Opini
Satgas Anti-Premanisme: Gebuk Preman Berjas atau Cuma Panggung?

Di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, di mana lampu neon berkelip dan asap knalpot bercampur dengan mimpi-mimpi yang kandas, ancaman premanisme berjubah organisasi kemasyarakatan (ormas) merayap bagai bayang-bayang di gang-gang sempit. Dialog di Sapa Indonesia Malam di Kompas TV, 9 Mei 2025, menggambarkan realitas yang absurd sekaligus menggelisahkan: preman tak lagi sekadar berotot dan bertato, tapi berbaju ormas, mengintimidasi pedagang kecil hingga investor asing. Pemerintah, dengan kolaborasi TNI, Polri, dan Badan Intelijen, berjanji menumpas mereka. Tapi, benarkah ini solusi, atau cuma drama baru di panggung birokrasi?
Langkah pemerintah membentuk Satgas Anti-Premanisme terdengar heroik, seperti pahlawan dalam sinetron yang datang menyelamatkan desa dari penutupan penjahat. Polri melaporkan 3.326 perkara premanisme ditangani dalam sembilan hari, dari 1 hingga 9 Mei 2025. Angka itu mengesankan, tapi juga mencurigakan—terlalu rapi, terlalu cepat. Di Banten, 146 pelaku ditangkap; di Kalimantan Tengah, oknum ketua ormas dipanggil karena menutup operasional PT BAP; di Subang, sembilan preman industri diringkus. Ini bukan angka sembarangan, tapi apakah mereka cuma pion dalam catur yang lebih besar? Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi bilang Presiden Prabowo resah, berkoordinasi dengan Jaksa Agung dan Kapolri. Resah, kata yang tepat, tapi apakah keresahan itu cukup untuk menggoyang akar premanisme yang sudah menjalar ke mana-mana?
Premanisme, oh, betapa kata itu kini jadi jubah yang longgar. Tak lagi sekadar preman pasar yang minta jatah ke pedagang sayur, tapi juga preman berjas, kerah biru, bahkan berseragam pejabat. Laporan itu menyinggung keresahan pengusaha, seperti wakil ketua Kadin Sar Simanjorang, yang menyebut preman merusak daya saing Indonesia. Bayangkan, sebuah pabrik China di Subang dipalak hingga kabarnya sampai ke kantor pusat mereka di Beijing. Ini bukan cuma soal duit, tapi wajah Indonesia di mata dunia. Investor kabur, ekonomi tersendat, dan yang tertinggal hanyalah cerita tentang betapa kita pandai menakut-nakuti tamu dengan preman berbaju ormas. Ironis, bukan? Negeri yang kaya budaya, tapi miskin ketertiban.
Tapi tunggu dulu, jangan terlalu cepat memuji Satgas ini. Prof. Hermawan Sulistio, atau yang akrab disapa Prof Kiki, dalam wawancara itu mengingatkan kita pada bayang-bayang masa lalu. Ingat operasi 1983, ketika preman ditembak mati di tempat? Kini, zaman sudah beda. Tembak-menembak bukan jawaban, meski Prof Kiki nyeletuk, “Ada yang ketembak mungkin, kalau kejar-kejaran.” Sindiran halus, tapi mengena. Premanisme kini bukan cuma soal otot, tapi juga otak—jaringan yang dilindungi kekuatan politik, partai, bahkan oknum aparat. AP Hamonangan, advokat yang bergabung dalam gerakan anti-premanisme, menambahkan lapisan ironi: pemerintah sendiri kadang memakai jasa preman untuk membungkam kritik. Astaga, ini seperti serigala yang menggonggong serigala lain, tapi lupa cermin di depannya.
Mari kita bongkar lebih dalam. Premanisme bukan sekadar tindakan brutal di jalanan, tapi juga penyalahgunaan wewenang di ruang ber-AC. Oknum pejabat yang memeras investor, polisi yang tutup mata demi amplop, atau elit politik yang memelihara preman sebagai pasukan bayaran—mereka inilah preman berjas yang jauh lebih berbahaya. Laporan menyebut Kementerian Hukum akan menindak ormas berbadan hukum, sementara Kemendagri mengawasi yang tak terdaftar. Tapi, jika oknum di dalam institusi ini sendiri bagian dari masalah, bagaimana Satgas bisa bersih? AP Hamonangan skeptis, mengingatkan kita pada Satgas Mafia Tanah yang mati di tempat. “Banyak penegak hukum tak jalankan tugas sesuai undang-undang,” katanya. Ini bukan cuma soal hukum, tapi moral yang sudah keropos.
Faktor ekonomi, kata Prof Kiki, juga tak bisa diabaikan. Premanisme tumbuh subur di tanah kemiskinan. Orang yang tak bisa makan akan memalak, sebab itu satu-satunya cara bertahan. Di kota-kota besar, di mana harga sepiring nasi bisa setara sehari kerja, premanisme jadi jalan pintas. Tapi jangan salah, preman tak selalu miskin. Ada yang kaya, punya koneksi, dan main di level atas. Mereka yang memeras investor di kawasan industri, misalnya, bukan preman kampung, tapi sindikat yang terorganisasi. Laporan menyebut kasus di kawasan industri BYID Subang, di mana tiga pelaku ditangkap. Tapi, siapa di belakang mereka? Itu pertanyaan yang tak dijawab, dan mungkin tak akan pernah.
Satgas ini, meski terdengar gagah, punya tugas berat untuk tetap independen. AP Hamonangan menyarankan melibatkan elemen masyarakat sipil agar Satgas tak jadi alat pemerintah untuk “seolah-olah” menjawab keresahan. Kata “seolah-olah” itu cerdas, penuh sindir. Kita tahu, pemerintah pandai bikin panggung, tapi sering lupa skrip yang rapi. Jika Satgas hanya menangkap preman kecil—tukang palak di pasar atau penutup jalan—tapi tak berani sentuh preman berjas di gedung-gedung megah, ini cuma kosmetik. Publik bukan bodoh, mereka bisa lihat mana yang sungguh-sungguh, mana yang cuma pencitraan.
Lalu, apa ukuran keberhasilan? Prof Kiki bilang, jangka pendeknya adalah turunnya kekerasan. Cukup masuk akal. Kalau pedagang kecil tak lagi dipalak, kalau truk logistik bisa lewat tanpa “uang rokok,” itu sudah kemenangan. Tapi jangka panjang? Itu soal membongkar jaringan besar, yang mungkin melibatkan pejabat, politisi, atau bahkan oknum aparat. Prof Kiki menyinggung El Salvador dan Filipina, di mana pendekatan keras berhasil tapi penuh risiko. Filipina, misalnya, kini menghadapi balas dendam dan kasus hukum terhadap pelakunya. Indonesia bukan El Salvador, bukan pula Filipina. Kita punya cara sendiri, tapi apakah kita punya nyali?
Konteks lokal tak boleh dilupain. Di Indonesia, premanisme bukan cuma soal kriminalitas, tapi juga budaya dan politik. Ingat cerita “jago” di kampung Betawi, yang dulu dihormati sebagai penjaga warga? Kini, jago-jago itu berevolusi jadi preman berbaju ormas, dilindungi partai atau oknum berkuasa. Mereka tak lagi bela rakyat, tapi bela kantong sendiri. Ini tragedi sekaligus komedi—betapa kita meromantisasi sesuatu yang kini jadi monster. Pemerintah harus tegas, tapi juga cerdas, tak cuma gebuk tapi juga benahi sistem yang bikin premanisme subur.
Aku, kalau boleh jujur, kadang tersenyum miris lihat semua ini. Kita punya Satgas, punya hukum, punya janji-janji manis, tapi premanisme tetap menari-nari di depan mata. Masyarakat resah, pengusaha mengeluh, investor kabur, tapi preman berjas tetap duduk manis di kursi empuk. Satgas Anti-Premanisme adalah harapan, tapi juga ujian. Kalau cuma gebuk preman kecil sambil biarkan yang besar tertawa, ini cuma sandiwara. Tapi kalau pemerintah berani, kalau Satgas punya taring, mungkin kita bisa bermimpi tentang Indonesia yang lebih tertib, lebih adil. Tapi mimpi itu, ya, kadang cuma mimpi. Mari kita lihat, sambil menahan napas, apakah kali ini beda, atau cuma déjà vu yang dibalut jargon baru.