Connect with us

Opini

SDC Bongkar Demokrasi Tipu-Tipu Al-Sharaa

Published

on

The Syrian Democratic Council (SDC) menatap deklarasi konstitusional yang baru saja diumumkan dengan ekspresi yang tak bisa disalahartikan: kecewa, marah, dan jijik. Mereka menyebutnya “tidak mencerminkan aspirasi rakyat Suriah.” Kalimat itu terdengar diplomatis, tetapi di baliknya ada letupan kemarahan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang selama ini dikubur oleh sejarah tanpa nisan.

Empat belas tahun sejak revolusi 2011, narasi demokrasi di Suriah tetap menjadi mitos yang dijual murah di pasar politik global. SDC menegaskan bahwa tujuan revolusi bukan sekadar mengganti wajah di kursi kekuasaan. Namun, siapa yang peduli dengan idealisme jika konstitusi baru hanya reinkarnasi dari kezaliman lama dalam balutan jargon reformasi?

Ahmad Al-Sharaa dan para loyalisnya di komite ahli memproklamirkan dokumen ini seolah-olah mereka baru saja menemukan batu Rosetta untuk masa depan Suriah. Dengan wajah penuh percaya diri, mereka mengesahkan transisi lima tahun dengan kekuasaan terkonsentrasi di tangan presiden, tanpa mekanisme akuntabilitas. Sebuah mahakarya autokrasi yang dibungkus dalam kertas mewah bertuliskan “demokrasi.”

Di timur laut Suriah, demonstrasi pecah. Bukan oleh mereka yang bernafsu menggulingkan pemerintahan tanpa visi, tetapi oleh mereka yang muak menjadi figuran dalam pertunjukan politik yang selalu berakhir sama. Hasakah menjadi saksi di mana kelompok Kurdi turun ke jalan, membawa spanduk yang mengutuk deklarasi itu sebagai monumen pengkhianatan baru. Mereka tidak ingin sekadar “diikutsertakan,” mereka ingin diakui sebagai bagian sah dari Suriah.

SDC tidak menolak konstitusi ini karena mereka tidak ingin stabilitas. Mereka menolaknya karena mereka tahu bahwa stabilitas versi al-Sharaa adalah stabilitas yang ditopang oleh darah dan api. Minoritas dibungkam, oposisi ditandai sebagai ancaman, dan rakyat yang berani mengajukan pertanyaan dijadikan statistik dalam laporan “insiden keamanan.”

Al-Sharaa seakan-akan lupa bahwa di dunia yang semakin terhubung ini, dusta sulit untuk dipelihara. Laporan mengenai pembantaian minoritas di berbagai wilayah Suriah, yang dilakukan oleh rezimnya, bukanlah desas-desus yang bisa ditepis dengan konferensi pers. Ini adalah fakta yang hidup, membara di tubuh mereka yang kehilangan sanak saudara karena kebijakan yang menganggap pluralisme sebagai ancaman.

Mereka yang menguasai Suriah hari ini berbicara tentang persatuan nasional, tapi hanya jika itu berarti tunduk kepada mereka. Mereka berbicara tentang rekonsiliasi, tapi hanya jika itu berarti oposisi bersumpah setia. Mereka berbicara tentang demokrasi, tapi hanya jika itu berarti rakyat diberi hak untuk memilih tanpa benar-benar memiliki pilihan.

Deklarasi ini, pada intinya, bukanlah cetak biru bagi masa depan Suriah. Ini adalah naskah lama yang dimainkan ulang dengan aktor baru, di mana peran antagonis tetap diberikan kepada kelompok yang berani menuntut haknya. Perbedaannya hanyalah rezim sebelumnya menekan dengan tangan besi, sementara rezim sekarang menekan dengan tangan besi yang dilapisi sarung beludru.

SDC menolak bukan karena mereka ingin menghancurkan negara, tetapi karena mereka ingin mencegah negara kembali menjadi mesin penghancur bagi kelompok-kelompok yang tidak sesuai dengan selera elite baru. Mereka tahu betul bahwa konstitusi ini hanyalah kosmetik untuk mengesahkan struktur kekuasaan yang tetap timpang. Dalam sejarah Suriah, janji perubahan selalu lebih cepat terkubur daripada mereka yang berani mempercayainya.

Al-Sharaa tidak mengundang SDC untuk berpartisipasi dalam penyusunan deklarasi ini dengan alasan “proses yang cepat dan efisien.” Tentu saja efisien—karena tidak ada ruang bagi mereka yang memiliki pendapat berbeda. Demokrasi al-Sharaa adalah demokrasi yang steril dari keberagaman suara. Pluralisme hanyalah slogan yang ditinggalkan di ruang pertemuan setelah kamera berhenti merekam.

Jika kita melihat dari perspektif politik identitas, apa yang dilakukan al-Sharaa adalah bentuk eksploitasi identitas nasional untuk mempertahankan dominasi politiknya. Dengan menyusun konstitusi yang menyingkirkan suara-suara oposisi dan minoritas, dia menciptakan batasan antara “kami” dan “mereka.” Dalam perspektif Edward Said tentang “The Othering,” ini adalah strategi klasik di mana kelompok penguasa menegaskan dominasi mereka dengan mengonstruksi kelompok lain sebagai ancaman. Minoritas Kurdi, kaum oposisi, dan bahkan komunitas pluralis di Suriah menjadi “liyan”—yang dianggap berbeda dan tidak berhak atas akses kekuasaan.

Benedict Anderson dalam konsepnya tentang “imagined communities” juga menunjukkan bagaimana identitas nasional bisa dimanipulasi. Al-Sharaa menggunakan narasi persatuan nasional untuk mengecualikan mereka yang tidak sesuai dengan visi politiknya. Ia mengklaim membangun Suriah yang baru, tetapi realitasnya, dia hanya memperkuat eksklusivitas yang sudah lama menjadi luka di tubuh negara itu.

Konsep “liyanisasi” (Othering) ini juga menjadi dasar dari kebijakan represif yang telah berlangsung di Suriah selama bertahun-tahun. Rezim yang berkuasa selalu membutuhkan musuh untuk membenarkan tindakan kerasnya, dan kali ini, mereka menjadikan SDC dan kelompok minoritas sebagai musuh baru yang harus dikendalikan. Dengan membentuk “komite ahli” yang eksklusif, al-Sharaa membangun citra bahwa hanya kelompoknya yang berhak menentukan masa depan Suriah, sementara yang lain harus tunduk atau tersingkir.

SDC menolak bukan sekadar karena mereka merasa dikecualikan, tetapi karena mereka memahami pola lama yang sedang dimainkan ulang. Mereka menolak menjadi “liyan” dalam negeri mereka sendiri. Mereka menolak dijadikan kambing hitam demi menjustifikasi konsolidasi kekuasaan seorang pria yang berbicara tentang demokrasi sambil menuliskan daftar panjang lawan politik yang harus disingkirkan.

Ketika sejarah akhirnya mencatat babak baru Suriah, deklarasi konstitusional ini mungkin akan dikenang sebagai salah satu eksperimen politik paling ironis. Sebuah dokumen yang diklaim sebagai langkah menuju kebebasan, tetapi ditolak oleh mereka yang benar-benar menginginkan kebebasan. Sebuah transisi yang diklaim sebagai awal demokrasi, tetapi justru menunjukkan bahwa demokrasi tidak pernah menjadi tujuan mereka sejak awal.

Suriah tidak kekurangan orang-orang yang ingin memperjuangkan masa depan yang lebih baik. Namun, mereka selalu berhadapan dengan mesin kekuasaan yang tak kenal lelah dalam menyesuaikan wajahnya tanpa mengubah esensinya. SDC mungkin bukan penyelamat sempurna, tetapi penolakan mereka hari ini adalah bukti bahwa masih ada suara yang menolak tunduk pada kemunafikan politik.

Ketika Hasakah dan kota-kota lain di timur laut membara dengan protes, itu bukan sekadar ledakan kemarahan spontan. Itu adalah suara rakyat yang muak menjadi catatan kaki dalam buku sejarah yang ditulis oleh para penguasa yang tak pernah belajar dari kesalahan. Mereka telah melihat bagaimana kisah ini selalu berakhir—dan mereka menolak untuk menjadi korban berikutnya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *