Connect with us

Opini

Saudi & Israel: Pacaran Tanpa Status?

Published

on

Duta Besar Israel untuk Amerika Serikatr, Yechiel Leiter baru saja membuat pengakuan yang cukup menarik: normalisasi antara Israel dan Saudi sudah “hanya tinggal satu langkah lagi.” Tentu saja, ini bukan pertama kalinya pernyataan semacam ini muncul. Berkali-kali kita mendengar kabar bahwa hubungan Riyadh dan Tel Aviv makin mesra, tapi anehnya, selalu ada jeda panjang antara kabar mesra dan pengumuman resmi. Ini seperti sepasang kekasih yang sudah lama jalan bareng, makan malam berdua, saling mengirim emoji hati di WhatsApp, tapi ketika ditanya statusnya, jawabnya masih, “Kita temenan aja.”

Yang menarik, Saudi tak pernah membantah klaim-klaim ini. Tidak ada pernyataan, “Hei, jangan fitnah kami!” atau “Kami tidak punya hubungan apa pun dengan mereka!” Hanya hening, diam, tenang, seakan-akan mereka juga sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengaku. Kalau dalam dunia asmara, ini seperti si dia yang selalu bilang, “Aku nggak pernah janji apa-apa, kok,” tapi di belakang layar tetap rajin membalas chat dan mengirim sinyal.

Israel sendiri tampak seperti orang yang tak sabar ingin meresmikan hubungan. Berkali-kali mereka menyampaikan kepada dunia bahwa semuanya sudah hampir selesai, tinggal menunggu momen yang tepat. Kalau ini kisah romansa, mereka adalah pasangan yang sudah beli cincin tunangan, sudah menulis undangan, bahkan sudah pesan katering, tapi calon pasangannya masih ragu-ragu buat unggah foto berdua di Instagram.

Mengapa Saudi tetap bungkam meski namanya sering dicatut? Mungkin karena mereka ingin menjaga gengsi. Bagaimanapun, normalisasi dengan Israel adalah urusan yang sangat sensitif bagi dunia Muslim. Di depan publik, Saudi ingin tampil sebagai pembela Palestina. Tapi di balik layar, kerja sama dengan Tel Aviv makin erat. Ini seperti seseorang yang selalu bicara tentang kesetiaan, tapi ternyata masih suka cek DM mantan. Publik yang jeli tentu bisa membaca gelagat ini, tapi selama tak ada deklarasi resmi, masih ada ruang untuk berkilah.

Yang lucu, meski selalu mengklaim “hanya tinggal satu langkah lagi,” normalisasi ini seperti tidak kunjung terjadi. Ini seperti hubungan yang sudah berlangsung bertahun-tahun, tapi setiap kali ditanya kapan mau nikah, jawabannya selalu, “Sebentar lagi.” Mungkin yang mereka maksud dengan “tinggal satu langkah lagi” adalah langkah yang sangat panjang, seperti perjalanan menuju Mars yang butuh bertahun-tahun. Atau mungkin, mereka memang sengaja menggantung status ini agar bisa menikmati keuntungan dari kedua sisi.

Bagi Israel, pengakuan Saudi akan menjadi trofi besar. Mereka bisa berkata kepada dunia bahwa perjuangan Palestina sudah tidak relevan lagi, bahwa bahkan pemimpin dunia Islam pun sudah mengakui keberadaan mereka. Sementara bagi Saudi, hubungan diam-diam ini memberikan manfaat ekonomi dan keamanan tanpa harus menghadapi kemarahan rakyatnya. Ini seperti seseorang yang ingin merasakan keuntungan punya pasangan tanpa perlu repot-repot bertanggung jawab atas hubungan itu.

Namun, yang perlu diingat, dalam hubungan asmara, terlalu lama menggantung status sering kali berakhir buruk. Salah satu pihak akan lelah menunggu, atau lebih parah lagi, skenario ini bisa berubah menjadi kisah cinta bertepuk sebelah tangan. Jika Saudi terlalu lama memainkan peran ini, mereka mungkin akan kehilangan momentum. Atau lebih buruk lagi, mereka akan dipermalukan oleh Israel yang akhirnya bosan menunggu dan mencari “pasangan” lain yang lebih berani mengakui hubungannya secara terbuka.

Dalam dunia politik, seperti dalam percintaan, tidak ada yang suka di-PHP. Jika benar tinggal satu langkah lagi, kenapa tak segera diumumkan? Jika tidak, kenapa terus membiarkan klaim ini beredar tanpa bantahan? Atau mungkin memang ada kesepakatan tak tertulis bahwa hubungan ini hanya untuk dinikmati diam-diam? Bagaimanapun juga, publik tidak bodoh. Mereka tahu perbedaan antara hubungan yang hanya rumor dan hubungan yang benar-benar terjadi, meskipun belum diumumkan secara resmi.

Maka, kita hanya perlu menunggu: apakah ini benar-benar akan berakhir di pelaminan? Ataukah ini hanya kisah romansa yang berlarut-larut tanpa kepastian? Apakah Saudi akhirnya akan berkata, “Baiklah, kita resmi sekarang,” atau tetap bertahan dengan sikap, “Kita cuma temenan, kok”—sementara semua orang tahu bahwa mereka sudah lama berbagi meja makan yang sama?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *