Connect with us

Opini

Sejarah Dikejar Deadline, Kebenaran Tersandera

Published

on

Malam itu, 28 Mei 2025, studio Kompas TV bergemuruh oleh tepuk tangan dan musik dramatis. Namun di balik sorot lampu dan euforia, ada kegelisahan yang mencekat. Soeharto, sang penguasa Orde Baru yang bayangannya belum sepenuhnya sirna dari sejarah kelam bangsa ini, kembali diusulkan sebagai pahlawan nasional. Bersamaan, pemerintah meluncurkan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang—seperti Bandung Bondowoso ditantang membangun seribu candi dalam semalam—harus rampung Agustus 2025. Konon, ini kado 80 tahun kemerdekaan. Tapi siapa yang benar-benar bersuka cita? Sejarah, yang seharusnya menjadi cermin jujur, kini tampak dikejar deadline layaknya proposal lomba. Anggarannya Rp9 miliar, dibumbui aroma kegelisahan politik dan dugaan revisi demi romantisme masa lalu.

Bayangkan, sebuah bangsa yang telah merdeka selama delapan dekade, mendadak merasa perlu merombak cerita dirinya. Bukan karena ada temuan arsip mencengangkan, atau gelombang generasi muda yang menuntut kejujuran. Tidak. Ini justru inisiatif elite—digagas hanya enam bulan setelah pelantikan Presiden Prabowo Subianto. Proyek superkilat yang, menurut Prof. Susanto Zudi, sudah “hampir 100%” rampung. Tapi tunggu dulu: drafnya mana? Komisi X DPR, menurut Boni Triana, hanya mendengar desas-desus, tak pernah mencium bau kertasnya. Transparansi? Seperti mengejar bayangan di tengah kabut. Sejarah pun terancam jadi laporan akhir tahun, bukan perenungan lintas generasi.

Urgensi proyek ini, menurut Prof. Susanto, adalah memperbarui narasi yang dianggap usang. Buku Sejarah Nasional Indonesia dan Indonesia dalam Arus Sejarah memang sudah 15 tahun tak disentuh. Sejarawan muda menulis tesis, naskah, kritik. Tapi apakah semua itu cukup menjadi pembenar tergesa-gesanya proyek ini? Boni Triana mengingatkan: David Van Reybrouck butuh empat tahun riset, ratusan wawancara, untuk menulis buku tentang Revolusi Indonesia yang kini mendunia. Sementara kita? Tiga bulan lagi harus selesai. Ini bukan penulisan sejarah—ini sulap di siang bolong. Dan kelinci yang ditarik dari topi bukan binatang hidup, melainkan boneka usang yang ditata agar terlihat memesona.

Dan di tengah pesta kilat ini, nama Soeharto muncul lagi. Diusulkan sebagai pahlawan nasional. Golkar—partai dengan DNA Orde Baru—berkata ini wajar. Alasannya: stabilitas, pembangunan. Menteri Sosial Saiful Yusuf menambahkan, pencabutan TAP MPR No. 11/1998 soal KKN telah membuka jalan. Tapi tunggu, ini bukan komedi birokrasi. Amnesty International dan aktivis 98 seperti Utsman Hamid dan BK Ulung Hapsara berteriak: bagaimana bisa? Nama Soeharto masih menjadi mimpi buruk bagi korban 1965, Tanjung Priok, Talangsari, Petrus, Trisakti, Semanggi. Belum lagi Kedung Ombo yang ditenggelamkan tanpa ganti rugi. Ini bukan soal membenci pembangunan, tapi soal keadilan. Pencabutan TAP MPR itu? Kata Utsman, prosedurnya penuh akal-akalan. Seminggu, tanpa paripurna. Hukum, rupanya, bisa dipelintir untuk gelar pahlawan. Tapi untuk korban? Keadilannya masih terseok-seok, menanti pintu yang tak pernah terbuka.

Marduki Darusman dari Aliansi Keterbukaan Sejarah menyebut proyek ini sebagai bagian dari politik sejarah. Seperti deja vu. Orde Baru pun menulis sejarah dengan gaya monumentalistik—untuk menyanjung kekuasaan. Kini, di bawah kuasa baru, pola lama muncul lagi. Kata Boni, dalam outline proyek, Orde Baru ditekankan sebagai masa stabilitas dan pembangunan, sementara era Soekarno digambarkan sebagai zaman gejolak. Ini bukan kebetulan. Ini tafsir yang disengaja. Seperti Roro Jonggrang yang meminta candi megah agar bisa menipu Bandung Bondowoso, narasi ini seolah hendak merias Orde Baru agar Soeharto tampak layak disematkan gelar pahlawan. Tapi cermin sejarah tak bisa diajak kompromi. Ia memantulkan kebenaran, betapapun pahit dan getir.

Semua setuju sejarah perlu diperbarui. Ada arsip baru, surat cinta Bung Karno untuk Ratnasari misalnya—romantis, tapi bukan alasan cukup untuk mengebut sejarah. Kalau memang mau jujur, kenapa tidak ada call for papers? Diskusi terbuka? Mengapa DPR tidak diberi drafnya? Anggaran Rp9 miliar itu uang rakyat, bukan dana lomba mural. Tapi, hingga hari ini, publik hanya dijejali bisik-bisik dan janji konsultasi. BK Ulung Hapsara menegaskan, sejarah bukan sekadar narasi negara. Harus ada perspektif korban. Dari 13 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui Komnas HAM, hanya dua yang masuk outline: Tanjung Priok dan Talangsari. Sisanya? Masih digantung di ujung pena. Ini seperti membangun rumah tanpa fondasi—kelihatan kokoh, tapi retak sejak awal.

Lalu, kalau bukan untuk pendidikan, kalau bukan untuk keadilan, kalau bukan demi kejujuran, lalu proyek ini untuk siapa? Kado kemerdekaan, katanya. Tapi ini bukan kado, ini pertunjukan. Sebuah pesta naratif demi menyulap sejarah agar terasa sejuk di bawah bayang kekuasaan. Marduki menyebut ini sebagai proyek monumentalistik—penciptaan narasi bangsa unggul, manusia Indonesia baru, rakyat terpilih. Indah di telinga, namun getir di hati. Bukankah jargon ini pernah jadi mantra Orde Baru?

BK menegaskan, sejarah sejati harus mengakui luka: nyawa yang hilang, martabat yang dirampas, aset yang digusur. Korban 1965, yang paspornya disobek hanya karena tak mau menuding Soekarno, masih mengembara di negeri orang. Mereka belum pulang, belum dimaafkan, belum diakui. Tapi kita malah membangun narasi baru, seolah luka itu tak pernah ada.

Ironisnya, semua tahu sejarah tak boleh sembarangan. Boni mengingatkan, sejarah bukan sekadar menyusun sumber sekunder. Harus dari riset primer, dari suara mereka yang pernah hidup di zaman itu. Tapi dengan tenggat tiga bulan, mungkinkah itu dilakukan? Prof. Susanto berkata, nanti akan ada uji publik—FGD di tiga wilayah. Tapi kalau draf saja belum jelas, apa yang mau diuji? Ini seperti membawa sketsa kasar lalu minta rakyat mengaguminya. Sejarah bukan proyek dadakan 17-an. Ia harus dijalani dengan kesabaran, bukan dikejar gong kemerdekaan.

Kecurigaan publik pun membuncah. Proyek ini muncul di awal pemerintahan baru, disokong partai yang masih menyandang nostalgia Orde Baru. Usulan Soeharto sebagai pahlawan mungkin tak diklaim terkait langsung, tapi publik tidak buta. Narasi “stabilitas” dalam outline sejarah terlalu jelas untuk dianggap kebetulan. Seperti benang halus yang menjahit masa lalu dengan motif kekuasaan.

Tapi sejarah bukan kain batik yang bisa ditulis ulang sesuka hati. Ia adalah cermin. Dan cermin, meski bisa dibersihkan, tak bisa dibohongi. Mungkin saatnya kita—seperti Roro Jonggrang membunyikan ayam untuk menghentikan sihir Bandung Bondowoso—membunyikan alarm akal sehat. Sejarah harus jujur, bukan alat rias kekuasaan. Buka drafnya, libatkan rakyat, berikan ruang untuk korban. Kalau tidak, candi ini hanya akan jadi reruntuhan yang ditinggalkan generasi mendatang—bukti bahwa kita pernah lebih peduli pada gelar, daripada pada kebenaran.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *