia, kita punya tokoh seperti Buya Syafii Maarif atau Gus Dur yang juga menawarkan kesederhanaan dan integritas. Tapi mengapa teladan seperti ini terasa langka?

Saat menulis ini, saya teringat seorang teman yang pernah bilang, “Pemimpin baik itu kayak dongeng—ada, tapi susah dicari.” Mujica membuktikan dongeng itu nyata, tapi juga rapuh. Ia bisa hidup sederhana karena Uruguay punya sistem politik yang relatif stabil dan masyarakat yang menghargai integritas. Indonesia, dengan segala kompleksitasnya, butuh lebih dari sekadar niat baik. Kita butuh reformasi: pengawasan ketat pada harta pejabat, pendanaan politik yang transparan, dan pendidikan yang menanamkan bahwa memimpin adalah soal memberi, bukan mengambil. Tanpa itu, Mujica hanya akan jadi kisah indah yang kita kagumi dari kejauhan.

Selamat jalan, Mujica. Kau pergi, tapi pelajaranmu tinggal. Kau mengajarkan bahwa menjadi “termiskin” bisa jadi kebanggaan, asal hati dan tindakanmu kaya. Untuk Indonesia, warisanmu adalah pertanyaan yang menggelisahkan: kapan kita punya pemimpin yang berani hidup seperti kau? Kapan kita, sebagai rakyat, berhenti memuja gemerlap dan mulai menghargai yang sederhana? Mungkin tak segera, tapi harapan itu ada—di setiap hati yang masih percaya pada kebaikan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *