Opini
Sejarawan: Israel Sedang Menuju Kehancuran

Israel, negara yang dulu digadang-gadang sebagai pionir dalam teknologi militer dan keamanan, kini dihadapkan pada kenyataan pahit: tentara mereka kehilangan rasa percaya diri. Seorang sejarawan militer Israel, Uri Bar-Joseph, mengatakan bahwa militer Israel sekarang adalah “tentara yang buruk dan histeris,” kehilangan arah setelah serangan memalukan pada 7 Oktober 2023. Jika itu bukan tanda bahwa semuanya sedang berantakan, apa lagi?
Tentu saja, solusi yang paling bijak untuk menangani masalah ini adalah dengan menambah lebih banyak pasukan. Ya, pasukan! Tidak peduli seberapa banyak kerugian yang sudah dialami, mari kita tambahkan lebih banyak tentara ke medan perang. Bar-Joseph bahkan mengatakan bahwa menggandakan pasukan adalah ide yang salah. Tapi siapa peduli dengan saran sejarawan ketika anggaran militer Israel saja sudah mencapai $77,25 miliar? Uang bisa membeli segalanya, bahkan mungkin kebodohan.
Israel sepertinya sangat yakin bahwa uang adalah segalanya. Anggaran pertahanan yang diperkirakan akan mencapai 1 triliun NIS pada 2034 bukan hanya sekadar angka fantastis, tapi juga simbol dari ketidakmampuan untuk melihat lebih dari sekadar kekuatan militer. Bukankah lebih baik jika mereka mengalokasikan sebagian dana itu untuk meningkatkan kualitas pasukan mereka, daripada sekadar menambah jumlah tentara yang tidak tahu apa yang mereka lakukan di lapangan?
Lalu ada juga masalah di Suriah. Israel dengan percaya diri melakukan pelanggaran hukum internasional, memasuki wilayah Suriah tanpa ada pemicu. Seolah-olah dunia ini adalah taman bermain mereka, di mana mereka bisa melakukan apa saja tanpa takut konsekuensi. Dan yang lebih memalukan, mereka sepertinya merasa itu adalah keputusan yang cerdas. Di mana tanggung jawab mereka sebagai negara? Sepertinya Israel percaya bahwa hukum internasional hanya berlaku bagi negara lain, bukan untuk mereka.
Di sisi lain, Israel tampaknya terjebak dalam kebanggaan yang tak berujung atas kendali mereka atas Tepi Barat selama 58 tahun. 58 tahun, saudara-saudara, dan mereka masih gagal untuk menekan perlawanan Palestina. Mungkin sudah saatnya untuk bertanya, apakah cara mereka benar-benar efektif? Tetapi, tentu saja, pertanyaan itu tidak akan pernah muncul dalam rapat kabinet Israel, karena lebih mudah menyalahkan orang lain daripada merefleksikan kegagalan sendiri.
Namun, yang paling menggelikan adalah konsep perang ofensif yang sudah usang itu. Di dunia yang semakin mengandalkan teknologi dan pertahanan jarak jauh, Israel masih berpegang pada pola pikir lama yang hanya mementingkan serangan langsung. Bar-Joseph bahkan menunjukkan bahwa konsep ini harus segera diganti, tetapi siapa yang peduli dengan evolusi strategi ketika mereka bisa terus menggulirkan anggaran dan lebih banyak pasukan ke dalam mesin perang yang sudah rusak?
Mungkin inilah masalah terbesar Israel: mereka sudah terlalu lama bergantung pada kekuatan militer untuk mengendalikan segala hal. Alih-alih berusaha mencari solusi diplomatik yang dapat mengakhiri konflik, mereka malah menciptakan lebih banyak musuh dengan pendekatan yang semakin kasar. Dilema besar yang dihadapi Israel adalah mereka tidak tahu kapan harus berhenti. Tentu saja, mereka akan terus berusaha mengerahkan lebih banyak kekuatan, sampai akhirnya mereka mencapai titik di mana tidak ada lagi yang tersisa untuk diperjuangkan.
Israel sedang berjalan menuju jurang kehancuran, dan sayangnya, mereka tidak akan menyadarinya sampai sudah terlambat. Mungkin setelah banyak pasukan tambahan, anggaran yang semakin bengkak, dan semakin banyak tanah yang mereka duduki tanpa hasil, akhirnya mereka akan bertanya-tanya di mana semua itu membawa mereka. Tapi pada saat itu, mungkin sudah tidak ada lagi yang tersisa untuk mereka klaim, selain tumpukan utang dan kehancuran yang tidak bisa lagi ditutupi dengan lebih banyak tentara atau anggaran militer.
Begitulah cara Israel berpikir: lebih banyak pasukan, lebih banyak uang, lebih banyak tanah. Tidak pernah ada ruang untuk introspeksi, hanya berfokus pada cara memperpanjang kegagalan mereka. Dan ketika akhirnya semuanya runtuh, mereka akan menyesali kenyataan bahwa tidak ada yang bisa membeli kedamaian.