Opini
Selamat Datang di Republik Jenderal, Selamat Tinggal Supremasi Sipil!

Di tengah teriknya matahari, ribuan mahasiswa turun ke jalan. Spanduk-spanduk terangkat tinggi, menuntut satu hal: batalkan revisi Undang-Undang TNI! Mereka berteriak, bukan hanya karena panas, tetapi karena demokrasi yang mereka perjuangkan sedang dicabik-cabik oleh pasal-pasal yang akan mengembalikan tentara ke atas panggung politik. Ironis? Tentu saja.
Undang-undang ini seperti mesin waktu. Dengan satu ketukan palu di DPR, kita seolah kembali ke masa ketika tentara bukan sekadar alat pertahanan negara, tetapi juga penentu kebijakan, pengawas rakyat, bahkan pemegang kendali bisnis. Reformasi 1998? Lupakan! Selamat datang di Republik Jenderal, tempat supremasi sipil hanyalah mitos.
Dengan wajah penuh kemenangan, para perancang revisi ini mengklaim bahwa mereka hanya ingin memperbaiki aturan lama. Kata mereka, TNI perlu modernisasi. Tapi jangan tertipu, modernisasi versi mereka adalah memberikan kekuasaan lebih besar kepada militer dalam urusan sipil. Kalau begitu, kenapa tidak sekalian ganti nama negara ini menjadi Negara Militer Indonesia?
Salah satu bagian paling mengerikan dari revisi ini adalah penghapusan izin DPR dalam operasi militer selain perang (OMSP). Artinya, presiden bisa mengerahkan tentara kapan saja, tanpa perlu repot-repot mendapat restu wakil rakyat. Kenapa susah-susah lewat jalur demokrasi kalau bisa langsung pakai tank dan senapan? Apalagi, dengan sejarah kita yang penuh dengan operasi militer yang sering kali justru merugikan rakyat sipil, keputusan ini jelas bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh.
Tapi tunggu dulu! Supremasi sipil bukan satu-satunya korban. Dengan revisi ini, TNI juga bisa berperan dalam penanganan narkotika. Bayangkan, pasukan yang seharusnya menjaga perbatasan kini akan ikut menggerebek kampung-kampung. Polisi? Mungkin sebentar lagi akan jadi anak bawang dalam penegakan hukum. Kenapa tidak sekalian serahkan semua urusan negara ke militer? Mulai dari keamanan siber, pengawasan publik, hingga ekonomi? Mungkin, sebentar lagi kita akan melihat jenderal yang juga bertugas sebagai kepala badan ekonomi, kementerian sosial, atau bahkan KPU. Siapa tahu?
Lebih jauh, pasal-pasal baru ini juga membuka pintu bagi TNI untuk terjun ke dunia siber. Apa urusannya tentara dengan internet? Jangan-jangan, mereka akan sibuk menyensor kritik terhadap pemerintah. Kalau ada mahasiswa protes di Twitter, jangan heran kalau yang datang mengetuk pintu bukan polisi, melainkan serdadu berseragam lengkap dengan senjata laras panjang. Peran ini tidak hanya bertentangan dengan supremasi sipil, tetapi juga memperbesar potensi penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Tak cukup dengan itu, revisi ini juga memperpanjang usia pensiun perwira tinggi. Panglima TNI kini bisa bertahan lebih lama, bahkan bisa diperpanjang dua kali. Dengan kata lain, regenerasi di tubuh militer akan terhambat, perwira muda harus menunggu lebih lama untuk naik jabatan, dan tentara tua akan terus bercokol di posisi strategis. Supremasi sipil? Lagi-lagi terabaikan. Tidak hanya itu, dengan semakin banyaknya perwira non-job yang bertumpuk di institusi TNI, solusi yang paling mudah tentu saja adalah “membuang” mereka ke lembaga-lembaga sipil. Dan begitulah, pelan-pelan tapi pasti, kita kembali ke masa di mana para perwira militer menguasai pemerintahan.
Yang paling kocak dari semua ini adalah cara revisi ini dibahas. Para wakil rakyat kita yang terhormat memilih membahasnya secara tertutup, seolah sedang menggodok resep rahasia. Draft revisi ini begitu sulit diakses, bahkan setelah disahkan. Transparansi? Ah, itu hanya slogan kosong yang ditulis di buku pelajaran PPKN. Lucunya, ketika masyarakat sipil mengkritik revisi ini, mereka justru dituduh menyebarkan hoaks. Pemerintah dan DPR seperti sedang bermain petak umpet dengan rakyatnya sendiri.
Tak heran jika mahasiswa marah. Mereka tahu bahwa revisi ini bukan sekadar soal teknis hukum, melainkan ancaman nyata terhadap demokrasi. Dengan UU ini, TNI tidak hanya berhak masuk ke jabatan sipil, tetapi juga bisa mengendalikan sektor-sektor strategis. Para mahasiswa di Blitar, Makassar, dan Bandung sudah bersuara, tetapi apakah suara mereka cukup keras untuk menembus dinding tebal Istana? Sayangnya, tampaknya yang duduk di dalam sana lebih sibuk mengamankan kursi dan jabatan mereka sendiri daripada mendengarkan suara rakyat.
Kalau ada yang bertanya, “Apa yang salah dengan TNI berperan lebih luas dalam pemerintahan?” Maka jawabannya sederhana: reformasi 1998 ada untuk mengakhiri dominasi militer dalam politik dan pemerintahan sipil. Dwifungsi ABRI dulu menjadi monster yang menggerogoti demokrasi. Kini, monster itu bangkit lagi, dengan kostum baru yang lebih rapi dan slogan yang lebih modern.
Sejarah mencatat bagaimana militer yang terlalu kuat akan membawa kehancuran demokrasi. Kita melihatnya di negara-negara lain, dari junta militer Myanmar hingga kediktatoran militer di Amerika Latin. Ketika tentara berkuasa, kebebasan sipil akan terkikis, suara rakyat akan direpresi, dan setiap kritik dianggap ancaman negara. Indonesia, apakah kita ingin masuk dalam daftar itu?
Konyolnya, mereka yang mendukung revisi ini berdalih bahwa ini semua demi keamanan negara. Tapi jangan tertipu! Keamanan yang mereka maksud bukan keamanan rakyat, melainkan keamanan mereka sendiri dari kritik dan oposisi. Mereka ingin memastikan bahwa rakyat tetap diam, tunduk, dan patuh di bawah bayang-bayang seragam hijau. Dan jika ada yang berani melawan? Ya, mungkin mereka akan dianggap musuh negara.
Dan yang lebih menyedihkan, DPR tidak berusaha sedikit pun untuk membela rakyat. Alih-alih berdebat panjang, revisi ini lolos dengan cepat, seperti transaksi bisnis yang sudah disepakati di ruang tertutup. DPR, yang seharusnya menjadi benteng terakhir demokrasi, malah menjadi pelayan setia kepentingan elite. Mereka yang seharusnya melindungi rakyat justru dengan sukarela membuka pintu bagi militer untuk masuk lebih dalam ke kehidupan sipil.
Lalu, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita akan diam saja melihat militer kembali merajalela? Ataukah kita akan mengikuti jejak mahasiswa yang sudah berani turun ke jalan? Pilihannya ada di tangan kita. Satu hal yang pasti: jika revisi ini dibiarkan, dalam beberapa tahun ke depan kita mungkin akan melihat lebih banyak jenderal di kantor-kantor pemerintahan daripada di barak.
Jika demokrasi adalah pertempuran, maka revisi UU TNI ini adalah peluru yang ditembakkan langsung ke jantung supremasi sipil. Jangan sampai kita baru sadar ketika sudah terlambat, ketika demokrasi hanya tinggal kenangan, dan ketika kita semua sudah terbiasa diperintah oleh para jenderal. Saat itu tiba, kita hanya bisa berkata: selamat tinggal reformasi, selamat datang Orde Baru jilid dua!
Referensi: